Blurb

22 2 2
                                    

"Hidup adalah pertanyaan dan bagaimana kita menjalaninya adalah jawaban kita." -Gary Keller

Jas putih sudah menjadi identitas Pandu Rajesha sehari-hari, dipadui dengan stetoskop yang bertengger rapih di leher pria tersebut. Beberapa pasang mata tak berkedip saat melihat kedatangannya, hal itu dikarenakan wajahnya yang teramat tampan itu. Beruntung sekali orang-orang yang ditangani oleh Pandu.

Sejak kepergian Aneth enam tahun yang lalu, sikapnya menjadi semakin dingin dan tak tersentuh. Terhitung sudah dua perempuan yang mengajaknya untuk berkencan, namun na'asnya gadis itu ditolak secara mentah-mentah.

"Permisi Dokter, ada pasien yang baru saja tiba. Sekarang sudah kami bawa ke IGD" lapor salah satu perawat yang menghampiri Pandu diruangannya.

Pria itu mengangguk lalu mendirikan tubuhnya berjalan menuju ruangan yang disebutkan suster Vena tadi.

Pandu terlonjak kaget kala seoarang gadis dengan rambut berpita menyentuh tangannya dengan tatapan memohon "Dok, tolong. Tolong selamatkan Ayah saya" pintanya dengan mata coklat yang mengeluarkan air.

Ia menepis tangan gadis itu "Saya usahakan", ucapnya tenang lalu beranjak masuk kedalam ruangan.

Gadis tadi menghampiri wanita paruh baya yang diperkirakan itu adalah Ibunya.

"Ibu tenang ya, Zana yakin Ayah akan baik-baik aja" ucapnya tenang meski hatinya sendiri tak bisa tenang.

Tiga puluh menit sebelum kejadian.

Brak brak brakk

Suara pintu digedor dengan kuat terdengar dari kamar Azana dengan segera ia memasanag pita rambutnya, bergegas keluar dari kamarnya. Dapat ia lihat Ayah dan Ibunya menatap pintu khwatir.

"Siapa itu, Bu? Kok nggak sopan banget ngetoknya"

"Penagih hutang" sahut Beno Ayah Azana susah payah.

Zana mengerutkan keningnya "Ayah ngutang lagi? Bukannya minggu lalu udah Zana lunasin ya?"

Rima menatap Azana merasa bersalah "Maafkan Ibu, Nak. Sebenarnya hutang kita itu dua puluh juta" .

Gadis berusia sembilan belas tahun itu melotot "Ibu kenapa bohong. Kenapa cuman bilang sepuluh juta?" sahut Azana geram sendiri.

"Ibu kasihan sama kamu, Nak. Ibu nggak mau kamu kerja cuman buat bayarin hutang-hutang Ibu sama Ayah".

"Bu, Zana kan udah pernah bilang kalau Zana nggak apa-apa. Zana nggak merasa keberatan, itu udah jadi tanggung jawab Zana" sahut Zana lagi, matanya terasa perih saat ini.

"Ayah minta maaf, Nak" lirih Beno tak jelas. Ia terkena stroke setahun yang lalu tapi hanya separuh badan saja tepatnya di sebelah kanan. Oleh sebab itu ia menjadi pengangguran karena diberhentikan dari pekerjaannya. Untung saja mereka punya bisnis kue, yang bisa membantu kehidupan mereka sehari-hari.

"WOII BUKAIN NGGAK! ATAU GUE DOBRAK" teriak seseorang dari luar, membuat kekhawatrian semakin terpancar di wajah Beno, Rima dan Zana.

"Biar, Zana yang buka", Rima hendak menahan anaknya itu namun tak sempat karena gadis itu sudah membuka pintu terlebih dahulu.

"Bayar hutang kalian atau rumah ini kami hancurkan!" teriak salah satu penagih hutan berperawakan besar. Azana takut, tapi itu semua ia tepiskan.

Lembayung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang