Bian memijat pelipisnya pelan, matanya terus menyusuri sekelilingnya untuk mencari keberadaan ketiga sohibnya. Di mana mereka semua? Bukankah berkas program ketja divisnya ada bersama mereka? Apakah mereka ingin lepas tanggung jawab begitu saja? Haduh.. mana sebentar lagi acara perkenalan ini akan di mulai. Kini Bian merutuki kecerobohannya karena memberi tanggung jawab dokumen itu pada ketiga sohibnya itu. Kan kalau urusannya begini jadi menyulitkan dirinya sendiri.
Persabahatan antara keempatnya terjalin sejak mereka duduk di bangku perkuliahan, saat itu Bian dan ketiga sohibnya menempuh di universitas yang sama. Karena memiliki jiwa sosial yang besar, sejak dulu mereka sering mengikuti kegiatan relawan. Dan siapa sangka bahwa semakin tumbuh dewasa jiwa sosial yang mereka bentuk terus terpatri hingga kini.
Bian sendiri di percaya untuk menjadi ketua divisi kesehatan, dan ketiga temannya adalah bagian dari divisinya. Memang sudah semestinya berkas itu menjadi tanggung jawabnya, namun karena ketiga sohibnya sering absen saat rapat maka mereka ketinggalan banyak informasi. Jadilah berkas tersebut mereka pinjam untuk dipelajari.
Selang beberapa menit kemudian, ketiganya datang dengan serempak dengan napas yang tersengal-sengal, wajahnya bahkan sedikit memerah, tak lupa dengan keringat yang bercucuran di pelipis wajahnya. Juna, Reno, dan Ditto datang menghampiri kursi Bian yang sudah menunjukan tatapan kesalnya. Mereka jalan dengan senyum kikuk saat melewati para relawan yang sudah duduk di kursi mereka masing-masing. Di belakang mereka diikuti oleh Asha, Maura, dan Nandita.
"Bi, maaf ya.. kita lupa kalau ada pertemuan di sini" Ditto mengeluarkan puppy eyes andalannya, berharap agar Bian bisa sedikit luluh karena tatapannya.
"Kita? Lo doang kali yang lupa! Kalau lo ngasih info ke gue sama Juna juga pasti ga bakal telat begini kita!" Rutuk Reno dengan sebal. Bagaimana tidak sebal? Pasti Bian akan mengamuk karena kecerobohan Ditto, dan dia pasti akan kena imbasnya.
Ditto melemparkan tatapan tajam pada Reno. Huh! Tidak setia kawan sekali temannya yang satu ini, tidak ingatkah dengan istilah 'satu sakit semua ikut sakit' kalau Bian tahu ini kecerobohannya maka ia sendiri yang akan menerima kekesalan dari Bian.
Bian melirik sekilas ke arah rombongan teman-temannya, dahinya sedikit mengkerut saat melihat sosok peremauan yang masih terasa asing baginya. "Siapa?" Bisik Bian kepada ketiga sohibnya itu.
Pergerakan Asha tertangkap jelas oleh mata elang Arbian Respati, gadis itu sedang berbincang ringan dengan Maura dan juga Nandita. Tanpa sadar bibirnya mengukir senyum tipis tatkala melihat Asha yang tertawa sebab lelucon entah apa.
"Apanya yang siapa?" Tanya Ditto bingung.
"Yang di samping Maura, siapa?" Tanya Bian memperjelaskan apa yang dia maksud.
"Oh iya! kita lupa ngenalin. Lo pada geseran, deh. Biar Asha di sini" seru Juna pada Reno dan Ditto. Ia langsung bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ke arah Asha.
Asha yang tiba-tiba di datangi oleh Juna langsung menampakkan raut bingung, "ada apa, Jun?"
"Ayo sini, lo harus kenalan sama sesepuh circle kita" ujar Juna yang langsung mendapat tatapan tajam dari Bian.
"Tapi saran gue hati-hati, Sha. Lo bisa gila sendiri kalau ngobrol sama manusia dingin kayak dia" ejek Reno.
Ditto mengangguk setuju, "bener itu, Sha. Kalau lo udah gak kuat ngobrol sama dia segera lambaikan tangan ke kita ya!"
"Sialan lo semua!" Maki Bian kepada ketiga sohibnya.
Kedua mata Asha membola, bukankah itu sosok kemarin yang menolongnya saat ia hampir menabrak tiang? Bisa-bisanya ia tidak melihat sosok lelaki itu. Tapi wajar sih, Asha duduk paling ujung kanan dan sosok Bian juga berada di ujung kiri bangku yang berderet. Astaga!
"Sha? Ayo sini gue kenalin sama manusia kutub utara. Belum pernah kan lo berteman sama spesies beruang kutub?" Ledek Juna yang langsung mendapat gelak tawa dari yang lainnya.
Akhirnya Asha duduk tepat di samping Bian. Sosok yang terlihat tegas dengan pahatan wajah yang hampir menyentuh kata sempurna. Ternyata selain keindahan alam Asha juga dapat melihat keindahan mahkluk ciptaan Tuhan di sini.
"Kamu yang kemaren hampir nyosor tiang, kan?" Kalimat itu meluncur dengan jelas dari bibir Bian.
Astaga! Malu. Malu. Malu. Asha benar-benar malu!!!
◦°˚°◦
Acara perkenalan berlangsung hingga malam menjelang, sesi perkenalan, pembahasan ulang program kerja, serta ditutup dengan makan malam bersama. Asha senang bisa bertemu dengan teman-teman baru, rasa sedihnya kemaring-kemarin seketika hilang begitu saja. Berbeda sekali saat dia di rumah, Asha lebih cenderung mengingat dan menangisi keadaanya. Namun jika di sini, fokusnya teralihkan dengan segiatan kegiatan positif.
"Sha, temenin gue bawa rompi sama id card buat dibagiin, dong" ajak Maura. Gadis ini sangat baik sekali, Maura sering mengajakjnya bicara bahkan melibatkan Asha dalam suatu hal agar Asha tidak merasa terkucilkan. Maklum, biasa anak baru pasti akan lebih banyak diam jika tidak diajak berinteraksi.
"Boleh, ayo gue bantu"
Asha berjalan beriringan dengan Maura menuju tempat logistik, mereka menyimpan semua barang keperluan di sana.
"Gimana perasan lo ikut kegiatan ini, Sha?" Tanya Maura sembari sesekali melihat Asha di balik penerangan lampu temaram di malam ini.
"Sejauh ini gue senang banget, Ra. Gue suka berssosialisasi seperti ini, gue suka ketemu banyak orang, dan gue dapatin itu di sini. Belum sehari aja, gue udah dapat banyak pemandangan dan pengalaman baru. Gue yakin nanti gue bakal dapat pembelajaran baru" papar Asha mencurahkan apa yang ia rasakan.
"Gue ikut seneng dengarnya, Sha"
Asha dan Maura sudah tiba di dekat lapangan, mereka mencari truk yang mengangkut logistik mereka. Maura memindai box yang diperkirakan berisi rompi dan id card relawan melalui tulisan yang mengkategorikan isi box di sana.
"Wahh! Ada banyak boxnya, Sha. Sepertinya kita angkat dulu ke sana, baru kita minta bantuan yang lain buat membawakan sisanya" ujar Maura.
"Ugh.. berat juga, ya?" Asha berjalan menyamakan langkahnya dengan kaki Maura, namun ia kesulitan. Sebab tinggi Maura sangat jauh dengannya, sangat mudah bagi Maura membawa box ini. Berbeda jauh dengannya, melihat kedepan jalan saja terhalang oleh box. Mungkin, inilah alasan ia sering sekali disuruh untuk minum susu oleh Pram.
Asha benar-benar kesulitan membawa box itu, tubuhnya terhuyung kesana-kemari, Asha tidak bisa melihat apa yang ada di depan jalan karena terhalang oleh box ini. Ia sudah tertinggal jauh oleh Maura yang nyetanya lebih dulu berjalan meninggalkannya tanpa sadar.
Saat ia hampir tersandung oleh batu, untung saja dengan sigap ada seseorang yang menahan tubuhnya agar kembali seimbang. Asha yang semula memejamkan mata sebab pasrah bilapun ia terjatuh, justru ternyata tidak!
"Tega sekali bang Andika menyuruh kalian membawa box berat ini" ujar Bian, ia mengambil alih box yang berada di tangan Asha. "Lain kali hati-hati, Asha. Kakimu bisa terluka mengingat jalan setapak ini penuh batu. Kamu bisa meminta bantuan"
Asha tercengang seketika. Hei! Dia masih mengumpulkan kesadarannya. Ternyata otak cantiknya tidak berfungsi secara normal jika berada di dekat pria tampan. Hei! Pikiran macam apa ini?
"Terima kasih," tutur Asha ketika sadar sepenuhnya.
Bian mengangguk, "Kamu bawa id card saja di sana, boxnya tidak berat, aku yakin kamu pasti bisa. Aku tunggu di sini, kita berjalan bersama ke Balai Desa sebab hari sudah semakin larut"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Temu
Dla nastolatkówAsha berusaha lari dari kenyataan yang ia jalani, memutuskan pasangannya menjelang pernikahan mereka adalah keputusan besar yang ia ambil. Ia memilih menyembuhkan hatinya dengan menjadi relawan di sebuah desa. Ia harap dengan kepergiannya bisa melup...