Bab 14 : Muhasabah Cinta

14 1 0
                                    

"Astaghfirullah! beneran, Aydan?!"

Hari ini, Hazen berkunjung lagi ke kediaman Aydan. Bertempat di ruang kamar milik Aydan, Hazen yang sejak tadi begitu fokus tiap mendengarkan cerita demi cerita  yang Aydan sajikan.

Saat ini Aydan tengah membicarakan tentang bagaimana dia dan Athaya yang bertemu di rumah dia sendiri tanpa di sengaja. Terutama perihal pengakuan Athaya yang mengatakan bahwa dia tidak se iman dengan Aydan.

Mendengar hal itu, Hazen yang begitu khidmat  mendengarkan sontak tersentak kaget. Sama halnya seperti Aydan, lelaki itu tidak pernah menyangka sebelumnya. Padahal Aydan yang sudah begitu akrab dengan gadis itu tidak pernah mengira bahwa ternyata dia dan Athaya berbeda.

"Terus gunanya kamu kasih kerudung itu sama dia apa coba?" tanya Hazen begitu serius.

"Ya kan aku kasih karena aku mengira dia itu muslimah. Aura-nya tidak terlihat seperti nonmuslim, sih."

"Ya mana bisa kita tahu dari melihat aura-nya saja."

"Makanya aku salah kaprah tau."

Hazen terdiam sejenak, lantas menghembuskan nafasnya perlahan. Di lihatnya Aydan yang kini dengan pandangan yang kosong. Sepupunya itu seperti tengah memikirkan sesuatu. Hazen yang sudah kelewat penasaran lalu merapatkan duduknya sedikit lebih dekat dengan Aydan.

"Lalu, kerudung yang kamu kasih gimana?"

Aydan menoleh sekilas, seperkian detik kemudian lelaki itu berdiri lalu berjalan menuju ke arah lemari baju miliknya. Hazen menyipitkan matanya kala Aydan membawa sebuah kerudung biru cerah yang sempat ia ambil di dalam lemari.

"Ya dia gak mau ambil lagi," jawab Aydan setelah ia kembali duduk di samping Hazen.

"Kan gak bisa di pakai dia juga."

Setelahnya, beberapa menit kemudian keduanya saling diam tanpa mengatakan sepatah dua kata. Hanya bunyi jarum detik pada jam yang menghitung waktu.

Dengan kerudung yang masih ada di tangannya. Aydan menatap benda itu lamat-lamat. Sama lamanya seperti Hazen yang tengah menatap Aydan. Seketika bayangan wajah kecil Athaya yang di baluti kerudung tersebut kembali muncul di pikiran Aydan. Beberapa menit waktu itu, Aydan sempat terpaku akan pemandangan yang dia lihat di depan matanya sendiri.

Athaya yang berkerudung begitu memancarkan auranya yang sangat berbeda dari sebelum yang sering Aydan lihat. Gadis itu cantik, bahkan sangat cantik dan itu memang di akui oleh Aydan sendiri.

Bayangan itu seolah menampar Aydan lagi, dan entah kenapa ada sedikit perasaan yang membuat Aydan sempat menyesal.

"Padahal aku sering bilang sama dia buat ngejalani hidup sama Allah," gumam Aydan sedikit terkekeh. "Eh ternyata dia hidup bersama Tuhan yang lain."

"Namanya juga gak tau," sahut Hazen. "Tapi kamu kok gak pernah kepikiran buat nanya latar belakang dia, sih, Dan?"

"Ya kali!" Aydan berdecak. "Gak sopan, Hazen. Dia itu terlalu tertutup. Bicara sok tau di depan dia aja, aku langsung kena marah."

Hazen lantas terkekeh, kemudian mengangguk-angguk kecil.

"Sebenarnya gak masalah juga, sih. Toh setiap yang kita temui gak selalu akan ketemu yang se iman, 'kan? Indonesia itu luas, agamanya banyak, penganutnya macam-macam. Jadi, gak heran kalau Athaya yang kamu kenal jadi salah satu dari perbedaan itu."

Hazen tersenyum tipis. Lelaki itu menggerakkan telunjuk tangannya kemudian bilang. "Lakum dinukum waliyadin, artinya untukmu agamamu dan untukku agamaku ini."

Aydan lantas mengangguk, yang mengartikan bahwa ia setuju dengan ucapan Hazen.

"Meski berbeda, yang mati tetap akan kembali pada satu akhirat," sambung Aydan.

"Iya, beda di dunia, satu di akhirat."

Keduanya tertawa. "Yang katanya gak bisa bersatu di dunia, di harapkan bakal bersatu di akhirat."

"Kata siapa?" tanya Aydan.

"Banyak yang bilang, mah."

"Yeuu, kamu mah kebanyakan nonton sinetron."

"Nonton tv aja gak pernah!" Hazen sedikit ketus namun masih terlihat tenang. Mimik wajahnya begitu lucu di mata Aydan sehingga membuat lelaki itu tertawa.

"Iya, iya. Pokoknya mah kalau mati ya mati aja sudah."

Selepas mengatakan itu, keduanya kembali terdiam. Sampai menit ke lima, Hazen tiba-tiba bersuara.

"Aydan?"

"Hm?" Aydan hanya berdehem, sedang posisinya tengah bersandar di ranjang kasur dengan mata yang terpejam.

"Sudah mencintai Allah dengan benar?"
Lelaki itu sontak menoleh menemukan sepupunya dengan wajah yang teduh.

"Maksud-mu?"

"Kamu tentu paham apa maksud ku," ujar Hazen.

Aydan menarik nafasnya panjang. Matanya menerawang, dengan arah pandang yang terlihat kosong.

"Seharusnya kamu nanya, apa kita sudah mencintai Allah dengan benar. Karena manusia bukan aku saja, tapi semuanya."

"Jadi, apakah kita sudah mencintai Allah dengan benar selama ini?" Hazen kembali meralat perkataannya.

"Jawabannya hanya ada di dalam diri kita sendiri, Hazen. Cinta itu tidak semudah di bicarakan, di utarakan, karena cinta adalah sebuah perasaan yang tidak bisa dideskripsikan dengan jelas. Sebab hati manusia itu abu-abu, jelas tidak mudah menggambarkan bagaimana perasaan yang selama ini di rasa adalah apa yang kita pikirkan."

"Aydan, aku hanya bisa melakukan apa yang selama ini yang aku anggap benar."

"Maka lakukan lah selagi itu di anggap benar."

"Lalu, bagaimana jika kita sudah berpegang teguh pada keimanan, namun setelah kematian datang, rasa penyesalan itu masih ada."

"Maka selagi hidup, kita terus-terusan bersyukur atas apa yang Allah berikan. Kematian itu pasti, jadi sebaik-baiknya kita yang masih di beri hidup, guna jalani sesuai apa yang Allah inginkan dari Hamba-Nya. Karena yang menentukan baik dan buruknya, imbalan apa yang kita dapat, hanya Allah sang pemegang kuasa."

Entah sadar apa tidaknya, Hujan turun malam ini. Mengguyur gersangnya tanah yang mengering beberapa hari. Suasana semakin dingin, dan keduanya masih hanyut dengan pembicaraan perihal hidup dan kecintaan kepada Allah.

"Cinta ku sama Allah tidak bisa di gambarkan dengan apapun, Zen. Meski aku terlahir dalam kekurangan, namun aku tetap bersyukur dengan hidup seperti ini."

"Kamu masih bersemangat sampai sekarang, 'kan, Aydan?"

Aydan tersenyum. Lelaki itu itu membawa tangan kananya ke arah dada.

"Jantung ku masih berdegub kencang, sampai sekarang."










Bersambung ...

"Cinta itu tidak semudah di bicarakan, di utarakan, karena cinta adalah sebuah perasaan yang tidak bisa dideskripsikan dengan jelas. Sebab hati manusia itu abu-abu, jelas tidak mudah menggambarkan bagaimana perasaan yang selama ini di rasa adalah apa yang kita pikirkan."

-Aydan Abqary-

90 Hari Ada Cerita | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang