BAB 6 : Waktu, Dan Al-Qur'an.

18 3 0
                                    

Definisi hidup yang bahagia itu adalah bagaimana kita yang menjalani kehidupan itu dengan perasaan yang ikhlas. Meski kerap ada saja takdir yang membuat kita merasa kesulitan, namun yang namanya proses selalu berjalan sesuai apa yang ditulis oleh sang Semesta.

Seperti apa yang kini Aydan rasakan. Lelaki berhati lembut yang kini bertumpu pada sebuah harapan. Aydan mungkin merasa bahwa hidupnya terlalu berat untuk dijalani, namun di sisi lain ada sesuatu yang membuat ia selalu bersyukur, selalu menerima meski keadaannya terombang-ambing oleh takdir.

Aydan percaya, Allah akan memberikannya sesuatu yang baik. Dibalik itu semua, pasti ada kebaikan yang akan datang. Aydan tidak pernah berkeluh tentang hidupnya kepada Allah. Meskipun sesekali ia pernah merasa lelah. Di setiap sholat-nya, ia tidak pernah melewatkan satu doa. Doa yang saat ini selalu ia harapkan.

Di sebuah gazebo dekat Mushola, Aydan berdiri di sana. Matanya memperhatikan bagaimana tetesan air hujan yang jatuh. Sore hari ini, hujan deras datang lagi. Awalnya Aydan mengira hujan akan berhenti di waktu yang lebih cepat, namun rupanya dugaannya salah. Karena sudah lebih dari 1 jam hujan masih begitu deras.

Hembusan nafas terdengar begitu panjang. Aydan menengadah, melihat awan kelabu yang begitu memenuhi sehingga tidak ada secelah langit biru yang terlihat. Kemudian tangannya terulur, membuat tetesan hujan itu jatuh ke telapak tangannya.

Rasa dingin tiba-tiba menguar. Aydan tersenyum tipis, melihat bagaimana tetesan itu membasahi telapaknya. Di saat seperti itu, tiba-tiba saja sebuah suara terdengar dan langsung mengalihkan atensi-nya.

Di sana, tepat di sebuah koridor mushola sesosok laki-laki melambai ke-arahnya. Dan tak lama lelaki itu berlari kecil, menuju ke tempat dimana ia berada.

"Mas Aydan kenapa di sini? Ustadz Nawawi tadi nyariin?"

Laki-laki yang 3 tahun lebih muda dari Aydan itu kini mengulurkan sebuah Al-Qur'an berukuran kecil kepada Aydan. "Atau sengaja nungguin aku buat ambil Al-Qur'an, ya?"

Aydan sontak tertawa, lalu menepuk kecil kepala anak itu.

"Kamu ini! Ya mana ada Mas nungguin kamu balikin ini," ucapnya seraya meraih Al-Qur'an yang sempat ia pinjamkan ke anak laki-laki itu.

Akbar, namanya. Remaja laki-laki yang berumur 15 tahun itu memang sempat meminjam Al-Quran milik Aydan sewaktu selesai sholat Zhuhur.

Kebetulan hari ini, Aydan dan Ayah-nya pergi ke Pesantren Nurul Qur'an milik Kakeknya. Aydan yang baru saja selesai sholat Zhuhur, tiba-tiba mendapati kedatangan sosok Akbar yang ingin meminjam sebentar Al-Qur'an kecil miliknya yang selalu ia bawa kemana pun, karena diketahui Akbar lupa membawa benda tersebut sewaktu ingin pergi ke mushola. Meskipun Akbar harus rela menunggu Aydan membaca beberapa halaman. Dan setelah Aydan selesai, ia menyerahkan benda suci itu kepada Akbar.

Berhubung Pesantren tengah mengadakan rapat, para santri di biarkan untuk melakukan kegiatan keagamaan sendiri-sendiri. Namun untuk sholat, semua harus berjamaah.

"Ayah di mana, Bar?"

"Tadi di Mushola, tapi abis itu beliau pergi gak tau lagi aku mau kemana."

Aydan mengangguk. "Ini kamu udah selesai baca emang?"

"Ya udah lah. Aku tadi cuma mau lanjutin hapalan doang."

"Ngomong-ngomong, udah hapal berapa Juz kamu?" Aydan tertegun.

Di tanya seperti itu, senyum sumringah terbit di bibir Akbar.

"Coba tebak," katanya.

"Hm?" Aydan mengernyitkan keningnya. "18 Juz?"

Namun melihat Akbar menggelengkan kepalanya, Aydan kembali berpikir.

"Oh, 20 Juz?"

"Teng!" setu Akbar lantang. Anak itu tertawa. "21 Juz tepatnya, Mas!"

Mata Aydan seketika melebar. Seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Beneran?!" katanya.

"Iyalah. Masa aku bohong. Bohong kan dosa, Mas!"

"Wah!" Aydan bangga mendengarnya. Bagaimana tidak, yang Aydan tahu dulu, hapalan Akbar baru 15 Juz, itupun baru bulan tadi. Jadi selama sebulan itu, Akbar sudah menambah hapalan 5 Juz.

"Hebat kamu!"

Akbar tertawa renyah. "Mas Aydan udah berapa Juz, sekarang?"

Kini giliran anak itu yang bertanya. Aydan tersenyum tipis. Matanya teralihkan pada rintikan hujan yang masih mengguyur, lalu setelahnya mengalihkan atensi ke arah Al-Qur'an yang ada di tangannya.

"In syaa Allah, beberapa bulan lagi udah khatam," jawabnya.

"Hebat!"

"Doa'in aja." Aydan tertawa.

Di antara guyuran hujan itu, mereka berdua berdiri, bernaung di Gazebo seraya bercengkerama tentang berapa banyak hapalan Al-Qur'an yang sejauh ini sudah mereka usahakan.

Namun di balik itu, ada sebuah perasaan yang selama ini membuat Aydan sedikit terbebani. Sejauh ini, Aydan sudah begitu berusaha. Tentang bagaimana ia yang berusaha menambah hapalan di setiap waktu. Bagaimana ia yang bersekeras agar dalam beberapa bulan ini ia sudah menyelesaikan hapalan Al-Qur'an -nya.

Aydan ingin menyelesaikan apa yang belum ia selesaikan. Sebab, sewaktu-waktu ia takut tidak bisa menyelesaikannya dengan baik. Jadi sekarang ini, Aydan berteguh pada dirinya sendiri, selagi waktu memberikannya kesempatan Aydan ingin menuntaskan segalanya. Menyelesaikan semua keinginannya.

"Kamu juga harus khatam cepat, Akbar!" kata Aydan.

"Doa'in juga, Mas!"

"Semua santri di sini selalu Mas doa'in." Aydan tersenyum tipis. "Kamu masih muda, masih banyak waktu buat nyelesain semuanya. Khatam Al-Qur'an, khatam kitab-kitab lainnya."

Aydan merubah posisinya menghadap ke arah Akbar. Lalu memandang anak itu dengan tatapan penuh arti.

"Dan cita-cita kamu buat menempuh pendidikan di Mesir. Kamu harus mewujudkannya!"

Kalimat itu berhasil membuat Akbar terdiam. Diantara ratusan santri di sini, hanya Akbar satu-satunya yang begitu dekat dengan Aydan. Bahkan Akbar mengetahui apapun tentang lelaki itu. 2 tahun sempat bersama di Pesantren bersama Aydan, tak heran membuat Akbar begitu tahu.

Meski kini Aydan sudah tidak lagi di pesantren, namun Aydan selalu hadir di sini. Sewaktu-waktu ia akan menghampiri Akbar. Menanyakan bagaimana perkembangan hapalan dirinya, lalu membagikan sebuah kisah yang hanya akan di ketahui keduanya.

"Nanti kalau semua keinginanku terwujud, Mas harus jadi orang pertama yang tahu!" katanya.

Meski terkesan berat, Aydan mencoba untuk tersenyum lalu mengangguk.

"Ya harus!" jawabnya.

Keduanya tertawa bersamaan dengan suara hujan yang entah kapan akan berhenti.










Bersambung ...


"Meski kita tidak pernah tahu akan seperti apa ke depannya. Tetapi waktu akan tetap terus berjalan, yang akan mengiringi kita pada sebuah harapan."

-Aydan Abqary-

90 Hari Ada Cerita | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang