1

914 53 2
                                    


Semua tokoh dalam cerita ini adalah milik penulis asli.

.

Typo

.

Semua cerita ini imajinasi author.

.

DON'T LIKE DON'T READ


























Seorang lelaki muda berusia diawal dua puluhan tengah duduk di sebuah sofa dengan beberapa pelayan yang mengelilinginya. Salah seorang dari mereka bertugas mengoleskan obat merah pada beberapa luka yang mengeluarkan darah, sedangkan satu yang lain mengompres bagian yang terlihat memar. Lelaki dengan rambut sedikit panjang itu sesekali mengumpat kasar ketika seorang pelayan menekan lukanya terlalu keras, membuat pelayan wanita tersebut menundukkan kepala sebagai tanda permintaan maaf namun tetap melanjutkan pekerjaan.

“Apa lagi yang kau lakukan, anak nakal?” sebuah suara terdengar dari ujung tangga. Seorang lelaki dengan aura mengintimidasi selangkah demi selangkah menuruni tangga hingga kini sosoknya sudah berdiri di depan sofa. Matanya menatap tajam, terlihat sekali sosoknya sedang marah, namun lelaki yang menjadi sumber kemarahan hanya menatap sinis tanpa peduli. “Kimhan, aku bertanya padamu?”

Sekali lagi, sosok tampan dengan alis tebal itu bertanya dengan penuh penekanan, namun tetap tak ada jawaban. “Big?”

Seorang lelaki yang sejak tadi berdiri tepat di samping Kim menegakkan tubuhnya, “Tuan Kim melakukan balap liar dan berkelahi, Tuan Kinn.” Jawab Big. Lelaki itu adalah pengawal Kimhan yang keadaannya juga tak jauh berbeda dengan orang yang dijaganya. Memar dibagian pipi dan luka berdarah diujung bibir, bahkan pakaian yang dikenakannya sudah jauh dari kata rapi.

Semua ini bermula ketika bungsu dari keluarga besar Theerapanyakul tersebut pergi diam-diam pada tengah malam, mengendap-endap melewati koridor dan berjalan menuju parkiran. Big yang saat itu belum terlelap tak sengaja melihatnya dan sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan. Merasa bahwa si bungsu itu adalah tanggung jawabnya, Big dengan diam-diam mengikutinya dari belakang tanpa ketahuan. Sebenarnya Big hanya akan diam di dalam mobil dan mengawasi dari jauh, namun perkelahian tiba-tiba saja terjadi tepat setelah balapan yang mereka lakukan usai membuat Big harus ikut turun tangan. Dua lawan enam, tentu saja itu bukan jumlah yang seimbang. Mereka bahkan hampir saja kalah jika Pete dan Porsche tidak tiba-tiba datang untuk membantu.

“KIMHAN, DASAR KAU AKAN NAKAL. PERGI DIAM-DIAM PADA TENGAH MALAM, MELAKUKAN BALAPAN, BERKELAHI DAN PULANG DALAM KEADAAN TIDAK MANUSIAWI.” Tankhun, anak sulung dari keluarga Theerapanyakul berteriak marah ketika sosoknya baru saja turun dari lantai atas dengan diikuti oleh kedua pengawalnya. Lelaki dengan mantel bulu tebal tersebut langsung meradang ketika, Arm, salah satu pengawalnya memberitahu apa yang baru saja dilakukan oleh adik bungsunya.

Si bungsu yang baru saja selesai diobati masih tetap diam dan memandang kedua kakaknya dengan pandangan malas, bahkan anak itu masih sempat memutar kedua bola matanya ketika si kakak sulung berteriak lantang sembari berkecak pinggang, “Bisakah kalian berdua tidak memarahiku. Aku hanya melakukan balapan dan berkelahi. Bukankah itu hal yang biasa dalam dunia kita.” Sepasang mata almond tersebut menatap bergantian kakak sulung dan kakak keduanya.

Tankhun mengeraskan ekspresi wajahnya ketika mendengar jawaban si bungsu yang dinilainya terlalu santai, “BAGAIMANA AKU TIDAK MEMARAHIMU, HAH. LUKAMU SEMINGGU LALU BAHKAN BELUM SEMBUH DAN SEKARANG KAU KEMBALI BERKELAHI.”

Suara Tankhun benar-benar menggema hingga membuat orang-orang yang ada di sekitarnya refleks menutup telinga, terlebih Kinn yang berdiri tepat di sebelah lelaki itu. Tankhun ini kalau sedang marah memang benar-benar, lelaki itu akan terus berbicara dengan nada tinggi hingga mungkin suaranya akan terdengar hingga ke halaman belakang. Berbeda dengan Kinn, yang hanya akan bertanya penuh penekanan kendati wajahnya tetap berekspresi datar. Kedua tangan berkecak pinggang juga sorot matanya yang mengintimidasi menjadi pelengkap.

Kim berdecak kesal mendengar omelan sang kakak, “Aku bahkan sudah dua puluh tahun, kak. Sampai kapan kalian akan memperlakukanku seperti anak kecil.”

“Umurmu itu hanya angka. Nyatanya kau bahkan belum bisa mengurus dirimu sendiri. Kau itu ceroboh, sumbu pendek dan sering membuat ulah. Setidaknya pikirkanlah dirimu sendiri jika ingin melakukan sesuatu.” Tankhun maju dan menjewer telinga si bungsu hingga membuat lelaki itu mengaduh dan berteriak kesakitan.

“Ahh, lepaskan, kak. Telingaku bisa putus.” Kedua tangan Kim berusaha melepas tangan sang kakak yang menarik telinganya, namun semakin Kim berusaha melepas, tarikan ditelinganya malah semakin kencang. Kenapa kakak sulungnya ini begitu tega.

Sementara Big, Arm, dan Pol meringis ngeri melihat Tankhun yang menjewer Kim dengan begitu keras. Sulung keluarga utama itu selain cerewet dan sering mengomel, juga akan menjadi menyeramkan ketika suasana hatinya memburuk, terlebih jika Kim membuat ulah.

“Big, bawa Kim ke kamar. Mulai sekarang, jangan biarkan dia pergi sendiri. Antar kemana pun dia pergi, bahkan ketika ke kampus. Pokoknya jangan biarkan anak itu sendirian.” Kinn menyela pertengkaran kedua saudaranya tersebut. “Aku atau Big yang akan melakukannya.” Ujarnya kembali dengan penuh penekanan ketika melihat si bungsu hendak protes.

Kim tak bisa berkutik ketika sang kakak berkata demikian. Karena jika harus memilih antara Big atau Kinn, tentu saja Kim lebih memilih Big tanpa berpikir dua kali. Tak bisa dibayangkan jika Kinn yang akan terus mengawasinya, kesehariannya pasti akan terkekang tanpa bisa menghela nafas walau hanya sejenak. Kakak keduanya itu menerapkan terlalu banyak aturan hingga terkadang membuatnya muak.

Big hendak membantu Kim untuk kembali ke kamar, namun si bungsu itu sudah lebih dulu bangkit dan berjalan cepat menuju lantai dua dengan ekspresi wajah yang tak mengenakkan. Jangan ditanya apa penyebabnya karena sudah jelas satu lagi aturan tak tertulis yang harus diturutinya.

“Itu akibat karena kau terlalu memanjakannya, Kinn.” Tankhun berujar dengan jari jemarinya yang memijit pelipis dengan perlahan, terlampau pusing dengan kelakuan si bungsu yang tidak ada habisnya.

Mendengar ucapan Tankhun, Kinn hanya menaikkan sebelas alisnya bingung, “Jika tidak lupa kau bahkan lebih memanjakan dia daripada aku, kak. Kau menuruti semua keinginnya, membuat dia melakukan semua yang dia mau hingga dia tumbuh seperti sekarang.”

“Hah, ingat semua yang kau lakukan untuk Kim bahkan sebenarnya melebihi apa yang aku lakukan untuknya, Kinn. Dia meminta mobil langsung kau turuti, dia minta tinggal sendiri juga kau setujui walau akhirnya kau juga yang menyeretnya pulang karena dia malah semakin tak terkendali.” Tankhun menatap Kinn dengan sinis, “Ayo Arm, Pol, kita pergi dari sini. Aku punya drama yang harus aku selesaikan.”





TBC

Cerita ini sebenernya udah aku tulis cukup lama. Kalau nggak salah sehari setelah KP tamat. Sempet ragu mau posting karena menurut aku ini cerita agak gimana gitu. Cuma setelah kupikir lagi, daripada cuma mengendap di draft terus nggak ada yg baca. Mendingan aku posting.

Ceritanya mungkin nggak terlalu bagus, bisa dibilang agak cringe juga kali ya. Tapi semoga menghibur dan bisa jadi bacaan dikala gabut, ya.

Who am i? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang