Dua orang lelaki masih terjaga walau waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Sedangkan satu orang lagi sudah terlelap kealam mimpi dengan nafas teratur.
Kinn tengah terduduk di atas ranjang sembari sebelah tangannya mengelus rambut adik bungsunya yang kini tertidur lelap di ranjang Vegas.
Sedangkan Vegas, lelaki dengan wine ditangan kirinya tersebut menyenderkan badan pada jendela kamar dan melihat apa yang Kinn lakukan dengan ekspresi datar.
"Jadi, kau tidak pernah berniat memberitahu Kim yang sebenarnya?" Vegas bertanya setelah minuman beralkohol tersebut melewati tenggorokannya.
Terdengar helaan nafas berat, "Itu bukan urusanmu, Vegas. Tapi Kim sudah menjadi bagian dari keluarga utama, tak ada yang bisa merubah itu."
"Tak kusangka kau benar-benar iblis." Ujar Vegas.
Kinn melangkah menuju meja yang ada di pojok ruangan. Menuangkan wine ke dalam gelas dan menegaknya dengan perlahan, "Kupikir kita hidup di lumpur yang sama. Jadi harusnya kau tau seberapa kotor itu."
"Kau menginginkannya?" Tanya Vegas dengan sorot mata serius.
"Hanya orang bodoh yang tak menginginkannya. Dan kupikir kau juga begitu." Jawab Kinn dengan seringai diwajah tampannya.
Kim memasuki rumah keluarga utama dengan emosi memuncak. Dirinya baru saja dijemput paksa oleh Pete dan Poesche, dua pengawal kakaknya.
Porsche berkata, bahwa jika dirinya tak mau pulang dengan mereka berdua. Maka Kinn akan membakar semua koleksi gitarnya. Tentu kecintaan Kim pada gitar tak akan membuat hal itu terjadi.
BRAKKKK...
Bantingan pintu terdengar disalah satu kamar anak sulung keluarga Theerapenyakul. Pelakunya tak lain dan tak bukan adalah Kimhan. Jika emosinya sedang tak terkendali, sudah menjadi kebiasaan untuk pergi ke rumah keluarga minor atau mendatangi kamar Kakak sulungnya.
"BOCAH NAKAL, APA YANG KAU LAKUKAN?!" Itu adalah suara Tankhun yang terlonjak kaget karena bantingan pintu barusan. Dua orang yang ada didalamnya juga tak kalah kaget hingga mereka terlempar dari ranjang yang sedang mereka duduki. Siapa lagi jika bukan Pol dan Arm.
"Keluar." Hanya satu kata. Tapi itu berhasil membuat Pol dan Arm merinding ketakutan hingga keduanya langsung beranjak dari ruangan tersebut.
Begitu hanya tersisa mereka berdua di kamar Tankhun. Kim segera melepas sepatunya dan langsung melemparkan tubuhnya kepelukan sang Kakak sulunh. Sebuah kebiasaan yang tak banyak orang tau.
"Ada apa lagi, bocah nakal?" Tankhun bertanya sinis ketika adiknya sudah ada dalam pelukan.
"Annakinn sialan itu sangat menyebalkan." Suaranya yang serat akan kemarahan teredam dada Tankhun karena anak itu makin merapatkan tubuhnya pada sang Kakak.
Tankhun menghela nafas kasar, "Aku tak tau ada apa denganmu akhir-akhir ini. Kau banyak membuat ulah. Balapan, berkelahi, pergi ke club dan menghajar orang, serta kabur ke rumah keluarga minor."
Tak ada sahutan dari Kim, anak itu hanya diam membuat Tankhun kembali melanjutkan ucapannya. "Jangan nakal dan banyak membangkang, turuti apa kata Kakakmu. Kinn itu sangat menyayangimu. Ingat ketika kau pergi tanpa pamit dan membuatmu dikeroyok oleh 12 orang hingga kau harus dirawat selama 10 hari dan tak bisa berjalan kemanapun tanpa kursi rodo? Kau harus tau betapa murkanya Kinn saat ini. Dia menghajar semua pengawal yang tak becus menjagamu—"
"Aku bisa menang jika mereka tidak berdua belas—aww." Kim berteriak keras ketika Tankhun menyentil dahinya dengan keras.
"Dengarkan dulu sampai aku selesai bicara, bocah." Ujar Tankhun sambil menyingkirkan tangan Kim yang mengusap dahinya dan mengganti dengan tangan miliknya. "Dia bahkan turun tangan sendiri menangkap dua belas orang yang menghajarmu beserta dalang dibaliknya. Kau juga harus tau bagaimana Kinn menghilangkan nyawa mereka dengan perlahan dan penuh kesakitan. Kesimpulannya, Kinn itu sekarang lebih protektif padamu karena dia takut hal yang sama akan terulang lagi. Hargailah walau caranya memang sedikit menyebalkan, tapi itulah cara Kinn menunjukkan kasih sayangnya."
Tak ada jawaban dari Kim, anak itu masih terus diam hingga tangannya menyingkirkan tangan Tankhun dan merapatkan tubuhnya dengan tubuh sang Kakak. Si bungsu itu makin mengeratkan pelukannya dan menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di dada Tankhun.
"Datangilah Kinn dan minta maaf padanya, anak nakal." Ujar Tankhun sebelum menaikkan selimut untuk menyelimuti tubuh mereka berdua.
Lelaki dengan rambut panjang menutupi leher tersebut berulang kali menghela nafas dalam guna menghilangkan rasa gugup. Dirinya kini berada di depan pintu kamar sang Kakak setelah perenungannya yang panjang. Nasehat kakak sulungnya tak sepenuhnya salah, dirinya memang harus menyadari bahwa awal dari sikap protektif Kinn adalah karena kejadian beberapa tahun lalu.
Bahkan Kim masih ingat ketika Ayah, Kakak sulung, Kakak kedua, dan bahkan Vegas bergantian menjaganya di kamar rawat tanpa sedetikpun beranjak pergi.
Ayahnya yang selalu sibuk bermain catur menjadi lebih sering ada disisinya guna mengajaknya bicara. Tankhun yang biasanya tak pernah melewatkan acara kontes kecantikan rela tak menonton hanya untuk duduk di sampingnya sembari menyuapkan makanan. Kinn yang selalu sibuk melakukan pertemuan rela meninggalakan itu semua hanya untuk menemaninya hingga terlelap. Serta Vegas yang dalam pekerjaannya tak pernah sekalipun menunda penyeludupan barang rela menundanya hanya untuk membawa Kim keluar dari kamar guna menghirup udara segar.
Jika dipikir kembali, perilakunya sungguh tak pantas dan kekanakan. Dirinya juga sadar bahwa emosinya kadang naik turun tak menentu dan gampang tersulut. Maka dengan keberanian penuh, Kim mengkat tangannya dan mengetuk pintu itu dua kali hingga terdengar suara masuk dari dalam.
"Kakak...." Panggilanya dengan suara kecil. Kim memang tak kenal takut diluar sana, tapi jika berhadapan dengan Kinn, maka seluruh keberaniannya akan hilang seketika.
"Ada apa? Kenapa kau hanya berdiri di situ? Masuk." Kinn berujar serius tanpa menolehkan pandangannya kearah pintu sebab lelaki yang kini sudah berbaring nyaman di ranjang itu masih fokus pada ponsel ditangannya.
Sekali lagi Kim menghela nafas pelan, "Aku minta maaf."
"Masuk ke sini dan katakan dengan jelas, Kim." Ujar Kinn yang kini sudah meletakkan ponselnya di meja samping ranjang.
Kim mau tak mau memasuki kamar kakaknya. Berjalan pelan hingga kini dirinya sudah berdiri di samping ranjang.
"Kemarilah." Ujar Kinn sembari menepuk tempat kosong di sebalahnya. Dan tanpa berpikir dua kali, Kim merebahkan dirinya lalu masuk dalam pelukan Kinn ketika lelaki itu membuka lebar kedua tangannya. "Jadi...."
"Aku minta maaf." Ujar Kim. "Aku salah karena terlalu banyak membangkang hingga membuat semua orang repot."
Hening dianatara keduanya. Kinn sama sekali belum memberikan jawaban membuat Kim harap-harap cemas. Kakak keduanya ini kalau sedang marah seram, bahkan lebih seram daripada Tankhun.
Kim mendongak, lalu menusuk dada Kinn dengan jari terlunjuknya, "Kak, aku dimaafkan tidak?"
Bukannya menjawab, Kinn malah mengeratkan pelukannya pada tubuh Kim membuat si bungsu itu semakin takut. Jangan-jangan dirinya tidak dimaafkan.
"Tidur. Sudah malam." Ucapan Kinn tersebut membuat Kim melongo.
Si bungsu itu kesini untuk minta maaf, tapi kenapa malah disuruh tidur.
"Bukan tidur, Kak. Aku dimaafkan tidak?" Kim berusaha melepaskan diri dari pelukan Kinn, tapi tidak berhasil karena kedua tangan lelaki itu begitu erat melilit tubuhnya.
"Jangan membangkang." Kim berhenti memberontak ketika Kinn berkata demikian.
Bungsu Theerapayakul tersebut hanya menghela nafas lalu membalas pelukan Kinn dan memejamkan kedua matanya, "Selalu saja begitu."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Who am i? (END)
FanfictionSeperti kata pepatah, "Sepandai-pandai tupai melompat. Pasti akan jatuh juga." Theerapanyakul Family. DLDR BXB