CHAPTER 1

569 67 6
                                    

Jeno duduk di kelas dengan sebelah tangan menopang dagu, tatapannya kosong menembus jendela. Dalam hati, ia berteriak, 'Kamu harus merasakan penderitaanku, Mark Lee!' Dia mengepalkan tangan, menahan emosi yang membara.

Tiba-tiba, suara tegas Mr. Moon memecah lamunannya. "Lee Jeno!"

Jeno terkejut dan langsung menegakkan badan. "Ah, iya, Pak! Maaf," jawabnya dengan cepat.

"Jangan melamun saat pelajaran sedang berlangsung!" tegur Mr. Moon, tatapannya tajam.

Jeno mengusap tengkuk lehernya, merasa sedikit malu. "Baik, Pak."

Tak terasa, bel sekolah sudah berbunyi, menandakan waktu pulang sekolah tiba. Jeno segera bergegas keluar dari kelas, berusaha mengalihkan pikirannya dari Mark dan segala pertanyaan yang mengganggu. Namun, langkahnya terhenti ketika Min-Ji dan Haerin, teman sekelasnya, menghampirinya.

"Jeno!" panggil Min-Ji dengan ceria. "Kamu baik-baik saja? Aku perhatikan belakangan ini kamu sering melamun."

"Enggak apa-apa, kok," sahut Jeno, berusaha tersenyum meskipun perasaannya masih berkecamuk. "Maaf, ya! Aku harus pergi latihan dulu." Ia beranjak menuju pintu.

"Oke, Jeno! Semangat, ya!" teriak Min-Ji, matanya berbinar. "Susah banget, ya! Deketin orang seperti Jeno."

Haerin mengangguk setuju, "Iya nih! Ada nggak ya... seseorang yang bisa menaklukkan hatinya?"

"Entahlah, aku juga jadi penasaran..." sahut Min-Ji, matanya mengikuti Jeno yang semakin menjauh, meninggalkan mereka dengan segudang pertanyaan.

Di luar kelas, Jeno berusaha mengalihkan pikirannya dari Mark. Setiap langkahnya menuju lapangan basket terasa berat, dan semakin ia mencoba untuk fokus, semakin kuat rasa gelisah itu menyergapnya.

"Apakah aku memang bisa melupakan semua ini? Apakah ada yang bisa mengerti perasaanku?"

Dengan tekad baru, Jeno melangkah lebih cepat, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan dalam latihan yang akan datang. Dalam benaknya, ia berjanji untuk tidak membiarkan emosi ini menguasai dirinya lebih lama lagi.

.

.

Di ruang ganti, Jeno tengah bersiap untuk latihan basket, tetapi pikirannya melayang jauh. 'Entah kenapa, belakangan ini aku sering bermimpi tentang pria itu. Dia yang pernah mengisi masa kecilku, seolah menjadi mimpi buruk yang selalu menghantuiku. Meskipun aku sudah berusaha melupakannya, pertanyaan tentang di mana dia sekarang dan bagaimana keadaannya terus muncul dalam benakku. Apakah semua ini karena aku ingin membalaskan dendamku padanya?'

Dengan kasar, Jeno menutup loker dan berkata, "Sepertinya aku harus lebih giat latihan untuk melupakan semua ini," lalu bergegas menuju lapangan basket.

Setelah berlatih, Jeno duduk di pinggir lapangan, mengusap keringatnya dengan handuk kecil. Tiba-tiba, Haechan menghampirinya dan memukul bahunya.

"Hei, Jeno! Beberapa hari ini kamu latihan sangat keras. Apa ada turnamen sebentar lagi?" tanya Haechan dengan senyum lebar.

"Huh? Dua bulan lagi," sahut Jeno.

Haechan memutar bola matanya malas. "Kan masih lama! Seharusnya kamu jangan latihan terlalu keras. Gimana kalau kamu sakit pas turnamen? Lebih baik simpan tenagamu buat nanti."

"Tak apa, sekalian latihan. Kalau diam saja, aku jadi kepikiran yang aneh-aneh," jawab Jeno.

"Hah?! Pikiran aneh-aneh seperti apa? Jangan-jangan pikiran mesum," Haechan tertawa. "Saatnya kamu harus punya pacar!"

Jeno menghela napas, berpikir, 'Nih anak memang...' lalu melemparkan handuk kecil ke wajah Haechan. "Bukannya kegiatan itu menyita waktu dan menghabiskan banyak uang? Aku sama sekali belum tertarik."

The Painful First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang