CHAPTER 5

441 57 11
                                    

Café itu ramai dikunjungi pelanggan, dan Jeno pun mau tak mau turun tangan membantu. Suasana riuh; beberapa pelanggan asyik mengobrol, sebagian lagi sibuk dengan ponsel mereka sambil menunggu pesanan.

"Eh, di sini tteokbokkinya enak banget, harganya juga murah. Eh, katanya anak pemiliknya cakep banget ya..."

"Serius? Kamu pernah ketemu dia?"

"Sayangnya belum. Katanya dia jarang bantuin ayahnya di sini. Pengen banget sih bisa foto bareng."

"Yah, sayang banget."

"Ayo dong, foto bareng dulu!"

"Iya, yuk!"

Saat itu, Jeno menghampiri meja mereka dengan membawa pesanan, "Permisi, nona-nona," katanya, sambil meletakkan tteokbokki yang masih hangat di atas meja mereka. "Silakan, kalau butuh tambahan pesanan, tinggal panggil saya ya." Senyum ramahnya membuat para pelanggan terpaku.

"Kyaa, hati kita juga mau diambil, dong!" seru salah satu pelanggan dengan bercanda.

Jeno hanya tersenyum kikuk dan buru-buru pamit. Di ruang ganti karyawan, ia duduk menunduk, merasa sedikit tertekan. "Sebenarnya aku nggak nyaman pura-pura ramah begini... tapi demi ayah, aku rela melakukannya supaya dia memaafkanku."

Flashback on

Sudah beberapa hari ini, Jeno malas-malasan di rumah, mengabaikan latihan basket. Pikirannya terus terpaku pada kata-kata temannya, Mark, yang membicarakan sesuatu tentang kutukan. 'Memangnya zaman sekarang masih ada kutukan?' gumamnya, sambil mengubah posisi tidur.

Tiba-tiba, terdengar suara keras. "Lee Jeno! Daripada kamu bermalas-malasan di rumah, mending bantu ayah di café!" Teriakan Donghae, ayahnya, membuat Jeno terkejut.

'Aduh, bakal dimarahi habis-habisan sama Ayah nih,' pikirnya.

Flashback off

Donghae kemudian mendekati Jeno, duduk di sampingnya. "Jeno," sapanya.

"Eh, iya Yah?"

"Kalau bantu ayah di café, yang semangat dong. Lihat tuh, pelanggan perempuan jadi banyak!"

"Ayah, kenapa malah disuruh nyari jodoh sih? Lulus SMA aja belum."

Donghae tertawa. "Jadi pelayan itu kesempatan, siapa tahu jodoh datang. Kalau ayah kan sudah cukup dengan mengenang mendiang ibumu."

Jeno tersenyum, "Ayah, nggak semua ibu tiri itu seperti di drama-drama. Asal ayah menemukan seseorang yang baik dan sayang sama Ayah, aku pasti mendukung."

Donghae terharu. "Kamu memang anak berbakti. Makanya ayah selalu ingin kebahagiaanmu. Dari kecil kamu udah banyak berkorban; ibumu meninggal saat kamu lahir, dan kita melewati masa-masa sulit bersama."

Jeno mengangguk, tersenyum kecil. "Aku tahu, Yah. Dan aku udah merasa cukup bahagia. Sekarang giliran Ayah yang harus bahagia."

Donghae tersenyum bangga, lalu melihat ke arah pintu café, "Jeno, lihat tuh, banyak wanita berdatangan. Yuk, cari yang kamu suka!"

Jeno kebingungan, "Kok bisa banyak begini?"

"Oh, soalnya barusan ayah pasang fotomu di banner iklan depan café," jawab Donghae sambil tertawa.

"Apa?!" Jeno tercengang menyadari ulah ayahnya, sementara Donghae tertawa puas.

.

.

.

"Argh... Ayah benar-benar keterlaluan!" Jeno menggerutu. "Ini namanya bukan nyariin jodoh, tapi kayak mau jual anaknya sendiri!"

The Painful First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang