1

275K 515 3
                                    

Kanda (38 YO) Pov
Bless!!!
"Ahh.." Desahnya ketika rudal hitam penisku masuk ke dalam lubang vaginanya.
Aku menggoyangkan pinggul, mengendalikan rudal penis-ku maju mundur keluar masuk di lubang vaginanya.
"Ahh.. Terus kanda. Ahh.. Lebih dalam kanda.. Ahh.. Enak kanda.. Ahh.. Ahh.. Ahh.."
Plok! Plok! Plok!
"Shh.. Ahh.. Shh.. Aahh.."
Aku menggoyangkan pinggul maju mundur sambil memegang kedua bahu dan sambil mengenyot pucuk dadanya.
"Ahh.. Kanda.. Ahh.. Ahh.. Ahh.."
Dinda mendesah sambil memeluk erat tubuh kekarku.
Plok! Plok! Plok!
Aku menggoyangkan pinggul sambil mengenyot pucuk dadanya.
"Ahh.. Ahh.. Ahh.. Enak kanda. Ahh.."
Erangan Dinda sambil tetap memelukku.
"Ahh.. Dinda, punya aku mau keluar. A.. A.. aaaahh.."
Aku terjatuh lemas di atas dadanya. Cairan kentalku masuk ke dalam rahimnya.
"Ahh.." Desahan Dinda saat aku mengeluarkan batang hitamku dari lubang kenikmatannya.
Aku tiduran terlentang di sampingnya Dinda.
Dinda masih melanjutkan kegiatan memuaskan hasrat birahinya, sama seprti biasanya.
Dinda mengulum jari telunjuk tangan kanannya lalu memasukkan dan memaju mundurkan jari telunjuknya itu di lubang kenikmatannya.
"Ahh.." Desahannya Dinda sambil memaju mundurkan jari telunjuknya di lubang kenikmatannya.
"Maaf Dinda? Kalau selama ini aku tidak pernah memberikan servis yang memuaskan kepada kamu?" Ucapku merasa sangat bersalah, karena kegiatan yang sedang di lakukannya ini bukanlah hal yang pertama kalinya.
"Ahh.. Tidak apa-apa kanda. Ahh.. Kanda tolong ambilkan mainan dildoku kanda? Ahh.." Ucapnya sambil mendesah dan sambil memaju mundurkan jari telunjuk tangan kanannya itu di lubang kenikmatannya.
"Ahh.."
Aku bangkit berdiri, menggeser badan ke samping, turun dari kasur, melangkah mengambil dildo yang berbentu rudal hitam dari dalam lemari.
"Ahh.. Ahh.."
"Ini Dinda, mainan kamu?" Aku memberikan mainan dildo kepadanya.
"Terima kasih kanda." Dinda menerima mainan dildonya sambil tetap meremas pucuk dadanya.
Dinda langsung memasukkan dan memaju mundurkan mainan dildonya itu ke lubang kenikmatannya sambil meremas pucuk dadanya.
Aku melangkah mengambil piyama mantelku. Aku memakai dan menalikan piyama mantelku.
Aku mengambil rokok dari atas meja. Aku melangkah keluar dari kamar lalu merokok di kanopi samping rumah.
Aku adalah seorang pria berusia 38 tahun. Tinggi, kekar dan lumayan tampan.
Meskipun aku dan istriku tinggal di pedesaan, namun kekayaan warisan yang di berikan oleh kedua orang tuaku ini tak ternilai harganya. Bahkan tidak dapat habis, kalaupun di haruskan di nikmati oleh tujuh turunan.
Pekerjaanku sehari-hari ini, hanyalah di rumah. Aku hanya menunggu uang yang datang menghampiriku saja.
Baik empang, ladang sawah, dan juga beberapa rumah yang aku beli sebagai investasi, sudahlah ada orang yang mengurus dan menjaganya.
Namaku pun lumayan di kenal di kampungku ini.
Hah, siapa yang tidak mengenal dengan nama kedua orang tuaku yang telah memberikan warisannya kepadaku ini.
Dini, atau Dinda yang saat ini telah menjadi istriku, dulunya seorang gadis yang bekerja sebagai gadis di tempat hiburan malam.
Sengaja aku meminang dan mengangkat derajatnya. Aku menikahinya pun, karena pada saat itu aku merasa malu.
Tentu aku merasa malu, karena di usiaku yang 36 tahun itu, aku masihlah seorang bujangan. Terpaksa, aku mencari istri dan memilih Dinda, karena hal tersebut.
Namun, tak dapat di pungkiri, jika selama kurang lebihnya, dua tahun ini aku menjadi suaminya, aku tidak pernah membuatnya merasa puas. Milikku terasa lemah, tidak dapat bertahan lama, karena adanya suatu alasan tertentu. Bahkan, selama dua tahun ini pun, aku belum memberikannya seorang anak.
Setiap kali sehabis kita berdua memadu kasih di atas ranjang, setiap kali itu juga istriku melanjutkan hasrat birahinya dengan mainan dildo miliknya.
Di satu sisi aku pun merasa kasihan kepada istriku yang selalu tidak merasa puas itu. Di satu sisi yang lain, aku pun tidak mau melepaskan dirinya.
Karena kalau aku melepaskan dan menceraikannya, pasti statusku ini akan di pandang buruk oleh para tetangga.
Selama kita menjalani pernikahan ini, kita berdua sangatlah bahagia. Apapun yang di inginkannya yang berkaitan dengan sebuah materi, aku selalu menurutinya.
Namun yang belum aku dapat memenuhi, adalah hasrat birahinya.

'Haruskah aku mencarikan orang untuk melayani Dinda, agar Dinda dapat memuaskan hasrat birahinya?'
'Ya, sepertinya aku harus menawarkan kepadanya seseorang yang dapat memuaskan Dinda di atas ranjang.'
Kata hatiku berkata, sambil berdiri menikmati sebatang rokok, menatap kearah taman yang ada di samping rumah ini.
Aku merasa sangat yakin, kalaupun aku menawarkan orang kepada Dinda, Dinda pun pasti akan mau menerimanya.
Aku benar-benar sangat yakin. Karena mungkin, sewaktu Dinda masih bekerja di tempat hiburan malam itu pun, mungkin Dinda bukan hanya melayani satu orang saja di atas ranjang. Mungkin, Dinda juga pernah melakukannya bertiga dengan para tamunya itu di satu ranjang.
'Tapi siapa? Orang yang harus aku tawarkan kepadanya ini?'
Telapak tangan kananku mematikan rokok di asbak. Aku melangkah masuk ke dalam rumah lalu masuk ke dalam kamarku.
Terlihat Dinda yang sudah tertidur miring ke samping kiri di balik selimut ini.
"Din?" Aku berkata dengan nada pelan sambil telapak tanganku memegang samping bahu sebelah kirinya.
Dinda tidak menjawabku. Dinda tertidur pulas.
Aku merebahkan tubuhku di sampingnya Dinda. Aku menyelimuti tubuhku. Aku tiduran miring membelakanginya.
Namun entah mengapa, malam ini terasa berbeda. Benar-benar sangat berbeda dari malam-malam yang sebelumnya. Aku tidaklah dapat memejamkan kedua mataku ini. Seketika fikiranku merasa pusing, selalu memikirkan tentang bagaimana caranya, agar Dinda dapat memenuhi hasrat birahinya ini.
Aku bangkit duduk lalu berdiri. Aku mengambil rokokku. Aku melangkah keluar dari kamar, menuju ke dapur.
Sesampainya di dapur, aku mengambil sebotol wine dari dalam kulkas.
Aku menuangkan wine ke dalam gelas dan juga menuangkan beberapa buah es batu berbentuk kotak ke dalam gelas.
Aku duduk meminum wine sambil menikmati sebatang rokok.
Ya, dikala fikiranku yang sedang terasa pusing seperti ini, wine inilah yang selalu menjadi temanku.
Seketika otakku inipun langsung berputar. Aku mencoba untuk berfikir keras, untuk mencarikan pria untuk Dinda. Aku benar-benar sangat kepikiran denga semua ini.
'Jikalau memang ada seorang pria panggilan atau pria bayaran sekalipun? Aku sangatlah sanggup untuk membayarnya. Berapa pun nilai nominal yang orang itu minta? Aku sangatlah siap untuk memberikannya. Bahkan jikalau di haruskan untuk mengontrak pria itupun, aku sangatlah sanggup untuk mengkontraknya. Yang terpenting bagiku, pria itu dapat memuaskan hasrat Dinda istriku.'
'Haruskah aku menawarkan dan menanyakannya kepada Dinda secara langsung? Agar Dinda mencari sendiri pria yang dapat memuaskan hasratnya itu?'
Telapak tangan kananku bergerak mendaratkan gelas ke bibirku. Aku meneguk wine ini. Telapak tangan kananku bergerak, menaruh gelas di atas meja kembali.
Aku mengenyot rokok sambil berfikir.
'Haruskah aku menawarkan Bromo kepada Dinda?'
Fikirku kembali masih menikmati sebatang rokok.
Aku meneguk wine kembali lalu menaruh gelas ini di atas meja kembali.
'Ya, kalau memang nanti Dinda tidak dapat mencarinya sendiri. Mungkin harapan satu-satunya yang dapat aku harapkan adalah Bromo.'
Fikirku kembali.





Candu Sex Bertiga ( Biseksual )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang