01. Bukan Hanya Luka

458 64 0
                                    

Sebut yang kau inginkan
Apapun itu 'kan 'ku berikan untukmu
Andai kau bersamaku
Di tempat dan waktu yang sama
Kau akan tahu perasaanku
Yang telah lama terpendam

-  The Overtunes -

***

Apa bagian terbaik dari pertemuan? Kehilangan. Karena memang begitu sistem kehidupan berjalan; berawal dari perkenalan, lalu pergi tanpa pamit. Tadinya menyapa, kini hanya saling lirik. Saling mengabaikan seolah lupa bahwa tadinya pernah berbincang penuh kehangatan.

Kata orang, tak kenal maka tak sayang. Hampir 22 tahun hidup, Aksa sudah mengenal ratusan atau bahkan ribuan orang, dan seiring waktu satu-persatu pergi, menyisakan beberapa orang yang itu-itu saja. Seolah berputar pada lingkar yang sama. Itu lah kenapa Aksa enggan repot-repot berkenalan dengan banyak orang kalau tidak penting-penting amat. Kalimat di atas itu bohong. Mana ada sayang, hanya lelah yang didapat.

"Ya ampun! Tadi macetnya parah banget. Kak Aksa udah lama, ya?"

Sudut-sudut bibirnya terangkat paksa membentuk senyuman semanis mungkin, meski perasannya sudah dongkol tidak karuan. Sifat alamiahnya sebagai manusia berkerja untuk bersandiwara. "Santay, baru tadi kok."

Matamu baru.

Setengah jam menunggu sampai bokongnya berasa hampir meledak lantaran tidak bisa beranjak kemana-mana. Pertemuan ke-dua di bulan ini dan Aksa lagi-lagi dibuat menunggu selama hampir 1 jam. Kalau bukan karena wanita dihadapannya ini adalah adik kesayangan sohibnya, mana sudi Aksa mau bertemu lagi.

Namanya Skaya. Tanpa diminta dengan repot-repot bercerita pasal bagaimana orang tuanya yang terobsesi pada hal-hal berbau langit hingga asal muasalnya bernama Skaya Belintang. Dan Aksa yang mendengarkan dengan seksama, seolah-olah tertarik. Meski pikirannya kini bercabang kemana-mana.

"Minggu nanti, Kak Aksa sibuk ngga?"

Aksa mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, berpikir sejenak. "Sibuk, mungkin?"

Ada raut kecewa yang jelas ditunjukkan wanita itu. Dan kalaupun jawabannya tidak, Aksa menjamin ia akan dengan senang hati menolak jika Skaya mengajak untuk bertemu lagi. Apapun alasannya. Tapi kemudian wanita itu mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang sama kecilnya seperti benda yang kini diberikan pada Aksa.

"Waktu SMA, aku pernah undang Kak Aksa ke pesta ultahku, tapi kakak nggak datang," ujarnya kecewa. "Tahun lalu, aku kirim undangan via online juga. Tapi jangankan datang, Kak Aksa baca chat ku aja enggak."

Aksara jelas bukan orang dungu. Ia pernah menangkap keberadaan Skaya berkali-kali di sekitarnya selama beberapa tahun ini, dan ia tahu wanita itu menyukainya. Bukannya sok kegantengan, meski Skaya ini cantiknya macam putri solo, kalau Aksa tidak suka ya mau bagaimana lagi.

"Minggu nanti Kak Aksa sempetin hadir, boleh, ya? Aku nggak butuh kado, aku—"

Dering ponsel berhasil menginterupsi kalimat Skaya. Aksa berdiri, sedikit berlari ke luar resto. Sayup-sayup masih terdengar suaranya yang menyapa orang di seberang sana. Lalu tak lama ia kembali masuk dengan terburu-buru, membuat Skaya bertanya-tanya dan segera paham bahwa pria itu akan pergi.

"Kak Aksa mau—"

"Sorry, Skay. Gue ada urusan. Lo lanjut makan aja, ntar bayar pake ini."

Skaya terpaku kala Aksara pergi tanpa berucap apa-apa lagi, meninggalkan dua lembar uang berwarna merah di atas meja. Ia meremas tangannya dan berdecak sebal.

"Masih selalu Kak Anin, ya?"

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pucuk dicinta, Anin 'pun tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pucuk dicinta, Anin 'pun tiba."

Anindya yang baru menutup pintu kamar terlonjak kaget, menatap horor Aksara yang bersedekap dada di kasurnya dengan wajah kelewat lempeng.

"Eh, ada Aksaraaaa!" ucapnya Jenaka. Tidak menggubris pandangan Aksa yang seolah ingin mencincangnya hidup-hidup. Anin merebahkan dirinya di sofa, cengiran khas yang menyebalkan itu muncul lagi. "Lo nggak ngantuk, Sa? Udah malem loh ini, gih pulang," usirnya sehalus mungkin, yang mana mempan untuk manusia macam Aksara.

Aksa berdecak sebal. "Bagus, ya, udah bikin orang khawatir taunya lagi asik-asik jalan sama cowok." tatapnya makin menajam. "Itu si Panjul, kan? Yang gue liat beneran mobil si Panjul, kan?"

"Haaahh, mau bobo bareng? Haduh! Jangan lah, Sa, ntar dikawinin kita."

"Anin."

"Males-males gini gue masih punya mimpi, tau. Sayang body bohay gue kalau nggak kepake jadi model."

"Anindya," peringat Aksa penuh penekanan.

Pada akhirnya Anin menyerah, mengangguk mengiyakan. Ia bukan tipe orang yang suka berdebat dan Aksa tidak akan menyerah sebelum rasa penasarannya terpuaskan. Tubuhnya sudah meronta-ronta ingin diistirahatkan, ditambah lukanya masih cenat-cenut tidak karuan. Jadi jujur menjadi pilihan terbaik saat ini.

"Gue nggak akan nangis lagi kok, janji." Anin mengacungkan dua jarinya sebagai tanda damai alih-alih mengacungkan kelingking untuk berjanji. "Tadi nggak sengaja ketemu di jalan, dia yang anter gue ke klinik."

Mendengus tidak habis pikir, sejujurnya Aksara tidak masalah mau Anin menangis 7 hari 7 malam sampai badai halilintar menerpa, asal tidak merepotkan dirinya. Masih tertanam dibenaknya Anin yang menangis bak kesetanan pagi, siang, malam setelah tahu dirinya cuma jadi selingkuhan si jamet Bandung satu itu.

Dan melihat Anin yang bisa-bisanya masih sudi menumpangi mobil si Panjul, rasanya dongkol bukan main.

"Lo kan bisa telefon gue, Nin. Kenapa chat gue nggak dibales?" Nada suara Aksa melunak, sebab ia bukan sosok yang senang meledak-ledak. Meski masih jengkel mengingat sore tadi ia rela mengelilingi nyaris semua SPBU di ibukota hanya untuk mencari Anin yang tidak nampak batang hidungnya dimanapun.

"Hp gue mati, Aksaaaa."

"Perlu gue kadoin powerbank lagi tahun ini?"

Anin lantas menggeleng lesu. Rasanya 20% kamar Anin sudah terisi oleh powerbank dan kabel-kabel data yang dihadiahkan Aksa selama ini. Meleng dikit, langsung terlihat benda itu dimana-mana. Bukan tanpa alasan Aksara memberikannya, sebab disaat-saat genting wanita itu selalu sulit dihubungi. Tapi antara malas dan lupa, mau sebanyak apapun juga akhirnya malah tidak berguna.

"Sakit nggak?" Yang dipikirkan tahu-tahu sudah berada di depannya, meraih telapak tangan Anin yang dihiasi luka-luka memanjang.

Anin paham kekhawatiran Aksa yang mungkin terlalu berlebihan baginya yang menganut paham hidup jangan dibawa ribet. Bukan semata-mata karena mereka bersahabat, atau karena ia terlalu menyayangi Anin. Tapi karena Aksara tidak mau kesalahannya terulang untuk ke-dua kali, kecerobohannya yang menganggap telefon masuk itu tidak penting pernah berakhir dengan penyesalan tak berujung.

"Pake nanya, lagi. Sakit banget, banget! Apalagi nih kaki gue, haduh, cenat-cenut berasa mau meledak," sahutnya dramatis.

Aksa mendengus geli, paham tabiat Anin yang kelewat ekspresif. Tapi tak urung menjulurkan tangan untuk menepuk-nepuk puncak kepala wanita itu. Yang membuat Anin tersenyum masam, karena sekarang bukan hanya lukanya yang cenat-cenut, hatinya juga.

***

Metafora Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang