06. Bandung

223 41 10
                                    

"Lo ngapain di sini?"

Lengkara melemparkan sebuah pertanyaan dengan nada keheranan, netranya memicing pada sosok pria yang menyunggingkan senyuman lebar seolah kehadirannya bukan lah hal yang patut dipertanyakan.

"Nonton konser."

"Udah selesai, ege!" hardik Anin yang merasa kesal tanpa alasan.

Mengangkat sebelah alis tebalnya, seolah terkesan dengan kabar yang disampaikan. Tenaka menyugar rambutnya ke belakang, lalu mengedikan bahu dan menyahut ringan, "oh, udah selesai? Yaudah."

Anin menggerlingkan bola mata, sedang Lengkara memilih tutup mulut, kehabisan kata dengan tindakan yang Tenaka lakukan. Tiga jam lalu, pria itu masih di stasiun, menunggu kepergian mereka dan melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.

Kemudian tanpa disangka-sangka, Tenaka tiba-tiba berada di sini, di depan mereka dengan senyuman merekah seperti anak kecil yang baru dibelikan permen, tidak menghiraukan ekspresi keheranan dua gadis itu.

"Gue baru tau lo punya jurus teleportasi, Ka," celetuk Lengkara, takjub.

Tenaka melipat kedua tangannya di depan dada. Kedua alisnya terangkat tinggi, ia berdehem sejenak. "Selain bisa teleport, gue juga bisa ramal," sahutnya, dengan suara yang dibuat-buat sehingga mengundang cibiran dari Anin,

"Tenaka 1990."

"Nggak dulu deh kalau mau ramal kapan gue mencintai lo. Itu mah sampai lebaran monyet juga nggak akan pernah. Centil-centil gini gue cinta mati sama Mada," tolak Lengkara mentah-mentah sembari mengibaskan rambut.

"Bukan, nyet. Geer amat monyet bekantan." Tenaka menyugar rambutnya ke belakang, lalu berpikir sejenak. "Gue ramal habis dari sini lo mau ngedate sama Mada seharian di rumah bokapnya."

Lengkara yang awalnya kesal dikatai monyet berangsur-angsur membelalak, mulutnya menganga dramatis yang ditutupi dengan telapak tangannya. Kepalanya menggeleng-geleng seolah baru mendengar perkataan yang mustahil. "My God! Kok bisa ... lo tau?"

"Orang aku yang kasih tau." Yang dibicarakan tiba-tiba muncul merangkul bahu sang kekasih, jarinya terulur mencolek pipi Lengkara yang masih menganga. "Udahan mangapnya, minta dicium?"

"Pengkhianat!" Anin memukul-mukul lengan Mada yang bertengger di bahu Lengkara. Cewe itu berkacak pinggang tidak terima. "Terus kalau lo berdua pacaran nasib gue gimana?" hardik gadis itu tidak terima.

"Ya terserah. Mau pulang naik ojol kek, mau jalan-jalan dulu kek, atau mau nginep sekalian ya terserah, whatever you want." Lengkara mengedikan bahunya enteng yang membuat Anin kontan murka.

Telunjuk Anin mengacung pada gadis berponi itu, ia menganga tidak percaya. "Cuma segini harga persahabatan kita, Ra? Alias, woy lo yang ngajak gue kesini, monyet! Terus lo mau ninggalin gue gitu aja? Dasar kehed sia!"

Lengkara sontak cemberut, niatnya mengadu pada Mada. "Bub, aku dimarahin," katanya, yang membuat kedua insan lainnya mengernyit jijik.

"Tenang, sayang. Itu lah kenapa kita harus pintar-pintar memanfaatkan situasi," ucap Mada menunjuk-nunjuk Tenaka dengan mulutnya.

Yang ditunjuk membeo menunjuk dirinya sendiri. "Apaan?"

"Ya elu ada guna kek jauh-jauh datang ke sini. Ajak si Anin jalan-jalan sono, biar nggak tantrum," titah Mada semena-mena, yang ditolak Anin secara telak.

"Gue sih mau-mau aja," balas Tenaka enteng.

Anin menggeleng. "Enggak! Gue mau shopping sama Lengkara. Kita kan udah janjian!"

"Gue mau cuddle sama Lengkara, apa lu?"

Melipat kedua tangan di depan dada, netranya memicing curiga pada dua sejoli itu. "Cuddle-cuddle, pulang-pulang melendung perut lu, Ra." Ucapan spontan Anin mengundang teguran Tenaka dan Mada yang sewot tidak terima.

Lengkara sih anteng-anteng saja.

"Mulutnya," tegur Tenaka. "Tapi bener, sih. Lo mah alibi doang cuddle, aslinya mau minta skidipapap wleo-wleo."

"Anjing congor maneh berdua ya, Tenaka bangsat kadieu siah ku urang!" Kesal setengah mati, Mada sudah siaga memasang jurus ular sanca dengan tangan kanan memperagakan mulut ular mematuk, dan satu tangannya menjadi tumpuan. Ia siap meluncur ke arah Tenaka. Soalnya kalau Anin, Mada belum berani. Cewek itu 11 12 sama pacarnya, alias, galak banget, ampun!

"Jurus ular—"

"Sayang, udah."

Anin beradu pandang dengan Tenaka, lalu tanpa bicara apa-apa mereka tertawa bersama saat Lengkara berusaha menyeret pacarnya untuk segera pergi.

"Harga diri aku, Yang! Emangnya aku cowo apa kabar— aduh, iya ampun aku salah. Woy! Fakyu lu berdua!" Jari tengah Mada sempat teracung sebelum menghilang di balik pintu mall. Sayup-sayup suaranya masih terdengar tengah berdebat dengan Lengkara, yang mana membuat gelak tawa kembali terdengar.

"Ayo pulang," ajak Anin setelah tawanya mereda.

Pulang? Yang benar saja! Mana mungkin Tenaka menyia-nyiakan kesempatan ini.

***

Diakhiri penutup yang sangat apa adanya 🤗
Udah berulang kali aku ganti narasi terakhir chapter ini terus kayak, hmm, yaudah lah apa adanya.

Oh iya setelah aku baca-baca lagi chapter sebelumnya tuh kayak lebih banyak moment Anin sama Tenaka ya ketimbang sama Aksa. Jadi, mungkin di next chapter aku bakal lebih banyakin moment AksaNin deh, ya.

Satu lagi, makasih buat kalian yang masih betah baca book ini sampe sekarang!!! Peluk jauh 🫂

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Metafora Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang