05. Hoodie

217 47 6
                                    

Sifat yang bertolak belakang kerap kali menjadi permasalahan utama yang membuat Lengkara dan Anin selalu mempunyai alasan untuk adu mulut. Lengkara yang tidak sabaran dan Anin yang super ngaret kerap membuat keduanya ribut terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan yang sudah direncanakan.

Seperti sekarang contohnya. Sudah jauh-jauh hari sejak keduanya merencanakan untuk menonton konser di Bandung dengan menggunakan kereta cepat sebagai alat transportasi sebab menurut Lengkara lebih efektif dan efisien.

Namun satu jam sebelum keberangkatan, Anin masih leha-leha di kampus sementara gadis berponi itu sudah macam cacing kepanasan di stasiun.

"Sabar kek, orang dari kampus ke stasiun juga nggak nyampe setengah jam. 10 menit juga nyampe!"

Lengkara di sebrang telefon sudah misuh-misuh tidak karuan mendengar lagak santay Anin. "Bawa jaket, Anin. Bawa jaket! Gue nggak mau tanggung jawab kalau balik-balik dari Bandung lo tipes sebulan."

"Aduh! Gue lupa. Yauda lah, lagian cuma nonton konser ini, bukan main hujan."

"Bandung dingin banget, Anindya. Lo nggak akan kuat, gue jamin. Atau beli dulu deh di jalan."

Bukan tanpa sebab Lengkara sampai bicara begitu, pasalnya Anin itu sangat sensitif terhadap udara dingin. Kedinginan sedikit saja cewek itu bisa langsung pilek berhari-hari, apalagi sekarang di Bandung yang menurut BMKG suhunya bisa mencapai 15° celcius.

"Gila lo! Kayak nggak tau derita anak kos aja lo, anjir," tolak Lengkara mentah-mentah saat Anin meminta untuk dibelikan jaket. "Pinjem aja lah sama si Aksa, dia sama geng nya kan kemana-mana pake hoodie, kayak orang tipes."

"Iya, bawel."

Lalu sambungan telefon berakhir dengan sederet ancaman Lengkara yang memperingati untuk segera ke stasiun.

Anin mengambil langkah cepat-cepat, sedikit berlari, setelah menanyakan keberadaan Aksa dimana tanpa memberitahukan tujuannya mencari pria itu. Ramainya kantin teknik sudah bukan hal yang asing, kantin fakultas yang mayoritas diisi oleh para lelaki ini juga tidak jarang dijadikan tempat nongkrong anak-anak dari fakultas lain.

Contohnya Aksara dan kawan-kawannya.

Setelah menemukan keberadaan cowok itu, Anin segera berlari menghampirinya. Hanya ada dua orang selain Aksa di meja itu, Tenaka dan Leon. Yang mana tidak membuat Anin sungkan-sungkan sebab dua orang itu ia kenal dengan baik, terutama Leon yang Anin kenal sejak jaman putih abu-abu.

"Hai, Anin," sapa Leon dengan senyuman manis.

"Nggak usah SKSD." Balasan pedas Anin yang diiringi nada bercanda tidak luput membuat Leon mencibir,

"Galak banget si Teteh."

Total mengabaikan Leon, Anin buru-buru menjelaskan tujuannya datang kesini pada Aksara. "Padahal mah nonton konser doang nggak akan bikin gue tipes, tapi Lengkara tuh yang ribut. Kalau nggak diturutin pasti nanti marah-marah, tapi kalau beli nggak akan keburu. Jadi gue pinjem punya lo boleh, ya?"

Nihil.

Aksara tidak memberi respon yang mengenakan, ia diam seribu bahasa, lalu menggeleng. "Hoodie gue ketinggalan di rumah."

"Loh? Tumben banget nggak pake," sahut Anin kecewa.

Entah hanya perasaannya saja atau memang respon Aksara membuatnya kurang nyaman, barangkali cowok itu sedang tidak dalam mood yang baik. Entahlah. Ditambah dua makhluk lainnya yang hanya diam memperhatikan dengan tatapan aneh membuat Anin menjadi awkward sendiri.

Anin hendak mengatakan tidak apa sebelum pamit undur diri, namun sesuatu menginterupsinya.

"Rokok kamu kebawa nih, Sa. Masih baru kayaknya," ucap Milan setelah meletakkan sebungkus rokok di atas meja. Ia mengadah dan menyadari kehadiran Anin yang termenung menatapnya. "Eh, hai, Anin?" sapanya, canggung.

Anin mengerjap, ingin memastikan. Memperhatikan ukiran besar huruf A di sisi kiri hoodie yang Milan pakai. Mau berpikir positif rasanya percuma. Ia tahu, Aksara tahu, semua orang di meja ini jelas tahu siapa pemilik hoodie itu, yang kini total membisu dan menghindari tatapan Anin.

"Ketinggalan, ya?" gumam Anin yang terdengar samar. Ia mengambil langkah mundur. "Yauda deh kalau ketinggalan, gue duluan."

Sepeninggalnya Anin, Milan justru bertanya-tanya dengan diam nya 3 orang cowok ini. Ditambah dengan Tenaka yang tiba-tiba berdiri lalu berkata, "ngomong jujur apa susahnya," ucapnya pada Aksa sebelum pergi terburu-buru.

Mencari Anin di tengah hiruk pikuk manusia itu mudah. Rambut pirangnya yang anti-mainstream menjadi ciri khas tersendiri sebab mayoritas wanita di Indonesia lebih memilih warna gelap untuk rambutnya. Namun sejauh matanya mencari, Tenaka tidak menemukan tanda-tanda kehadiran si cewek berambut pirang satu itu.

Entahlah. Ia hanya mengikuti insting kemana kakinya melangkah. Tenaka tidak tahu kenapa ia sampai harus berlarian hanya untuk menemukan Anin, ia juga belum kepikiran mau bicara apa pada gadis itu. Tapi yang jelas, Tenaka harus menemukannya terlebih dahulu.

"Anin!"

Helaan napas lega lolos begitu saja dari mulutnya. Anin mengernyit melihat pria itu terengah-engah setelah menarik tangannya cukup kuat. "Lo ngapain, Ka? Olahraga?"

Tenaka menggeleng. "Lo mau ke Bandung?"

"Iya, mau nonton konser. Kenapa emang?"

"Naik apa?"

"Naik kereta sama Lengkara. Dia udah di stasiun dari jam 10, tuh anak pasti lagi marah-marah sekarang. Aduh, jangan tanya-tanya sekarang deh, gue buru-buru."

Tenaka mengangguk mengerti. Ia melepas hoodie yang dipakainya dan memberikannya pada Anin. "Pake dulu."

"Ayo. Gue anter ke stasiun."

***

Metafora Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang