04. Bora, Bori, dan Rahasia

262 50 12
                                    

Berawal dari mata,
indahnya senyuman
Mengapa harus resah
Berawal dari tatap,
hangatnya sapamu
Mengapa harus gundah

- Kahitna -

Menggoyang-goyangkan es di dalam gelas, Tenaka memutar bola mata jengah memandang dua wanita yang asik bercengkrama di sebelahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menggoyang-goyangkan es di dalam gelas, Tenaka memutar bola mata jengah memandang dua wanita yang asik bercengkrama di sebelahnya. "Kayaknya kita ke sini bukan mau ngegosip deh, Nin?"

Atensi dua wanita berbeda usia itu beralih sepenuhnya pada Tenaka. "Kita nggak ngegosip kok, Tenaka," jawab Airin tersenyum hangat.

"Whatever." Tenaka mengangkat bahunya acuh, lalu meloncat turun dan mencolek bahu Anin. "Ke atas, Nin. Cepet," titahnya, yang membuat Anin buru-buru ikut berdiri dari duduknya.

"Kak, aku ke atas dulu gapapa ya."

Airin masih tersenyum. "Nggak papa, lah. Lagian Tenaka udah bete tuh kayaknya," ujarnya menepuk bahu Anin dua kali sebelum gadis itu berlari kecil menyusul Tenaka yang mengambil langkah lebar-lebar.

Tenaka menjulurkan kaleng soda yang masih tersegel mendengar gadis itu berdecak sebal di belakangnya tanpa menoleh sedikitpun. Ia berjalan lebih santay dengan satu tangan di kantung celana dan satu tangannya lagi memegang kaleng soda.

"Kenapa, sih, sensi banget dari tadi. Jadi gue yang nggak enak sama Kakak lo." ucap Anin, tanpa sadar ikut sensi. Ia membuka segel kaleng dan meneguknya sambil berjalan. Haus juga ngobrol lama-lama.

"Dia bukan Kakak gue," balas Tenaka, "tapi nyokap gue."

Nyaris saja air di dalam mulutnya menyembur keluar mendengar perkataan ringan cowok itu. Menganga tidak percaya, Anin menaiki anak tangga buru-buru sampai sejajar dengan Tenaka, lalu memandang cowok itu lekat-lekat, mencari celah kebohongan dari wajahnya. "Nyokap lo? Demi apaaaa? Serius, Tenakaaa. Gue nggak percaya, ah."

"Gue serius." Membuka pintu kamar dengan satu tendangan, Tenaka meloncat ke kasur dan memejamkan mata. Sementara Anin berdiri dan masih bertanya-tanya.

"Gue salah ngomong, dooong. Harusnya gue panggil Tante ya, bukan Kakak. Eh, tapi muka nyokap lo muda banget, nggak keliatan kayak Tante-tante. Beneran nyokap lo bukan, sih, Tenaka?" Anin frustasi sendiri jadinya.

Membuka mata dan memandang anin jengah, Tenaka mendengus. "Cerewet."

"Gue berasa kurang ajar banget soalnya manggil Kakak. Kesannya malah sokap. Apa gue minta maaf aja, ya. Gue minta maaf dulu deh." Anin baru mau keluar dari kamar sebelum Tenaka menarik kausnya agar diam.

"Bukan nyokap kandung gue, Anin. Nggak perlu minta maaf. Emang dia bukan Tante-tante," ucap Tenaka penuh penekanan.

"Oh? Gitu. Ngomong dong." Anin menghela napas panjang dan duduk di sebelah cowok itu. "Lagian gue nggak bisa percaya kalau Kak Airin beneran nyokap lo. Mana cantik bangetttt, kayaknya Kak Airin orang tercantik yang pernah gue kenal deh."

"Lebay."

"Bukan lebay, tau. Emang cantik." Gadis itu baru berhenti membicarakan Airin saat dua makhluk berbulu berlari ke arahnya. Ia tersenyum senang. "My God, anak-anak gue! Ini yang satunya kapan lo bawa, Tenaka?"

Tenaka ikut tersenyum. "Kemarin. Kasian si item, kayak nggak niat hidup ldr sama sodaranya."

"Pengen gue namain deh si Mpus, apa ya cocoknya?" tanya Anin.

"Jack and Rose."

Anin menggerling malas. "Gue nggak mau, ya, mereka berakhir tragis," katanya. "Bora, Bori, cocok nggak? Iya ih, cocok. Utututu anak-anak Mama."

Tenaka bergedik geli, lalu menggeleng-geleng tidak habis pikir. "Lo nanya ke gue atau nanya ke diri sendiri, sih," katanya, yang hanya dibalas kekehan kecil oleh Anin.

Mengelus dua kucing itu dalam gendongannya, tatapnya menyusuri seluruh sudut kamar yang dominan berwarna hitam-putih. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah Tenaka, Anin sudah terperangah melihat betapa megahnya bangunan tiga lantai ini.

Rumah ini mewah, namun sunyi adalah hal pertama yang menyambutnya begitu ia masuk. Menit-menit pertama Anin tidak merasakan adanya tanda-tanda kehidupan, sebelum Airin muncul dan memberinya senyuman hangat, yang entah kenapa malah membuat Tenaka mendengus tidak senang.

Tidak pernah terpikir ia bisa menginjakkan kaki di sini atau bahkan berteman dengan cowok itu. Sebab Tenaka adalah sosok yang baik, namun tidak tersentuh. Selain karena satu Fakultas, Anin mengenalnya sebagai Tenaka teman satu tongkrongan Aksara. Selama itu pula, mereka hanya pernah berinteraksi satu kali.

Tenaka itu songong betul kalau di luar tongkrongan. Boro-boro menyapa balik, Anin senyum saja cowok itu malah pura-pura buta.

"Perasaan gue aja apa lo emang bete sama Kak Airin?" Pertanyaan itu reflek keluar begitu saja, meski detik selanjutnya Anin menyesal karena merasa lancang.

Tidak ada respon dan Anin juga tidak mengharap apa-apa. Dalam hati meringis lantaran suasana menjadi awkward karenanya. Tapi kemudian Anin mendongak mendengar kekeh kecil Tenaka, cowok itu menatapnya.

"Airin itu," Tenaka terdiam sejenak. "mantan gue."

Berhenti mengelus kucing di gendongannya, Anin mengerjap dengan mulut menganga. Seperkian detik ia merasa rahangnya jatuh dan matanya nyaris meloncat keluar. Saking kagetnya, Anin tidak mampu berkata apa-apa dan hanya menatap Tenaka yang masih terkekeh lucu melihatnya.

"MANTAN LO? SERIUS, TENAKA?!!"

Meletakkan telunjuk di bibir, Tenaka mengangguk. "Lo orang pertama yang tau ini. Bokap gue aja nggak tau."

"Kok bisaaa, maksudnya— so, your mother is your ex-girlfriend, right?"

Lalu, cerita itu mengalir begitu saja. Perihal bagaimana ia mengenal Airin hingga menjalin kasih, sebelum kemudian titel sepasang kekasih itu berubah menjadi Ibu dan anak. Berawal dari suka, kini hanya membuang muka acap kali bertemu pandang. Tenaka nyaris menceritakan seluruhnya, dan ia tidak mengerti kenapa juga harus menceritakannya pada Anin.

Seolah melupakan fakta bahwa mereka tidak sedekat itu untuk saling berbagi cerita.

Satu hal.

Satu hal yang Tenaka sadari; bahwa mungkin setelah ini ia tidak bisa memandang Anin sebagai sosok yang sama. Tidak lagi bisa memandang wanita itu sebagai teman biasa.

***

Ini dia oknum yang bikin Anin tercengang-cengang, Airin Adeliana

Ini dia oknum yang bikin Anin tercengang-cengang, Airin Adeliana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


aku lupa masukin chat Anin sama Aksa haha 😭

Metafora Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang