oh mungkin
inikah cinta pandangan yang pertama
karena apa yang kurasa
ini tak biasa
jika benar ini cinta
mulai darimana- Jazz -
***
Semua orang menganggap hidupnya sempurna. Tapi apa arti sempurna itu masih berlaku jika yang menjalani saja merasa terpaksa. Tenaka bukan manusia naif yang menganggap dunia tidak adil hanya karena satu kemauannya tidak terpenuhi. Sebab itulah kenapa Tuhan menciptakan jalan lain; usaha.
Menjadi anak tunggal kaya raya yang diidamkan orang-orang di luar sana, Tenaka memikul beban yang akan terus menjadi bayang-bayangnya seumur hidup. Kecintaannya pada seni yang mengalahkan cintanya pada dunia bahkan akan kalah jika perintah untuk mengikuti jejak keluarga keluar langsung dari mulut Papa.
Maka rolling door dan tembok-tembok besar di jalanan menjadi caranya melampiaskan darah seniman yang mengalir deras di tubuhnya. Meski di cap urakan dan beberapa kali berurusan dengan aparat setempat, nyatanya Tenaka hanya ingin memberi tahu dunia bahwa seni adalah keindahan, bukan sekedar coretan belaka yang merusak pemandangan.
"Itu vandalisme, tau."
Menghentikan gerakan kuas cat nya, Tenaka berbalik dan menangkap presensi wanita dengan hoodie kedodoran sedang bersedekap dada.
"Apa? Validasi?"
"Vandalisme!"
Ia terkekeh mendengar wanita itu yang mengatainya budeg meski diucapkan hanya dengan bisikan. "Ini seni," ucapnya membantah pernyataan yang dilontarkan.
"Seni juga harus tau tempat dan batasan."
Tenaka menggeleng. "Salah. Seni itu kebebasan tanpa batas."
"Seni macam apa yang merugikan pihak lain?" Wanita itu juga tidak mau kalah.
"Merugikan pihak lain? Siapa yang dirugikan, dan apa yang dirugikan?" Tenaka ikut melipat lengannya di dada. Menurutnya, ini adalah keuntungan. Tenaka menuangkan karyanya secara cuma-cuma tanpa memungut biaya.
Anindya menghela napas, lalu menggedikkan bahunya tidak peduli. Enggan meributkan hal konyol. "Lo nggak takut jadi buronan? Ini, kan, ilegal."
"Henri Matisse pernah bilang, kreativitas itu butuh keberanian."
"Henri Mati-apa?" Anin berjengit mundur ditodongkan kuas cat yang masih basah.
"Money can buy everything, Anin. Kalau punya nyali, minimal siapin jaminan juga," ujarnya membuat kedua alis wanita itu mencureng. Tenaka berdecak melihat Anin yang tidak mengerti maksudnya. "Setinggi-tingginya jabatan polisi, mereka mah masih oke-oke aja kalau disogok duit segepok."
"Itu namanya suap! Dosa tau."
Tenaka tertawa. Ada jeda sejenak saat ia kembali berfokus pada kuas dan lukisan abstraknya yang membuat Anin mengernyit terheran-heran.
"Apa sih yang nggak dosa di dunia ini."
Anin mencibir. "Cih, mentang-mentang anak sultan. Mending duitnya dipake jajan cimol. Perut kenyang, hati pun senang."
Tenaka tertawa lagi melihat Anin menepuk-nepuk perutnya dengan senyuman lebar. Tipikal wanita yang sangat ekspresif. Sementara Anin berpikir berapa kali pria itu tertawa sepanjang percakapan mereka yang padahal tidak ada lawak-lawaknya sama sekali. Barangkali Tenaka senang tertawa, seperti dirinya yang suka menebar senyuman.
"Lo ngapain di sini? Mau nemenin gue jadi buronan juga? Di ujung sana ada cctv loh."
"Boleh. Kalau ketangkep, sogokin ya," balas Anin jenaka. Ia kemudian berjongkok di sisi Tenaka, lebih tepatnya di hadapan dua kucing yang sedari tadi menyimak percakapan keduanya. Mengeluarkan sebungkus whiskas dan dua mangkok kecil, Anin tersenyum senang melihat dua kucing itu yang langsung berlarian mendekatinya.
"Cewek yang minggu lalu gue liat lagi nenteng-nenteng whiskas, tuh, elo ternyata?" celetuk Tenaka.
"Kecuali ada orang lain yang ngasih si mpus makan, iya itu gue," jawab Anin tanpa mau repot-repot menoleh. "Tiap hari gue ke sini. Kalau nggak sibuk-sibuk banget." Dan sebagai tambahan informasi.
"Gue kira orang stress."
"Masa sih? Perasaan diliat dari atas, bawah, samping, depan aja gue udah kayak Selena Gomez."
"Kalau diliat dari ujung monas, sih, iya."
"Mirip?"
"Kagak."
Anin mendelik sebal. Mendadak suara Aksara yang merapalkan kata sabar berdengung di telinganya. Tapi kok rasanya jengkel ya mendengar tawa Tenaka, Anin jadi ingin melempar sepatunya ke wajah pemuda itu. Ada kali satu menit Tenaka tertawa macam orang gila, sementara dirinya berlagak tidak peduli.
"Tapi, Nin, tiap hari ke sini? Kenapa nggak lo bawa pulang aja?"
Membawa salah satu kucing ke gendongannya, Anin membuka mineral kemasan dari tas nya. "Pengennya sih gitu. Cuma nggak dapet izin dari bokap, kakak gue juga alergi bulu kucing."
Tenaka hendak kembali menyahut sebelum teriakan peringatan membuatnya membelalak panik dan reflek melempar kuasnya ke dalam kotak perkakas.
Anin ikut menoleh panik melihat satpam penjaga yang berkacak pinggang di ujung jalan. Ia ingin lari, tapi memang apa salahnya? Anin, kan, cuma menemani.
"Nin, lari!"
Meski pada akhirnya ia ikut melarikan diri sebab Tenaka yang menarik tangannya.
"Naka, si mpus gimana?" Anin menoleh lagi memperhatikan kucingnya yang masih anteng makan dengan lahap, sementara satunya lagi ia bawa kejar-kejaran bersama satpam. "Tenaka, kucing gue?!" tanyanya lagi karena pria itu tidak menyahut, sibuk mengatur langkah dan mengingat-ingat jalan yang sekiranya bisa mereka lewati.
Tenaka berkelok ke kiri sementara jarak dengan satpam semakin jauh. Ia menarik Anin ke belakang salah satu rumah yang gelap gulita, hanya binar mata Anin dan rambut pirangnya yang bisa Tenaka lihat.
"Tenaka, ini si mpus gimana? Nggak mungkin gue pulang."
"Yaudah, lo simpen sini aja," sahutnya, tidak ingin ambil pusing di situasi seperti ini.
"Nggak mau. Gila lo?"
Tenaka berdecak. Anin dan segala keribetan pikirannya. "Terus mau lo gimana?"
"Ayo balik ke tempat tadi."
"Nyari mati?"
Anin mendengus sebal. "Lo kan banyak duit, tinggal sogok aja tuh satpam. Nggak papa, deh, dosa. Lo yang nanggung ini."
Tenaka ikut sebal. Anin tidak mengerti seberapa besar risiko yang akan ditanggungnya. Bukan masalah uang atau satpam yang mungkin akan menjerumuskan mereka ke balik dinginnya lantai kapolsek malam ini, tapi masalah ada pada sang Papa. Tenaka yang urakan saja takut padanya, lebih dari ia takut pada polisi-polisi yang disodorkan uang saja langsung cengengesan.
"Nggak segampang itu, Anin. Lo simpen sini dulu aja malem ini, besok tinggal balikin."
Wanita itu masih kekeuh tidak mau. "Kalau ilang gimana?"
Menghela napas lelah, Tenaka memejamkan mata dengan bersandar pada dinding. Memikirkan solusi yang bisa membuat wanita itu bungkam sejenak. Meski akhirnya ia tidak punya saran apa-apa dan tidak ada pilihan lain sekarang selain mengorbankan dirinya.
"Buat sementara, biar gue bawa pulang."
***
salam sayang dari Tenaka 💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Metafora
FanfictionDi tengah hubungan tidak jelasnya dengan Aksara, pertemuan tidak sengaja Anindya dengan Tenaka membawa keduanya melewati batas hubungan pertemanan. Lalu Tenaka menawarkan apa yang selama ini ia harapkan dari sosok Aksara; status. Sedang hatinya mas...