01.

231 34 1
                                    


Satu-satunya penjara yang nyata adalah rasa takut, dan satu-satunya kebebasan yang nyata adalah bebas dari rasa takut.


Awan gelap menyelimuti langit malam disertai gemuruh dan kilatan petir yang menyambar. Angin berhembus kencang menandakan hujan badai akan segera datang. Rintik-rintik air perlahan turun dan kian bertambah lebat mengguyur hutan belantara malam itu. Sepi, tidak ada satu makhluk pun yang berkeliaran di hutan itu. Semua hewan sedang bersembunyi di tempat singgahnya masing-masing, bersiap diri menghadapi hujan badai di akhir tahun.

Terkecuali kuda terbang yang ditunggangi oleh seorang perempuan melintas tepat diatas pohon-pohon hutan itu. Butiran hujan tidak membuat kepakan sayapnya melambat namun justru semakin kencang seolah-olah di belakang mereka ada yang mengejar. Berkali-kali perempuan itu menghentakan tali yang terikat di leher kuda-memerintahkan sang kuda untuk meningkatkan kecepatannya. Kedua pahanya merapat ketat di bawah pelana, menjaga keseimbangan tubuhnya ketika sang kuda berbelok melewati pohon-pohon tinggi.

Kepakan sayap kuda tersebut mulai melambat, ia perlahan kehabisan tenaga akibat perjalanan 3 jam tanpa henti. Kondisi tubuh perempuan itu juga sama lelahnya, ia menggigil kedinginan hingga jari tangannya gemetar. Sekuat tenaga ia mencoba bertahan karena ia tahu sebentar lagi akan tiba di tempat tujuannya.

"Kumohon jangan berhenti, bonbon." pintanya kepada sang kuda.

Dari kejauhan mulai terlihat sebuah rumah kayu nan sederhana dengan lentera kuning yang menggantung di tiang pagar. Muncul perasaan lega karena akhirnya mereka akan segera tiba. Perempuan itu juga tidak tega melihat kuda kesayangannya menghabiskan banyak tenaga agar bisa sampai ditempat ini.

"Ayo Bonbon, sedikit lagi kita sampai" seru perempuan berambut panjang itu sambil memeluk kudanya erat.

Pendaratan pun tiba. Boots sepatu kulit miliknya perlahan menapaki tanah yang basah akibat hujan yang tak kunjung henti, dengan jari tangan gemetar perempuan itu menekan bel di dinding dekat pagar.

"Guru! Guru Jinu, ini aku Davina!" serunya seraya menekan bel itu berulang kali.

"Guru Jinu! ini aku davina!" teriak perempuan itu dengan suara lebih keras karena badai hujan telah meredam suaranya.

Davina yakin gurunya ada di kediamannya. Pasalnya, cerobong rumah itu mengeluarkan gumpalan asap yang artinya sang pemilik rumah sedang menghangatkan diri akibat cuaca ekstrim malam ini.

Tak lama, pintu rumah tua itu terbuka dan seorang pria berusia 40 tahunan keluar dengan senter di tangannya.

"Siapa disana?" tanya pria itu sambil mengarahkan cahaya senter kearah pagar rumahnya.

Melalui sisa-sisa tenaganya, perempuan itu berteriak kembali "ini aku, Davina!"

Jinu memastikan penglihatannya dan detik berikutnya senter di tangannya terjatuh. Ia bergegas memasuki rumahnya dan keluar kembali sambil membawa payung serta kunci ditangannya.

"Astaga! tunggu sebentar" jawab Jinu lalu segera membukakan pagar dan mempersilahkan Davina beserta kuda putihnya masuk.

"Segera masuk kerumah dan hangatkan dirimu di depan tungku perapian, sementara aku akan membawa Bonbon ke kandang kuda" perintah Jinu sambil mengambil alih tali kuda tersebut dari tangan Davina.

Davina mengangguk lemah lalu berjalan memasuki rumah. Ia duduk di sofa dan menyandarkan kepalanya yang berat sambil memejamkan mata. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki Jinu mendekat ke arahnya dan ia menyerit tatkala telapak tangan hangat Jinu menempel di dahinya yang dingin.

FREEDOM : cannot be bestowed, it must be achieved. | HARUKYU & JEONGKYU AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang