8c

1.7K 118 5
                                    

Kuperhatikan sekeliling halaman depan. Kosong. Aku berjalan pelan melewati samping rumah. Jarang ada yang ke sini, semoga saja aman.

Begitu dekat dengan ruang tamu. Aku mengendap lagi. Kedekatkan telingaku ke arah jendela yang terbuka untuk menguping. Di dalam, sepertinya terjadi pertengkaran besar.

"Kamu yang keterlaluan, Mas. Aku gak bisa kalau diam terus. Mbak Dini harus tahu semuanya tentang Mbak Indah!"

Itu suara Intan. Ya, aku mengenal dengan betul.

Ya Tuhan, jadi, Intan pun sudah tahu?

"Sudah Ibu bilang, akhiri semuanya Raka. Cukuplah bahagia dengan Dini. Jangan menuruti keluarga Handoko itu. Percuma kaya kalau hidupmu sengsara." Kali ini terdengar suara Ibu.

"Tolong, sekali ini saja. Raka sudah berusaha banyak. Ibu sama Intan juga menikmati harta Indah. Nggak bisa semudah itu melepasnya."

Aku menelan saliva. Rasanya jantungku berdebum lebih hebat dari biasanya. Sudah jelas, tak perlu ada yang dipertahankan lagi. Mas Raka menghianatiku. Terlepas apakah ia terpaksa atau tidak. Yang jelas, ia sudah bermain api di belakangku. Ditambah Ibu dan Intan turut terlibat. Ya Allah, sejahat itu mereka.

"Tolong, pahami Raka kali ini. Sebentar lagi Raka bakal tinggalin Indah. Ini hanya soal waktu." suara Mas Raka memelas.

"Kamu sudah gila, Mas!"

"Mas memang gila demi Mbakmu, Intan."

"Enggak, Mbak Dhini bukan perempuan seperti itu. Kamu gila harta, gila jabatan, gila kedudukan. Bukan cuman mempermainkan perasaan orang. Kamu juga sudah menipu Mbak Dini mentah-mentah! Aku gak akan diam!"

Brakkkk!

Aku terjingkat. Nyaris berteriak saking kagetnya. Ada suara gebrakan meja. Entah siapa yang memukul.

"Diam kamu Intan! Sekarang Indah lagi marah besar sama Mas Raka. Cari solusinya. Bukan mendebat hal lain. Ayo, Bu. Bicaralah pada Indah. Jelaskan kalau semalam Raka sama Ibu."

Deg!

Jadi Mas Raka ke sini ingin meminta tolong agar Ibu berbohong pada Indah?

Lututku terasa lemas. Telapak tanganku begitu dingin. Sampai hati suamiku itu berkata seperti itu. Cepat-cepat kuambil gawai dalam saku celana. Membuka aplikasi kamera. Merekam semua yang terjadi. Perlahan, kuarahkan kamera gawaiku pada jendela yang terbuka. Semoga tak ada yang melihat. Kuintip sebentar, aman!

"Kamu diam saja Intan. Awas kalau sampai buka suara. Suamimu itu, bisa Mas pastikan akan dikeluarkan dari perusahaan Bapaknya Indah! Paham!"

Otakku kebas. Tak mampu berpikir jernih. Ternyata perbuatan Mas Raka sudah melibatkan banyak orang, juga sudah pada titik sejauh ini.

Tak ingin berlama-lama. Setelah kurasa cukup mengambil video yang terjadi di dalam ruang tamu. Aku bergegas pergi. Kembali pada Karin.

Sudah cukup. Saatnya beraksi. Mengambil semua harta milik Mas Raka. Berikut menggugat cerai suamiku itu.

***

"Menangislah. Tumpahkan semuanya. Mau motif apa pun itu, tindakan suamimu sudah salah besar, Dini. Aku akan bantu semuanya. Tenanglah. Bukti-bukti selama ini sudah cukup. Kamu diam aja. Aku ada kenalan pengacara. Bekas pengacaraku juga sih waktu kasus Mas Fabian."

Karin menepuk punggungku. Aku tergugu dalam pelukannya. Sedih, perih, sakit hati, semua bercampur jadi satu. Terlebih saat mengingat wajah Bapak. Andai aku menurut permintaannya agar tak menikah dengan Mas Raka.

Aaaarrrghhh!

Cinta buta membuatku gila!

"Sekarang kita pulang ke rumahmu. Waktunya beraksi," ucap Karin sambil terus mengusap punggungku.

***

Slip Gaji SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang