4c

1K 90 3
                                    

Masuk ke kamar mandi. Aku menangis tanpa suara. Percuma, suamiku tak mau mengaku. Sementara perempuan itu, aku yakin pasti masih ada di sekitarnya. Masih menggantungkan hidup pada suamiku.

Harus bagaimana menyelesaikannya? Harus seperti apa? Setelah perdebatan tadi, Mas Raka pasti semakin menutupi. Apakah aku terlalu gegabah?

Kuusap wajah kasar. Rasa hatiku tak menentu. Bukti ada, tapi tersangkanya belum ketemu. Mas Raka ... dia ....

Drrrttttt!

Drrrttttt!

Gawaiku bergetar. Sengaja kumode silent. Kulihat cepat ada sebuah pesan masuk dari aplikasi hijau.

Ah, Karin!

Dia pasti bisa membantuku. Sungguh, aku bingung harus bagaimana setelah ini!

***

[Aku kepikiran sama kamu, Din. Jangan gegabah. Selidiki dulu.]

Begitulah pesan yang Karin kirim. Balasan dari lembar foto yang kuberikan terkait slip gaji dan struk belanja Mas Raka.

[Aku udah gegabah, Rin. Harusnya bisa nahan. Tapi sekarang aku emosi. Nggak sabar mau ngungkap semuanya.] Balasku.

[Aduh Dini Sayang. Jangan gegabah. Emosi boleh, tapi harus berpikir cerdas. Jangan bar-bar. Apalagi kalau buaya ketahuan buntungnya. Ia bakal terus berkelit. Kumpulkan banyak bukti dari sekarang.]

[Sudah terlambat, Rin. Aku udah muak.]

[Hadeeh, udah jangan kayak anak kecil. Sekarang ikutin caraku. Rebut kembali kepercayaan suami. Bersikap seolah semua baik-baik saja.]

[Nggak bisa.]

[Pasti bisa. Aku bakal bantu semuanya. Nurut sekarang. Kamu pasti lagi di kamar mandi, kan?]

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar mandi. Kenapa Karin selalu bisa menebaknya?

[Iya.]

[Halah, dari dulu nggak berubah. Cuci muka. Trus keluar. Deketin suami. Minta maaf.]

[Kamu gila?]

Nyaris aku membanting gawaiku. Bagaimana bisa Karin menyuruhku seperti itu. Harusnya aku yang marah dan Mas Raka yang meminta maaf. Apalagi ini emosi masih mendidih di atas kepala. Aku nggak akan sudi!

[Sudah kubilang. Nurut aja. Ambil kepercayaannya. Dekatin lagi. Kamu mau tahu di mana perempuan itu bukan? Sadap nomer suami! Ah, jaman canggih begini, mikirnya jangan primitif. Harus pakai cara cerdas]

Pesan terakhir dari Karin seketika merubah pendirianku. Benar, sepertinya sarannya tak salah. Aku butuh tahu di mana perempuan itu. Juga sudah sejauh mana hubungan mereka. Kalau bisa, bakal kuciduk keduanya.

[Bantu aku Rin, iya, aku bakal nurut.]

[Cakeep. Aku gak tidur gara-gara kepikiran kamu. Bahagia selalu ya. Semua pasti baik-baik aja kok.]

Aku tersenyum. Karin, sahabat yang sudah seperti saudaraku sendiri.

***

Suara ketukan dari luar kamar mandi mengagetkanku.

"Dek, sudah malam. Ayo keluar. Nanti masuk angin. Mas minta maaf."

Ck! Suara Mas Raka di depan. Ia memanggil dengan nada memelas. Oh, okelah. Harus akting sebaik mungkin. Pintu kamar mandi kubuka. Lantas dengan perasaan berkecamuk mendekat ke arah suamiku itu.

"Maafin Mas, Dek."

Ia mendekap erat. Jika biasanya aku luluh, kali ini entah ....

"Mas sayang banget sama kamu, Dini."

Arrrgh! Bulshit!

"Din," panggilnya lagi setelah lama tak kujawab.

"Iya, Mas. Dini juga minta maaf. Sudahlah, nggak perlu dibahas lagi. Aku percaya sama kamu."

Kurasakan dekapan semakin erat. Aku tersenyum sinis, ayolah Mas. Tak apa. Mengalah dulu lalu aku akan menangkan semuanya. Tentang kebusukanmu, juga perempuan simpanan milikmu.

Bersambung ....

Slip Gaji SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang