Tik tik tik tik...
Lily menghela napasnya ketika ingatan lima tahun silam kembali berputar pada kepalanya.
Hingga detik ini, Lily belum bisa merelakan suaminya pergi.
Jasadnya tidak ditemukan.
“Kamu kapan pulang? Aku kehilangan banyak hal.”
Kakinya melangkah keluar menuju balkon kamar yang langsung tertuju pada bibir pantai Gili Trawangan. Pantai di mana mereka pertama kali bertemu.
“Laut, tolong kembalikan suamiku. Sudah lima tahun lamanya kamu memeluk dia, tolong kembalikan.” suaranya semakin terdengar parau bersama isakkan perih. Deburan ombak seakan menjadi melodi jahat dan seakan memberitahu Lily, bahwa suaminya tidak akan kembali.
“Tolong...., kembalikan suamiku.”
Tok tok...
Lily menghapus air matanya dan berjalan menuju cermin agar ia tidak terlihat berantakan di depan calon suami barunya.
“Saatnya makan. Mari makan bersamaku,” ajak Dimas. Lily mengangguk ketika matanya bertemu dengan Dimas. Lelaki pilihan Ibu yang akan menikah dengannya dua bulan lagi. Lelaki yang tak pernah Lily cintai.
Namun, Dimas mencintainya begitu sabar.
Dimas, kamu selalu membuatku terlihat menyedihkan.
Resort milik Dimas yang akan mereka cicipi hidangannya ramai sekali. Sore ini turis lumayan ramai. Tak terkecuali turis, orang lokal pun banyak datang. Siapa sih yang tidak jatuh cinta dengan keindahan Gili Trawangan?
“Silahkan duduk, sayang.”
Lily tersenyum tipis ketika Dimas menarik kursi untuknya.
Dimas, tidak seharusnya kamu begitu mencintaiku. Aku adalah bunga yang layu. Bahwasannya bunga yang layu tak akan bisa mekar kembali walau kamu adalah air yang begitu segar.
“Kamu mau pesan apa, Ly?”
“Samakan saja denganmu.” tatapan kosong Lily menatap sorot mata Dimas. Dimas cukup menyadari. Akan tetapi Dimas tidak pernah menyerah untuk merengkuh dan memeluk Lily begitu erat.
“Sampai sekarang aku tidak tau makanan yang kamu suka. Kamu selalu menyamakan pesanan yang sama denganku.” Dimas tersenyum manis.
“Apa yang kamu pilih, aku akan menyukainya. Kamu tidak perlu khawatir mengenai hal itu, Dimas. Pilihlah yang terenak. Pilihanmu tak pernah salah.” kurva lengkung itu menyungging begitu manis dan cantik. Namun sayang, tatapannya senantiasa sendu. Seperti tak ada jiwa yang bersemayam pada raganya. Kembali lagi, jika Lily adalah bunga, maka ia adalah bunga yang layu.
“Kamu bisa aja. Ngomong-ngomong bagaimana dengan Udang Telur Asin?”
“Itu makanan kesukaannya.”
Aku menggeleng.
“Kenapa? Kamu tidak suka? Bukankah kamu akan menyukai setiap pilihanku sayang?”
Lily terdiam cukup lama hingga ia mengarahkan pandangannya pada batuan karang. Di atas tegarnya karang, Morgan mengutarakan perasaannya pertama kali. Di atas tegarnya Karang, Morgan berkata— Ly, jadilah teman hidupku, sehidup semati dan selamanya.
Dan di atas tegarnya karang Lily menangisi kepergiannya.
“Hai, Ly? Bagaimana?”
“Pesan apapun yang kamu mau. Jangan bertanya lagi,” pungkas Lily yang kini menunduk.
“Okey.”
***
“Happy 7th anniversary. Aku masih di sini, Morgan. Apa kabar? Kamu di mana?”
Lily terkekeh. Deburan ombak malam ini lagi-lagi mengejek Lily. Seakan-akan ia berkata, Dia tidak akan kembali.
“Ly. Kenapa masih di luar? Dingin.” suara Dimas memecah lamunan Lily.
“Hari ini, langit terlihat indah bukan?”
Dimas mendongak menatap langit dengan taburan bintang-bintang.
“Langit selalu indah.”
“Tapi tidak seindah ketika aku masih mekar,” sambung Lily. Kemudian ia terkekeh, “Aku hanya bercanda, Dimas. Kenapa kamu keluar malam-malam?”
“Aku yang bertanya duluan padamu. Kamu belum menjawab pertanyaanku.”
Lily menghembuskan napas dan menyandarkan punggung di kursi kayu. “Aku tidak punya jawaban. Kamu tidak perlu menunggunya.”
“Ada yang merusuhi pikiranmu?”
Pertanyaan lucu dari Dimas membuat Lily terkekeh. “Pikiranku selalu rusuh. Di mana pun dan kapan pun. Semoga kamu tidak menyesal menikah denganku, karena aku tidak membuka garansi satu tahun,” ucapnya.
“Aku tidak butuh garansi, aku bukan ponsel.” tawa Dimas terdengar begitu renyah di telinga Lily.
“Pekerjaanmu sudah selesai, Dim?”
“Tentu saja. Aku Dimas, dan aku selalu tepat waktu. Oh ya, Ly. Untuk perkembangan resort ini terima kasih. Berkat perusahaan tempat kamu bekerja, resort ini jadi lebih banyak dikunjungi dari biasanya,” jelasnya.
“Kamu terlalu berlebihan memuji perusahaan tempatku bekerja.”
“Aku tidak memujinya, aku hanya berterima kasih. Aku senang bekerja sama dengannya.”
“Oh ya, Ly-”
“Diamlah, Dimas. Aku sedang tidak ingin bicara terlalu banyak,” minta Lily yang kini melipat tangannya di dada. Dimas terlalu cerewet untuk Lily yang suka ketenangan. Sebenarnya Lily cerewet juga, hanya saja Dimas lebih cerewet dari Lily.
“Aku cinta kamu, Lily.”
“Sudah lima belas kali kamu mengucapkan kata itu padaku, Dim. Apa mulutmu tidak lelah?”
Dimas bergumam, “Umm, sampai kamu membalasnya, aku tidak akan lelah.”
“Apa jika aku membalasnya kamu akan berhenti?”
“Tidak.”
Dimas kini mengambil bangku di sebelah Lily dan duduk menemani Lily menonton deburan ombak menabrak batu karang di malam hari.
“Kamu kejam sekali.”
“Maka dari itu, pikirkanlah sejuta kali sebelum kamu menikahiku. Aku tidak menyediakan garansi untukmu.”
“Aku sudah mengenalmu tiga tahun dan aku memahamimu. Kalau kamu tidak percaya tanya saja.”
“Dasar penipu! Makanan kesukaanku saja kamu tidak tau," bantah Lily.
“Karena kamu tidak pernah bilang. Aku tidak tau. Yang aku tau, kamu suka dengan makanan yang aku suka,” balas Dimas.
“Terserah.”
Lily kembali diam setelahnya. Sampai pertanyaan Dimas mengorek luka itu untuk kembali menganga.
“Kamu masih mengingatnya?”
“Kalau kamu benar-benar memahamiku dalam waktu tiga tahun. Kamu pasti tau apa yang aku rasakan sekarang,” tukas Lily dan ia kembali masuk meninggalkan Dimas sendirian.
Dimas kembali menatap laut.
“Cinta setulus apa yang kamu beri, sehingga pelukan cintamu tak dapat melepas Lily? Tolong lepaskan cinta itu, agar aku bisa memeluk Lily.”
🥀🎶🌊🎶🥀
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Harmony Of The Seas ✓
Fanfiction[END] Jika laut adalah lukisan, ombak adalah melodi, burung camar sebagai saksi, maka cinta kita ialah seindah-indahnya seni. Dari Morgan De Vries untuk yang terkasih-Lily Almeira Jian. ddynalee