Bagian Pertama

279 21 2
                                    

Punya badan gemuk itu sebenernya pilihan, pilihan yang nggak mau kupilih, tapi terpaksa kupilih. Aku dari kecil memang nggak pernah kurus. Kata mommy, waktu umurku lima tahun, aku terlihat seperti anak gajah. Sekarang umurku lima belas tahun, dan aku terlihat seperti emaknya gajah.

Mommyku memang kurang ajar sama anak.

Cita-cita orang gemuk pada dasarnya sama aja. Pengen kurus, tapi nggak mau berhenti makan. Aku pribadi kalo lihat makanan langsung lupa sama berat badan.

"Mommy, aku berangkat, ya."

Aku sengaja teriak karena mommy lagi sibuk sama buket bunga pesanan pelanggan yang akan diambil pagi ini. Mommy kalo sedang fokus sama sesuatu, suara-suara kecil disekitarnya nggak didenger.

Mommy buka florist di beranda rumah. Alasan mommy buka toko bunga karena beliau cinta mati sama flora satu itu.

"Botol minum sama bekalnya nggak lupa, kan?"

"Enggak, udah aku masukin ke tas."

"Sebelum pelajaran olahraga, dihabisin dulu bekalnya, biar kamu nggak pingsan lagi pas praktek lari."

"Iya, Mommykuuuu ..."

"Belajarnya yang bener, jangan nakal lagi di kelas," kata mommy memperingatiku.

"Aku nggak pernah nakal, Mommy. Kemaren Ridwan mukul kepalaku."

Teman sekelasku yang satu itu bacotnya paling besar. Dari pertama masuk sekolah dia sudah berani ngatain aku. Awal-awal ribut, aku dan dia hanya saling adu bacot. Tapi kemarin sudah keterlaluan, Ridwan mulai berani main tangan. Dia memukulku, kubalas melemparnya dengan batu.

"Iya, mommy tau. Cuma, kamu nggak boleh ngelempar temen pake batu, Sayang. Bahaya."

"Aku kesel Mommy. Tiap hari dia ngatain aku gajah bengkak."

"Kan, kamu emang gajah bengkak."

"Mommyyyy ...," rengekku geram.

"Nggak kok mommy becanda," ucap mommy dengan bibir semringah. "Gini ya, Sayang, dengerin nasehat mommy. Sekesel-keselnya kamu, Nak. Kamu nggak boleh ngelakuin hal yang membahayakan nyawa orang lain. Kamu harus inget itu."

"Tapi ...."

"Nggak ada tapi-tapi menyangkut nyawa orang lain."

"Eum, iya deh, aku akan berusaha inget."

"Pokoknya jangan diulangin!"

"Iya, aku janji."

"Nah, ini baru anak mommy yang pinter ... Kalo nanti dikatain lagi diemin aja. Orang kalo didiemin pasti ngerasa nggak dianggep, dan akhirnya dia capek sendiri. Dia pasti berhenti ngatain kamu."

Aku ngangguk-angguk. Aku cium punggung tangan mommy dan ngucap salam, setelah itu berjalan menuju halte dekat sini.

Di era kemajuan jaman ini banyak anak sekolah bawa kendaraan. Papa sama mommy bukannya nggak mampu beliin aku motor. Alasan trauma yang aku alami semasa kecil akibat kecelakaan bikin aku takut ngendarain motor sendirian.

Waktu itu, saat umurku masih sekolah dasar kelas dua, aku diajak papa rekreasi ke ragunan. Pulang dari ragunan kami mengalami kecelakaan beruntun. Aku sama papa bersyukur hanya mengalami cedera ringan. Namun, kengeriannya masih berdampak padaku hingga sekarang. Kabarnya akibat kecelakaan itu seorang anak kecil seusiaku terjebak dalam sebuah angkot. Memakan waktu cukup lama mengevakuasi anak itu akibat kakinya terjepit.

Brremm breeeeeemmmm.

Suara bising motor yang begitu khas. Aku kenal pengendara motor itu. Plat nomor B 4132 AR seperti memberitahu kalo pemilik motor itu bernama Abrar. Kak Ramael Abrar Dalemunthe adalah satu-satunya kakak kelas yang mencuri seluruh perhatianku. Aku mengaguminya sejak pandangan pertama. Sejak dia menjadi panitia MPLS di sekolahku. Sejak aku membuka mata dari pingsan dan mendapati binar matanya yang lega melihatku terbangun.

Love BlossomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang