Bagian Kedua

148 17 0
                                    

Butuh nurunin berapa kilo supaya aku bisa kurus dan menjadi dambaan Kak Abrar. Angka pada timbangan mentok di delapan puluh tujuh kilo. Mungkin, lima puluh kilo adalah berat yang ideal untukku.

Pokoknya aku harus kurus demi Kak Abrar. Persetan dengan seblak Mang Gugun, masa bodoh sama bakso urat Kang Asep, nggak mau tau tentang es cendol Budek Asmi—tapi gula arennya enak banget. Gimana kalo tiba-tiba aku kangen martabak manis toping keju Mas Bejo?

Halah, lupakan.

Aku turun dari timbangan dan menemui mommy di beranda. "Aku mau diet," ucapku setelah melabuhkan bokong di kursi rotan.

Mommy yang sedang asik merangkai bunga tampak heran dengan keinginanku. "Apa? Mommy nggak salah denger kan, Nak?"

"Aku pengen kurus Mommy. Aku capek gendut terus. Aku pengen punya badan kayak Akbar."

Meskipun Akbar cuma punya satu kaki, tapi Tuhan cukup adil padanya. Dia dianugerahi bentuk tubuh proporsional tanpa harus olahraga atau pergi nggym. Dia bahkan lebih tinggi dariku. Waktu aku main ke rumahnya, sekali dua kali aku pernah melihatnya nggak pake baju di depanku. Otot lengan dan perutnya lumayan juga.

"Ya, bagus kalo kamu ada keinginan diet ... Berat badan kamu sekarang berapa?" tanya Mommy.

"Delapan tujuh," jawabku. "Kira-kira aku harus nurunin berapa kilo, My?"

"Tinggi kamu?" tanya Mommy lagi.

"Seratus tujuh puluh."

Mommy menghitung di secarik kertas dengan rumus broca. Rumus penghitung berat badan ideal, katanya.

"Idealnya enam puluh tiga kilo. Jadi harus turun dua puluh empat kilo."

"Dua puluh empat kilo," jeritku gundah. Aku bimbang apakah bisa berat badanku turun sebanyak itu, "Banyak banget. Nggak bisa diskon?"

Mommy menghela napas, "Belum apa-apa udah ngeluh."

"Bukan gitu, My. Maksud aku, bisa nggak ya aku turun segitu dalam sebulan."

"Bertahap dong, Nak. Diet itu kuncinya konsisten. Dan paling penting, ada niat yang kuat. Percuma kamu ngomong diet, tapi niat cuma setengah.

"Hari ini bilang, aku mau diet, besoknya makan bakso urat Kang Asep lima mangkok."

Aku nggak bisa ngomong kalo sudah diskak begitu.

"Besok mommy masakin kamu makanan buat diet. Kamu nggak usah jajan."

Aku pasti bisa. Aku yakin mudah melewati hari-hariku tanpa banyak makan. Punya badan kurus adalah impianku sekarang. Menjadi pacar Kak Abrar adalah keinginan terbesarku.

Malamnya, sekitar jam delapan, aku menghubungi Akbar lewat panggilan Whatsapp. Aku ingin minta tolong.

"Iya, Bun, bentar. Akbar jawab telepon Fikri dulu, bentar aja. Semenit lagi Akbar ke sana."

Akbar sudah menerima panggilanku saat dia bicara dengan Bundanya. Membuatku mendengar yang dikatakannya.

"Loe lagi sibuk, Bar?" tanyaku basa-basi.

"Emm, enggak. Bunda nyuruh gue nyusun barang di warung."

"Gue matiin aja, ya?" aku berpura-pura nggak enakan.

"Eh, jangan Fik. Loe nggak usah sok-sokan nggak enak gitu. Gue bisa ngerjain itu nanti kok. Cuma nyusun barang doang."

"Tau aja gue pura-pura," ucapku diakhiri tawa. "Eh, tapi serius, gue nggak ganggu, kan?"

"Enggak. Kalopun gue sibuk, gue nggak ada waktu ngangkat telepon loe!"

"Iya, juga ..."

"Emang ada perlu apa? Tumben banget malem gini nelepon," tanyanya kemudian.

Love BlossomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang