"Fik, gue mau jujur sama loe tentang kecelakaan yang gue alami."
"Gue tau, loe ngarang, kan." Aku ngerasain anggukan kepala Akbar. Rambut di dahinya menyentuh kulit leherku. "Loe nggak kecelakaan deket sekolah. Loe kecelakaan pas pergi ke ragunan."
"Dari mana loe tau?"
"Bunda loe cerita waktu gue jemput loe lari sore ... Kenapa sih, loe mesti bohong? Emang kecelakaan itu ada hubungannya sama gue?" tanyaku penasaran.
"Gue sama loe punya kenangan, Fik, di ragunan."
"Serius?" tanyaku kaget, antara percaya dan nggak percaya.
"Loe masih inget sama bocah gendut pake baju kodok di deket kandang komodo? Dia nangis sesenggukan nyariin Papanya."
Aku melihat gambaran masa kecil diriku sendiri pada peristiwa silam. Dan memori lama itu terputar kembali.
Fikri nggak tahu lagi harus nyari papanya ke mana, dia bingung. Kebun binatang ini terlalu besar dan luas, kaki kecilnya nggak sanggup menelusuri hingga jauh. Dia hanya bisa menangis sambil berharap papanya datang menemui.
"Papa, Fikri takut," lirihnya sendu. "Papa di mana, sih? Papaaaa!"
Sementara dari kejauhan tampak dua orang datang menghampiri Fikri yang duduk di dekat kandang komodo dengan air mata berlinang. Dua orang itu Akbar dan ayahnya, Om Ali.
"Adek kenapa nangis? Kok, sendirian aja, ibuknya mana?" tanya Om Ali saat sudah dekat. Sementara itu Akbar memerhatikan Fikri dengan mimik kasihan. Dia terlihat seperti anak ayam kehilangan induknya, batin Akbar. Namun dari sudut pandang lain, Fikri lucu dan imut di mata Akbar.
"Om liat papa aku nggak? Tadi katanya mau pipis, tapi sampe sekarang nggak balik-balik." Tangis Fikri makin menjadi.
Sebenarnya nggak seperti itu ceritanya. Justru Fikri yang meninggalkan Papanya. Awalnya, dia dan papanya sedang menikmati makanan di sebuah tempat duduk. Selang beberapa menit, papanya kebelet buang air kecil. Fikri mau diajak, tapi dia nolak lantaran capek jalan. Papanya titip pesan agar Fikri tetap di sini, jangan ke mana-mana sampe papanya selesai dari toilet umum. Tapi namanya anak kecil jiwa penasarannya besar sekali, apalagi jiwa ikut-ikutannya. Atas dasar ngikutin orang lain, Fikri penasaran sama reptil bernama Komodo. Dia pun melanggar pesan. Dia mengikuti segerombolan orang menuju kandang Komodo. Dia begitu asik dan takjub melihat komodo, sampe akhirnya dia sadar harus kembali ke tempat semula. Namun, dia nggak tahu arah kembali ke sana.
"Kamu kepisah sama papamu?"
"Iya, Om."
"Ya udah kamu jangan nangis lagi, Om akan bantuin cari papa kamu."
Fikri mengusap air matanya. Dia berdiri dan ikut Om Ali serta Akbar menuju pusat informasi. Hal ini harus disiarkan agar Papa Fikri mudah menemukan anaknya. Suara operator pun menggema, menginformasikan berita seorang anak terpisah dari orangtuanya.
Akbar duduk di samping Fikri. Diliriknya sekilas anak itu. Jejak air mata masih terlihat di kedua pipinya yang gembul. Akbar ingat di dalam ranselnya masih ada dua batang cokelat ayam. Cokelat itu diambil bundanya dari warung untuk cemilan selama di ragunan.
"Nih, buat kamu." Diberikannya cokelat merek ayam jago itu kepada Fikri. "Kamu jangan nangis lagi, ya." Akbar menghapus sisa-sisa air mata dikedua pipi Fikri. "Kata bapakku, bentar lagi papa kamu ke sini kok."
Fikri mengangguk dan memberi sebuah senyum simpul. "Makasih, ya, cokelatnya."
"Sama-sama ..."
Fikri memakan cokelat itu dengan lahap, sampe belepotan. Akbar yang melihat nggak bisa untuk nggak tersenyum geli. Dia meraih tissue dan membersihkan noda-noda cokelat di sekitar bibir Fikri.
"Kamu kayak anak kecil makan belepotan," ucap Akbar.
"Aku biasanya disuapin bunda ..."
"Segede gini makan masih disuapin?"
Dengan polosnya Fikri mengangguk. Akbar pun mengambil alih sisa cokelat di tangan Fikri dan bantu menyuapi anak mama itu.
Nggak lama kemudian seseorang datang menyebut nama si anak gendut.
"Fikri ..."
Papa Fikri menghela napas yang terasa ringan. Dia merasa tenang setelah melihat anaknya kembali dalam keadaan baik-baik saja. Setelah Papa Fikri mengucap terima kasih banyak atas bantuan yang diberikan Om Ali dan Akbar, dia pun mengajak anaknya pulang. Begitu juga Om Ali, dia dan Akbar segera meninggalkan ragunan.
Fikri dan Papanya mengendarai motor, sementara Om Ali dan Akbar naik angkot. Semula perjalanan terlihat biasa saja, hingga secara tiba-tiba musibah datang. Sebuah truk bermuatan dari arah berlawanan mengalami rem blong dan menabrak angkot yang ditumpangi Om Ali dan Akbar. Beberapa kendaraan dibelakangnya turut terkena. Fikri dan Papanya yang berjarak dua mobil dari angkot yang ditumpangi Om Ali dan Akbar, juga nggak luput dari insiden tersebut.
Lalu lintas kacau, semua orang panik. Mobil ambulance datang untuk mengevakuasi para korban. Om Ali meninggal di tempat, sementara Akbar terjepit di dalam angkot yang rusak parah.
"Bapak meluk gue, Fik. Dia ngelindungin gue dan nggak peduli sama keselamatannya sendiri."
Akbar menangis terisak di belakangku. Aku nggak kuat mendengarnya. Aku berbalik menghadapnya dan kupeluk dia. Kutepuk-tepuk punggungnya agar dia kembali tenang.
"Om Ali udah bahagia di surga. Dia pasti bangga sama anaknya. Anaknya tumbuh jadi cowok yang kuat, tangguh dan nggak pernah nyerah sama keadaan. Iya, kan?"
"Siapa bilang gue nggak pernah nyerah sama keadaan. Gue pernah ada di fase benci sama diri sendiri."
"Hiish, kan pura-pura aja gitu loh, biar kesannya loe tuh manusia super."
Akbar tertawa disela-sela tangisnya yang mulai reda. "Bisa aja loe."
"Btw, kenapa loe baru mau jujur sekarang?"
"Karena baru berani ..."
"Nggak ada jawaban yang lebih spesifik?"
"Gue malu kalo nyeritain yang sebenernya."
"Malu kenapa?" tanyaku heran.
"Gue pengennya dari awal loe kenal gue ya, yang kayak gini. Cacat. Gue juga takut denger loe ngomong nggak inget sama gue."
"Gue emang nggak inget, tapi kalo diingetin gue inget."
Manik mata Akbar menatapku. Untuk pertama kalinya aku mengakui, Akbar tampan dengan apa adanya dirinya.
"Fik ..."
"Hmm ..."
"Makasih ya udah mau jadi temen gue!"
"Gue juga makasih, loe mau jadi temen gue!"
"Loe kalo belum dapet-dapet cowok, ngomong aja sama gue."
"Dih, kenapa coba? Apa hubungannya gue belum dapet cowok sama loe?"
"Gue siap jadi cowok loe, asal loe mau nerima kekurangan gue."
"Tetaplah jadi normal, Bar. Loe nggak perlu khawatirin gue. Hubungan kita sekarang lebih nyenengin. Kita nggak akan ngerasain cemburu, sakit hati, lalu putus. Kalo kita marahan kita bisa balikan lagi. Nggak ada istilah-istilah mantan."
"Kalo gue yang belum dapet-dapet cewek. Loe mau jadi pacar gue?"
"Tergantung."
"Tergantung apanya?"
Aku melirik ke bawah, bola mataku jatuh tepat ke celana Akbar. "Besar panjangnya ...," Aku ngakak sendiri.
"Gilak loe! Sini tangan loe kalo mau ngerasain punya gue!"
Untuk hari-hari selanjutnya, aku berharap Akbar setia bersamaku dalam suka maupun duka. Aku sangat berterimakasih pada Tuhan. Dia menganugerahiku cinta sebaik Akbar.
Tamat.
![](https://img.wattpad.com/cover/335703722-288-k559978.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossoms
Teen FictionFikri Rejani adalah seorang cowok berbadan tambun. Dia udah lama banget jatuh cinta sama kakelnya. Namun, di suatu hari yang agak pelik, di dalam UKS Fikri mendengar si kakel dan sobatnya membicarakan alasan si kakel menolak cinta seorang cewek. Kak...