Bagian Ketiga

145 17 2
                                    

Sekitar pukul tiga sore lewat beberapa menit, aku sampe di rumah Akbar. Rumahku dan rumahnya nggak terlalu jauh. Beda jalan satu kecamatan. Begitupun dengan rumah Kak Abrar. Aku tahu dia tinggal di kompleks elite, tapi aku belum pernah main ke rumahnya karena faktor nggak akrab.

"Assalammualaikum." Aku datang ngucap salam. Kata Mommy itu adab sopan santun ketika berkunjung ke rumah orang.

"Eh, ada Nak Fikri." Tante Asma menyapaku, "Akbar di belakang lagi bungkusin tepung." Beliau tahu aja niatku ke sini. "Suruh aja ganti baju. Mau olahraga, kan?"

"Iya, Tante. Aku masuk ya Tante."

"Iya, masuk aja, silahkan," ucap Tante Asma ramah.

Akbar sedang membungkusi tepung terigu dengan plastik kiloan. Dada dan perutnya yang nggak dilapisi baju sedikit putih tepung. Untuk kesekian kalinya hatiku nggak bisa memungkiri, secara diam-diam aku terpesona dengan tubuhnya.

"Udah dateng loe, Fik?" tanya Akbar basa-basi.

"Belum, ini arwah gue." Aku berusaha bercanda untuk mencairkan darahku yang terasa beku karena kegagahan tubuh Akbar.

"Bisa aja loe ... Tunggu bentar ya, sedikit lagi selesai. Nanggung soalnya."

"Iya, gue tungguin. Sampe gue beranak juga gue tungguin."

"Ngambek? Gitu aja ngambek. Iya deh gue selesai."

Akbar meraih kruk dan bangkit. Ketika dia berdiri tegap didepanku, muncul desiran hangat merambat dalam dadaku. Rasanya aku ingin menyentuh perutnya.

"Bar, loe kan nggak nggym, kok perut loe six pack?"

Akbar merunduk ke perutnya dan meraba bagian six packnya. "Loe mau megang?"

"Ha?" Aku melongo. Aku takut Akbar punya Indra Lesmana. Dan barusan dia membaca pikiranku. Meskipun aku malu-malu mau, tapi tawaran seperti ini belum tentu datang dua atau empat kali.

"Wuiiih," seruku sambil semringah meraba perutnya yang agak berkotak-kotak, "Bisa buat nyuci, nih."

"Loe pikir papan gilesan." Kepalaku kena jitak. "Gue pake baju dulu."

Akbar masuk ke dalam rumah. Sambil menunggunya pake pakaian, aku ngobrol sama Tante Asma di warung.

"Waktu kecil, Akbar cita-citanya pengen jadi pemain sepak bola. Tapi namanya takdir ya kita nggak tau."

"Iya, Te. Padahal Akbar cocok banget jadi pemain sepak bola. Badannya kan tinggi gede," ujarku memuji anak semata wayang Tante Asma dan Almarhum Om Ali.

"Andai waktu itu Tante nggak ngizinin Akbar sama bapaknya pergi ke ragunan, mungkin nasib Akbar nggak jadi begini."

Tante Asma menyesali kejadian masa lalu yang merenggut nyawa suaminya dan membuat cacat anaknya, sementara aku dibuat bingung. Aku hendak bertanya untuk memecahkan kebingunganku, namun Akbar sudah kembali ke warung.

"Fik ..." Dia mencariku.

"Aku di depan," teriakku.

"Bunda sama Fikri lagi ngobrolin apa hayo? Ngerumpiin Akbar, ya?"

"Kamu tuh jadi anak kegeeran banget toh."

"Banget, Te. Di sekolah aja genit sama cewek-cewek," celetukku main-main.

"Loe jangan ngarang cerita. Gue hajar loe!"

Aku meletin lidah ke Akbar. Dia natapku sinis.

"Udah-udah jangan berantem. Buruan sana olahraga, nanti keburu sore."

Aku dan Akbar pamit meninggalkan rumahnya. Di jalan aku memikirkan cerita Tante Asma. Yang diceritakan Tante Asma padaku berbeda dengan yang diceritakan Akbar. Akbar bilang dia ditabrak mobil di jalan depan sekolah saat hendak nyeberang, sedangkan Tante Asma cerita—meskipun nggak lengkap, tapi aku bisa nebak—Akbar kecelakaan saat pergi ke ragunan. Lalu cerita siapa yang betul dan salah? Kalo Akbar bohong, kenapa dia melakukan itu? Apa motifnya?

"Dari pada lari di pinggir jalan, kita ke ini aja, Fik. Di belakang kompleks elite ada sirkuit kecil gitu. Bisa buat jogging."

"Kompleks Elite yang mana?" tanyaku nggak tahu.

Setahuku kompleks elite di daerah sini ada tiga. Salah satunya kompleks elite tempat Kak Abrar tinggal. Aku nggak tahu yang mana ada sirkuitnya.

"Udah, loe ngikut aja ..."

Sesampainya di kompleks itu, aku ngajak Akbar pulang. Oh my God sekali. Kompleks elite yang dimaksud Akbar adalah tempat tinggalnya Kak Abrar.

"Loe mau gue jitak? Gue rela nyita waktu buat nemenin loe, Fik. Tiba-tiba loe seenak hati minta pulang!"

Akbar marah padaku lantaran aku nggak mau lari di kompleks ini. Aku pura-pura sakit perut, tapi dia sadar aku bohong.

"Loe takut ketemu Kak Abrar, kan?" dia bertanya, tetapi seakan menuduh.

Deg.

Jantungku seketika seperti kehilangan denyutnya. Apa yang dipikirkan Akbar tentangku? Kenapa dia bisa mengira seperti itu? Aku nggak pernah cerita kalo aku suka Kak Abrar padanya, apalagi nunjukin gelagat sukaku di depannya.

"Maksud loe?"

"Udahlah, Fik, loe nggak perlu nyembunyiin semuanya dari gue. Gue udah tau. Loe pengen diet karena Kak Abrar. Loe suka dia, kan?"

"Jangan ngomong sembarangan, Bar. Loe pikir gue belok."

"Kenapa loe nggak belajar dari kasus Kak Nadia? Gue nggak mau loe sakit hati, Fik. Apa loe nggak bisa jatuh cinta sama orang yang mau nerima loe apa adanya?

"Jelas-jelas loe tau dia mandang fisik. Orang kayak gitu nggak cocok dijadiin pacar. Loe bakal sakit hati terus, Fik, dibuatnya—"

Akbar terus aja mengoceh. Begitu bencinya dia dengan Kak Abrar, yang bahkan sifat aslinya pun dia nggak tahu. Dia hanya mendengar omongan buruk dari orang lain tentang Kak Abrar, yang sangat-sangat nggak benar.

"STOP!!! aku meradang, "kalo cuma sebatas denger dari orang lain, mending loe diem. Kak Abrar yang asli nggak seburuk yang loe tau. Dia nggak pernah ngomong jijik sama Kak Nadia di depan Kak Nadia langsung. Gue saksinya. Waktu gue pingsan dia juga ada di UKS. Dia ngasih tau Kak Roy alesan dia nolak Kak Nadia, dan gue denger semuanya."

Mata Akbar membesar. Dia terdiam mendengar paparanku.

"Ta-tapi tetep aja kan dia nggak suka cewek gendut."

"Iya, terus masalahnya apa? Dia nggak suka cewek gendut bukan berarti dia jahat. Dia berhak memilih ... Gue tau loe cuma Insecure sama diri loe. Loe cacat, kaki loe buntung, Loe berpikir nggak akan ada orang yang mencintai loe apa adanya. Itu loe, Bar, bukan gue! Gue bisa ngerubah diri gue jadi lebih baik, tapi loe. Salah satu anggota tubuh yang hilang nggak akan bisa diganti!!!"

Aku menatap geram pada Akbar yang diam membisu. Aku nggak peduli jika perkataanku barusan melukai perasaannya. Aku ingin dia berpikir jernih, bahwa keindahan fisik masih menjadi peringkat pertama dalam hubungan percintaan.

Aku sudah nggak nyaman berada di sini. Mungkin terlihat egois, aku yang mengajaknya, tetapi aku yang meninggalkannya. Bukan peduliku lagi.

Tunggu bagian selanjutnya, ya.

Love BlossomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang