Bab 35 | First Meet

21 10 27
                                    

Aroma nasi goreng dari rumah tetangga menusuk hidung mancung berlubang dua itu. Kembang-kempis dua lubang hidungnya meresapi harum mewangi makanan yang menggetarkan seisi lambung. Nyawanya yang belum kembali dari tubuh langsung masuk kala disuguhi hal tersebut. Kontan badannya menegak. Belek mata yang menghalangi penglihatan mengakibatkan inderanya belum terbuka sempurna.

Otaknya spontan sadar kala suara azan berkumandang. Semalam penuh dia berpikir untuk mengakhiri perang dingin ini. Dia jenuh dikekang terus-menerus. Jingga mau kebebasannya kembali. Kaki lincahnya tidak produktif lagi kan jadinya. Nanti kalau dia jadi nolep salahkan saja Nando. Cowok itu memang senang adiknya berubah jadi interovert sejati, yang kerjaannya dua puluh empat jam ngejogrok di atas kasur.

Jingga tidak bisa begitu. Kaki gasingnya terasa tak berguna bila belum mengukur jalan. Belum selesai mendownload nyawa yang masih mengawang-ngawang di angkasa, badan semok-semok menggoda itu melipat lututnya hendak turun dari ranjang. Sendal swalow buluknya dia pakai demi mendatangi sang Abang yang sudah jelas masih mengorok. Memimpikan bidadari cantik yang tak mungkin hadir di hidup cowok protective itu.

Pintu coklat kokoh itu masih tertutup rapat. Benarkan dugaannya. Tanpa minta izin, punten atau assalamualaikum Jingga memutar kenop tersebut. Dorongan kecil dia dia lakukan agar bisa menyeruak di kamar sang abang.

"Enaknya dibangunin dengan gaya apa ya? Udah tua masih aja suka lupa sholat. Gak malu sama calon istri yang entah kemana wujudnya?" Jingga sudah mirip seperti emak-emak yang memarahi anaknya. Minus tangan yang tidak berkacak di pinggang serta kerutan yang enggan terlihat di jidatnya.

Jingga sontak melompat ke kasur, dia memeluk abangnya kencang seolah Nando adalah sebujur mayat yang telah meninggalkannya. Cewek piyama frozen food ini berdehem-dehem tidak jelas mempersiapkan suara melengkingnya.

"Nando Sunandooooo ... Bangun ... Udah jam setengah lima ini ... Sholat ke masjid sana ... Jangan malas kayak Amer titisan dakjal itu!!!" Lengkingan Jingga masuk tepat ke gendang telinga Nando. Suaranya bergema di dalam sana. Goncangan juga dia berikan agar si kebo ini bangun segera. Pokoknya, misi membujk rayu induk semang harus berhasil.

Terganggu, Nando cuma menggeliat kecil. Dia belum sadar setan cilik ini tengah mengukungnya. Teman dekat Arfan itu membuka mata saat punggungnya merasa sesak ditiban satu karung beras. Betapa kagetnya Nando mengetahui si centil sudah nimbrung di kasurnya.

Oh, udah selesai sesi perang dinginnya? Pasti sebentar lagi kupingnya pekak disesaki sederet permintaan.

"Bangun, Bang! Sholat shubuh sana di masjid. Jangan molor melulu," omel Jingga memasang gelar 'abang' setelah tahu Nando membuka mata. Bisa digeprek tulang belakanngnya kalau tidak sopan.

"Minggir, Jigot. Gak usah teriak-teriak di telinga abang. Kamu mau buat abang jadi pasien klinik THT," seru Nando masih merem melek. Sumpah, dia mengantuk sekali tapi si monyet kecil ini malah nempel kek setan di tubuhnya.

"Gak mau! Lagipula, ngapain abang jadi pasien di sana? Paling telinga abang aja yang berdarah itu pun masih bisa diobati pakai Rohto," seru Jingga tak jauh dari wajah Nando.

"Bukan cuma telinga abang yang rusak, tapi hidung abang gak bisa membau lagi setelah nyium bau naga mulut kamu."

Dikatakan begitu, Jingga makin menjadi. Dia menyebarkan bau jigongnya ke sepenjuru hidung dan mulut Nando. Bantal kecil yang nongkrong di samping lekas Nando tarik lalu ditaruh menutupi hidung serta seluruh wajahnya agar bau-bau naga Jingga tak berhasil membuatnya muntah.

"Ish, cepetan bangun. Sholat ke masjid sana. Nanti keburu selesai. Ingat, Bang sebaik-baiknya muslim adalah dia yang tidak melalaikan sholat."

Muak mendengar Jingga berceramah di pagi buta sontak merentangkan dua tangannya. Anak itik itu terpental meski tidak jatuh di lantai.

"Iya, iya, abang sholat ke masjid sekarang! Gak usah bawel. Kamu juga awas kalau gak sholat!" Ancam Nando keki.

"Ish, aku mens kok. Abang dosa nyuruh aku sholat," ujar Jingga mencetak cibiran di bibir Nando. Meski kesal-kesal pengen buang Jingga ke jurang dia tetap memasuki kamar mandi.

Tawa besar Jingga menggelegar. Dia melipat tangannya ke belakang ke kepala, nyaman menidurkan diri di kasur empuk Nando. Kala hendak lanjut tidur di kamar niat menguap saat satu notifikasi terdengar dari ponselnya.

Nomor tak dikenal. Jingga lancar mengklik chat tersebut. Oh my gosh! Kenapa baru sekarang dia menghubungi? Hendak mencampakkan ponsel apel setengah gigit itu, rencananya berubah haluan. Dia mengambil ponsel tersebut dan membalas pesan si cowok brengsek.

62+135621*****
Jing, bisa kita ketemu ada yang mau Abang bicarain sama kamu.

Jingga Laksania
Oh, kenal kita selama ini? Sorry, ya orang sibuk gak bisa! Bye!

****

Berulang kali uapan panjangnya membaur bersama oksigen yang berlalu lalang. Semburan angin di siang bolong seperti ini seolah meninabobokan matanya yang tinggal dua watt minta nempel di bantal secepat mungkin. Telapak tangan kanan dan kiri bergantian menutup mulut lebarnya kala menguap. Pulang sekolah di jam orang tidur merupakan perihal paling menyebalkan bagi Jingga. Cewek berjidat mulus itu kesal sekali harus berjalan lima ratus meter lagi menunggu Nando dan tunggangan elitnya nongkrong di sana.

Rapat guru mendadak mengakibatkan kepala sekolah Patra Yudha membubarkan murid mereka. Takut kepala para guru pusing melihat ulah para pentolan sekolah. Pasti ada saja laporan tidak mengenakan yang nyampai ke telinga pahlawan tanpa tanda jasa itu. Kasus merokok di toiletlah, mojok di belakang kelas anak sebelas sampai mesum di gudang seperti Anneta dan Dion pun ada. Beruntung saja dua orang itu belum ketahuan sama sekali. Kalau tidak on the way diseret ke KUA.

Ancaman itu tidak main-main. Pernah sekali ada kasus yang sama beberapa tahun silam dan kedua orangtua sepasang murid mesum tersebut menyetujui keputusan pihak sekolah karena telah pusing melihat kelakuan anaknya. Muka mereka juga tercoreng. Terpaksa menikah jalan satu-satunya memperbaiki harkat martabat keluarga.

Jingga sampai geleng-geleng kepala mendengar cerita itu dari mulut Pak Anto. Dulu dia berangan-angan menikah dengan Aldi dan kalau sang abang tidak menyetujui dia bakal melakukan hal yang sama. Namun, belum siap merealisasikan rencana itu, Aldi malah memutusinya. Bangke sekali memang.

Di kejauhan, suara megafon seseorang terus mengudara memanggil nama si rambut keriting. Jingga yang sedang mengantuk tidak fokus. Dia tidak mendengar suara itu. Tiba-tiba objek itu telah berada di hadapannya, menghadang langkah putri kandung Salman.

Jingga membeku melihat cowok sialan itu di sini. "Jing, bisa kita bicara? Ada yang mau Abang jelasin sama kamu." Tangan kokohnya memegang jemari cewek berseragam batik melayu itu.

Seolah abai, Jingga melanjutkan langkahnya tak mempedulikan Aldi yang entah kenapa semakin tampan dari hari ke hari. Aish, bubar jalan sudah usaha move-on-nya.

"Jingga."

"Maaf, kita saling kenalkah sebelumnya?" tanya Jingga kejam. Dia melempar tatapan laser ke arah cowok di sampingnya.

"Dengerin Abang, Jing! Abang perlu ngelurusin sesuatu," balas Aldi tak mau menyerah.

"Ngelurusin apalagi? Kita kan gak saling kenal. Lagian ngapain ke sini? Mau pamer udah makai almet UNRI? Cih, gak ada yang peduli juga pun." Jingga kembali melanjutkan langkahnya menghindari dari Aldi Taher menyebalkan itu.

Dan semua yang dia alami kali ini tak luput dari pengetahuan Valdo, teman online yang selama dua bulan ini jadi orang yang selalu mendengar curhatannya.

****

18- [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang