Mengajar benar-benar membuat Dite kehilangan energi. Selama 2 jam pelajaran dia sudah pusing melihat angka yang berjajar dengan teman-teman sin cosnya kadang Dite bertanya-tanya akan digunakan untuk apa ilmu yang baru saja dia ajarkan tadi.
"Siapa sih yang bikin sin cos kangen? Hobi banget bikin pusing," gumamnya sambil berjalan di Koridor siap untuk kembali ke ruang guru.
"Tangen bego! Bukan kangen." Dite berdecak setelah mendengar suara milik Nalu tepat di telinganya. Jika boleh jujur 50 persen dari rasa pusing dan kesal Dite berasal dari Nalu yang terus berteriak dan menghina kebodohannya.
Penasaran mengapa? Jawabannya simpel, Dite payah dalam matematika sementara Nalu sangat pintar dalam bidang yang satu itu. Jadi untuk menyempurnakan penyamaran Dite sebagai guru yang pintar, Nalu harus berkorban untuk membimbing Dite melalui alat pendengaran tersembunyi di telinga Dite dan kacamata yang sudah di desain sedemikian rupa dengan memasukkan kamera kecil agar Nalu dapat melihat soal yang sedang Dite kerjakan.
Namun, tentu saja Nalu tak melakukannya dengan ikhlas, dia menjadikan kesempatan itu untuk terus mengumpati Dite.
"Diem lo!" bisik Dite kemudian mengambil alat di telinganya dan mematikannya. Akan aman jika dia tak perlu mendengarkan ocehan dari Nalu. "Abis ini gue nyari Win—Lian?" Mata Dite hampir meloncat ketika melihat seseorang yang mirip Lian menggunakan seragam SMA Pandawa sedang berjalan ke arahnya.
Dite hampir tak percaya dengan pengelihatanya karena tak mungkin Fakkar menugaskan Lian ketika sudah ada Sena di sana. Ini mungkin halusinasinya yang terlalu sering melihat Lian hingga terbawa kemana pun dia pergi.
"Siang Pak," sapa murid itu membuat Dite berhenti sejenak untuk sekedar berpikir.
"Nggak mungkin Lian, ini pasti cuma halusinasi. Itu bukan Lian, Dite. Ini pasti karena gue trauma sering dimarahi Lian makanya gue selalu denger suara dia. Iya, pasti itu," batinnya terus mengatakan bahwa itu bukan Lian.
Namun, jiwa penasarannya membuat Dite kembali berbalik untuk memanggil murid yang diduga Lian itu. Jika berbalik makan gadis itu tadi adalah Lian. "Lian," panggil Dite.
"Maaf, bapak manggil siapa? Di sini nggak ada siapa-siapa selain saya. Dan saya bukan Lian," balas murid yang di kuncir satu itu.
"Oh, maaf." Dite mengutuk dirinya yang asal memanggil Lian karena kemiripan wajahnya. Mungkin mereka hanya memiliki rupa dan suara yang sama.
"Aduh, saya tau bapak bego sampai bikin Nalu frustasi, tapi jangan ditunjukin juga muka kaget begonya. Keliatan banget tololnya."
"Lian?"
"Menurut lo siapa? Heran, gue nyamar nggak aneh-aneh, tapi lo masih ragu itu gue apa bukan." Dite meruntuk kebodohannya yang tak bisa mengenali Lian hanya karena Lian versi murid lebih berada dibanding Lian yang dia kenal.
"Ya mana gue tau pak ketua nugasin lo juga padahal di sini udah ada gue sama Siena." Lian menghela napas, mengingat bagaimana keributan yang dilakukan Siena hingga membuat Fakkar geleng-geleng bingung dan memasrahkan tugas itu pada Lian.
"Dan lagi, kenapa lo jadi murid gue guru. Kita seumuran ya! Mana boleh kayak gitu!" protes Dite.
"Gue jadi murid karena muka gue emang masih kayak anak SMA."
"Terus menurut lo muka gue udah kayak bapak-bapak gitu?" Lian mengangguk mantap menyatakan bahwa teori tak berdasar Dite itu benar padahal aslinya dia hanya ingin membuat Dite kesal.
"Lupain soal muka bapak-bapak lo, alasan utamanya karena Siena lebih fokus hajar anak-anak nakal ketimbang nyari muka depan si Lina. Jadi, terpaksa gue turun tangan." Entah mengapa Nalu tak akan heran dengan hal itu, Siena memang anak yang tak bisa diam melihat anak-anak nakal, padahal tanpa sadar bahwa dia sendiri adalah anak nakal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Who Want To Revenge?
Fiksi UmumBeberapa manusia yang hidup dalam ketakutan semu sulit untuk melanjutkan kehidupannya. Kata orang, hidup itu sulit, tapi setiap manusia berhak untuk menjalani kehidupannya. Beberapa yang lain, menyakiti dan merenggut kehidupan orang lain. Jika ada...