Sudah mendekati akhir musim penghujan, tetapi intensitas turunnya muatan awan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat. Sudah hampir sepekan ini matahari tidak terlihat, terhalang awan-awan kelabu. Karena itu pula suhu udara menjadi rendah.
Sezia suka bergelung manja di bawah dekapan bed cover miliknya yang hangat. Tidak adanya cahaya matahari yang berhasil menerobos tirai jendela membuat ia bangun lebih lama. Kehangatan yang menyelimuti seluruh tubuhnya membuat Sezia pasrah sepenuhnya untuk tidak beranjak dari tempat tidur.
Namun, suara pintu yang dibuka dengan kasar membuat ia harus membuka matanya yang masih terasa berat. Sang bunda yang memakai gamis rumahan bermotif batik dengan jilbab segiempat berwarna hitam berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Tidur jam berapa semalam?" Pertanyaan yang selalu dilontarkan sang ratu rumah ini ketika membangunkan putri semata wayangnya.
"Gak tahu. Setengah tiga mungkin," jawab Sezia dengan ragu. Ia tidak ingat tepatnya karena terakhir mengecek jam menunjukkan pukul dua dini hari, lalu setelah itu ia tidak langsung tidur. Jadi, ia perkirakan saja.
"Minggu lalu baru sembuh, Zi! Begadang terus!"
"Kan, sekarang udah sembuh. Lagian ceritanya nganggur seminggu gara-gara sakit."
"Tapi gak usah sampai begadang juga, Zi! Harus berapa kali Bunda bilang?"
"Gak bisa, Bun. Enaknya nulis, tuh, waktu malem."
"Kamu udah sakit dua kali dalam dua bulan belakangan ini, Zi. Sekali-kali dengerin kalau Bunda ngomong."
"Itu mungkin karena dari kecil aku jarang sakit, jadi sekarang sakitnya main keroyokan."
"Nyahut mulu kamu, tuh. Bangun sekarang, siap-siap terus langsung ke bawah!"
Memaksa tubuhnya untuk beranjak dari atas tempat tidur setelah kepergian bunda agungnya, Sezia meraih bathrobe yang tergantung di belakang pintu kamar lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Hanya menghabiskan waktu sekitar 10 menit di dalam kamar mandi, Sezia akhirnya keluar dengan bathrobe setinggi betisnya membalut tubuhnya. Sampai di depan lemari pakaiannya yang telah terbuka, ia memilih sebuah gamis rumahan yang serupa dengan yang dipakai sang bunda. Rambut sepunggungnya, yang tidak dikeramas pagi ini, ia ikat separuh di belakang kepala dan sisanya dibiarkan tergerai.
Kemudian Sezia beralih ke depan meja riasnya. Tangan gadis 24 tahun itu terulur meraih botol krim wajah. Selesai mengaplikasikan krim wajah itu, ia mengambil pelembab bibir untuk dipakai juga.
Selesai dengan semua itu, Sezia keluar dari kamarnya.
Rok gamis yang menyentuh punggung kakinya membuat Sezia tersenyum kecil. Wearing a skirt makes her feel like a princess. Meskipun yang dipakainya sekarang bukan gaun mewah seperti putri kerajaan yang diketahui secara umum.
Menuruni setiap anak tangga yang ada. Ketika baru terlewati sebagian, Sezia bisa mendengar suara bising dari arah ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga juga. Dengan malas, Sezia kembali ke kamarnya untuk meraih jilbab langsungan berwarna hitam yang setia tergantung di belakang pintu. Setelah terpasang dengan benar di kepalanya, barulah ia kembali turun ke lantai dasar dengan percaya diri.
Sebelum berbelok ke arah ruang makan, Sezia menyempatkan untuk mengintip ke ruang tamu. Tiga orang tamu ... eh, empat. Sezia tidak menyadari bocah yang duduk di ujung sofa sana.
Sepertinya masih sekolah dasar, tebak Sezia. Well, kalau begitu ia semakin malas untuk bergabung ke sana. Ia tidak suka anak kecil–sebenarnya anak nakal yang berisik dan bisanya ngeribetin.
Alhasil Sezia melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.
Ketika membuka tutup saji, Sezia mendapati sepiring nasi dengan porsi yang tidak dikira-kira. Jika ia tebak, tampaknya nasi di piring itu diisi oleh tiga centong nasi. Sang bunda memang selalu memiliki berbagai cara agar ia makan dengan banyak. Padahal sekarang hitungannya masih sarapan. Memangnya ada sarapan sebanyak itu? Duh, sepertinya Sezia harus melontarkan protes lagi nanti. Mana lauknya hanya nugget ayam.
Keterlaluan bundanya ini.
Menuju lemari piring serbaguna, yang satu bagiannya di sisi kanan digunakan sang bunda untuk menyimpan bumbu dapur, Sezia mengambil botol saus sambal dari sana. Kemudian menuju dispenser untuk mendapatkan segelas air. Setelah itu, ia duduk dengan tenang di meja makan.
Karena lupa membawa ponselnya sekalian tadi saat turun, Sezia fokus pada makanan di hadapannya. Setelah menuangkan saus sambal di ujung piring, ia mencoleknya dengan potongan nugget yang ditusuk dengan garpu.
Gadis itu makan dengan tenang sampai ketika nasi tersisa setengah di piringnya, ia sudah merasa kenyang dan tidak ingin melanjutkan. Namun, kalau tidak dilanjutkan pasti nanti sang bunda akan memberikan respon andalan: "Ya udah, kasih aja ke ayam di belakang."
Mana bisa Sezia 'membuang' makanan. Ia tidak tega. Jadi, mau tidak mau ia harus lanjut dan menghabiskan nasi di piring itu. Untung nugget yang digoreng sang bunda banyak.
Sedang asik dengan sarapannya, tiba-tiba Sezia merasakan presensi lain yang mendekati posisinya. Penasaran, ia mengangkat pandangannya dan menemukan salah satu tamu orang tuanya. Si lelaki muda yang sepertinya berusia tidak jauh dengan dirinya.
Oh, agar lebih jelas, keempat tamu orang tuanya kemungkinan besar adalah satu keluarga. Lelaki yang sekarang berdiri tidak jauh darinya ini pasti si anak sulung.
"Makan, Mas," ucap Sezia dengan telapak tangan di depan mulutnya. Berbicara dengan mulut yang masih terisi memang tidak elegan sama sekali, tetapi ia harus berlaku ramah pada tamu. Karena itu, ia memilih untuk menutupinya dengan telapak tangan.
"Iya, silakan."
"Mau apa, Mas, ke sini?" Sezia bertanya setelah mengunyah dan menelan makanannya dengan cepat.
"Oh, itu.. saya mau ke toilet."
"Kamar mandinya lewat samping tangga, Mas. Bukan ke sini."
"Ah, iya. Makasih."
"Sama-sama."
Setelah kepergian lelaki itu Sezia kembali melanjutkan sarapannya yang hanya tersisa beberapa suap lagi. Begitu selesai ia langsung menyambar gelas untuk minum.
Kemudian ia membawa peralatan makan dan gelas bekasnya ke wastafel untuk digabung dengan yang lainnya, biar nanti dicuci sekalian.
Ketika berbalik, Sezia dikejutkan dengan sosok bundanya yang entah sejak kapan berdiri tidak jauh darinya.
"Ke ruang tamu sana. Mau ngomongin hal penting."
"Ngapain?"
"Gak usah banyak tanya. Ikut aja ke ruang tamu!"
Tidak ingin mendebat lagi, Sezia pun mengikuti langkah bundanya. Tiba di ruang tamu, ia didudukkan di samping bapak sehingga posisinya berada di tengah. Hal itu membuat Sezia menjadi bingung. Biasanya terserah saja ia mau duduk di mana.
"Jadi bagaimana, mau saya yang bicara atau Nak Karan?"
Sezia menoleh pada sang bapak yang bersuara.
Ngomong-ngomong, Sezia memang memanggil orang tuanya dengan sebutan bapak dan bunda. Walaupun tidak terdengar seperti sebutan yang serasi, ia tetap suka dengan panggilan itu.
Lelaki itu terlihat menghela napas sejenak sebelum menatap Sezia. Lagi-lagi hal itu membuat si gadis jadi bingung.
"Saya, Karan Salendra Putra, ingin mengkhitbah kamu, Sezia Cella Reivani."
"... hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Let the Heart Lead You
RomanceSezia itu selalu blak-blakan mengenai segala kekurangan yang dimiliki. Tidak ada yang ia tutup-tutupi hanya demi terlihat baik di depan orang lain. Meskipun ia juga tidak merasa bangga dengan itu. Kembali lagi, itu adalah kekurangannya. Namun, suatu...