Kacamata anti radiasi bertengger di batang hidungnya yang tidak mancung-mancung amat. Jarinya bergerak di atas keyboard laptop dengan lincah untuk mengetikkan scene demi scene, untuk ceritanya yang sudah tidak update sepekan. Banyak pembacanya yang sudah berdemo di kolom komentar karena itu.
Setelah makan siang tadi, Sezia yang mendapat ilham untuk lanjut menulis ceritanya langsung masuk ke kamar. Ia menulis dengan ditemani alunan lagu milik Imagine Dragon. Sesekali ia juga ikut menyenandungkan liriknya.
Brak!
Tubuhnya tersentak karena pintu kamarnya yang dibuka dengan begitu kasar. Ketika melihat si pelaku, ternyata abangnya yang sudah lama tidak berkunjung ke rumah.
"Astaghfirullah, Abang! Pintu kamarku bisa rusak kalau gitu! Gak mau tahu, pokoknya aku minta biaya kompensasi."
"Kompensasi apaan. Seharusnya Abang yang minta karena tahu-tahu dapat kabar kamu mau nikah."
"Siapa suruh jarang ke sini. Sibuk banget perasaan abis nikah, padahal udah lewat lima tahun. Rasain, tuh, ketinggalan berita."
"Pokoknya Abang gak terima. Lagian siapa yang udah berani ngelamar kamu? Ari, Nafi, atau si yang satu itu–Fathan?"
"Bukan semuanya." Sezia menjawab sambil lalu dengan jari yang bergerak di atas pad laptop untuk menyimpan file bab terbarunya. Ia tidak bisa lanjut menulis kalau abangnya rusuh begini.
"Lah? Terus kamu nikah sama siapa kalau bukan satu di antara mereka?"
"Gak tahu, orangnya tiba-tiba datang buat ngelamar."
"Kok, creepy sih, Dek. Kamu punya stalker?"
"Abang mikirnya aneh-aneh aja. Yang kerjanya penulis itu aku, kok, malah Abang yang imajinasinya jauh banget. Udah, ah, aku mau cari es krim ke Betamart depan."
"Heh, tunggu dulu Abang belum selesai!"
"Bunda! Liat, nih, Abang gangguin aku istirahat!" Sezia berteriak mengadu pada sang bunda yang seperti berada di ruang tamu merangkap ruang keluarga. Detik berikutnya suara sang ratu rumah pun terdengar.
"Kahfi, jangan gangguin Sezia!"
Abangnya itu langsung melepaskan tangannya dari lengan Sezia. Hal itu dimanfaatkan si gadis untuk berlari menuruni tangga dan menuju sang bunda.
"Bundaa." Sezia melempar tubuhnya ke samping sang bunda, lalu menyenderkan kepalanya ke pundak wanita itu.
"Bun, pengen es krim," ujarnya dengan maksud meminta izin.
"Jangan banyak-banyak. Bentar lagi mamanya Karan datang buat nemenin fitting baju."
"Iya, Bun."
Setelah menerima lembaran uang berwarna hijau di tangannya, Sezia langsung berdiri. Siap menjemput kesayangannya.
"Ante, Api mau ikut!"
Gumpalan daging berwarna putih berlari cepat ke arah Sezia yang berhenti melangkah, lalu menempel dengan eratnya di kaki gadis itu.
Sezia mengangkat tubuh keponakannya yang sudah berusia tiga tahun itu. Namanya Hanafi, dan ia adalah bayi tergemas sejauh ini karena tidak pernah nakal.
"Kok, kamu makin berat, Pi? Rajin makan, ya?"
"Iya, kata Neni harus rajin makan biar cepat besar." Bayi itu menjawab dengan suaranya yang cadel.
"Bukan cepat besar ini, tapi cepat gembul."
Sezia meraih pipi berisi keponakannya dengan bibir. Memberi si kecil ciuman ganas di sana.
"Mbak, aku bawa Api, ya?"
Sherina, kakak iparnya, langsung membolehkan karena sangat hafal kalau Hanafi selalu menempel pada Sezia setiap datang ke sini.
Matahari yang mulai menyembul-nyembul dari balik awan membuat Sezia menyembunyikan sang keponakan di bawah jilbabnya. Bayi gemas dengan kulit putih itu sayang sekali kalau terkena sinar ultraviolet.
Rumahnya yang terletak tidak jauh dari gerbang perumahan membuat Sezia tidak perlu merasa lelah. Berjalan beberapa ratus meter keluar perumahan, lalu tinggal berbelok ke kiri dan akhirnya menjumpai Betamart.
Sebelum masuk Sezia menurunkan Hanafi dari gendongannya, agar bayi satu itu terbiasa untuk berjalan sendiri dan tidak minta digendong terus. Kemudian ia menggandeng tangan Hanafi menuju rak susu kotak.
"Api mau susu bendera gak? Ante beliin. Ada gambar Miki, nih."
"Mauu." Bayi itu melompat-lompat kecil dengan girangnya.
Mengambil empat buah susu kotak dengan rasa cokelat, kemudian Sezia masukkan ke keranjang yang sempat diambilnya. Ia mengajak Hanafi beralih ke rak makanan ringan dan mengambil satu bungkus keripik kentang, lalu yang terakhir mengambil es krim.
Keduanya mengantre sebentar sebelum giliran mereka membayar.
Keluar dari Betamart, Sezia tidak langsung mengajak Hanafi pulang. Mereka duduk sebentar di kursi yang disediakan di depan minimarket itu untuk menikmati susu yang tadi dibeli.
Sezia ikut menikmati susu kotak seukuran telapak tangannya itu. Ia menikmatinya, tidak peduli jika ada orang yang memandangnya kekanakan. Lagipula sang bunda dulu juga sering membelikannya susu itu ketika ia kost saat kuliah.
Begitu menghabiskan satu kotak susu yang tidak memerlukan banyak waktu, mereka pun pulang. Hanafi kembali ia gendong dan ditutupi dengan kerudungnya.
Ketika sampai di rumah, Sezia mendapati mobil yang familiar di depan pagar. Ia segera masuk bersama Hanafi dan langsung menemukan sosok Karan.
"Api ke Mama, gih. Ante mau simpen susunya dulu."
Bayi yang sudah diturunkan dari gendongannya itu langsung menurut. Dengan langkah yang sudah cukup lancar, Hanafi menuju ruang tamu.
"Kamu dari mana, Sezia?"
"Dari depan." Sezia menjawab dengan singkat. "Kamu kenapa di sini juga? Katanya cuma Tante Ambar yang ikut."
"Saya selesai lebih awal biar bisa fitting baju bareng. Lebih hemat waktu daripada sendiri-sendiri."
"Oh."
Sezia membuka kulkas untuk menyimpan es krim dan susu yang dibelinya. Keripik kentangnya ia simpan di lemari yang sama dengan para bumbu dapur. Selalu ada satu rak kosong di bagian paling atasnya, dan Sezia menggunakan itu untuk menyimpan jajanannya.
"Kamu suka anak kecil? Yang tadi itu siapa?"
"Itu anaknya Abang. Kebetulan anaknya gak nakal, makanya aku suka."
"Jadi, kamu suka anak kecil yang gak nakal?"
"Iya."
"Kalau anak kita nanti nakal jangan kamu cuekin, ya. Bimbing dia biar bisa banggain ayah sama buna-nya."
Sezia terdiam di tempatnya. Apa-apaan lelaki itu? Mereka bahkan belum menikah, tetapi sudah membicarakan tentang anak saja. Lagian ia tidak ingin langsung memiliki anak setelah menikah.
Tidak menghiraukan ucapan Karan, Sezia lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
"Kita bakal langsung jalan, kan? Kalau gitu tunggu bentar aku ganti baju."
Tanpa menunggu balasan dari Karan, Sezia langsung berlalu menuju kamarnya. Ia memilih baju yang simpel saja karena pasti nantinya akan mencoba beberapa kebaya dan gaun. Selesai dengan cepat, Sezia menuju ruang tamu.
Mereka langsung berangkat setelah itu. Hanafi sempat menahan mereka karena masih ingin bersama Sezia yang sudah lima bulan tidak ditemuinya. Namun, tangisan bayi itu langsung berhenti setelah Sezia berjanji untuk tidur bersamanya nanti malam.
Tiba di tempat fitting kebaya dan gaun pengantin yang direkomendasikan oleh Ambar, mama Karan, begitu masuk mereka langsung diarahkan ke dalam.
Awalnya Seiza ditunjukkan beberapa gambar model kebaya dan gaun, kemudian ditunjukkan yang sudah jadi. Semuanya terlihat cantik di mata gadis itu walaupun ia merasa putih adalah warna yang membosankan. Untung saja untuk gaun resepsi ia diperbolehkan memilih warna lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Let the Heart Lead You
RomanceSezia itu selalu blak-blakan mengenai segala kekurangan yang dimiliki. Tidak ada yang ia tutup-tutupi hanya demi terlihat baik di depan orang lain. Meskipun ia juga tidak merasa bangga dengan itu. Kembali lagi, itu adalah kekurangannya. Namun, suatu...