Gelas Pecah

3.4K 434 90
                                    


Yeayyy akhirnya update lagi, maaf ya minggu lalu absen. Karena, lagi sibuk banget. Chapter ini nggak begitu panjang tapi kuharap mengobati rindu kalian. Happy Reading!  Jangan lupa komen dan votenya yak!


Love you!


-

-

-       



"Saya tahu kamu butuh untuk bertemu dengan dengan Cailyn. Dia tidak akan kabur ke mana-mana, saya bisa jamin itu."

Keizly agaknya terkejut karena dia datangi oleh Jiru ketika dia sedang menanunggu Cailyn untuk mereka bertemu dan berbicara serius.

"Jadi, bagaimana, Pak? Apa saya harus menunggu lagi?"

"Cailyn sedang dalam kondisi yang tidak baik, lebih tepatnya, ada hal-hal yang harus dia teguhkan dulu sebelum menceritakan semuanya ke kamu."

"Dia sakit?"

"Lebih tepatnya, butuh waktu untuk sendiri."

"Jadi, saya harus menunggu lagi? Kapan?" Sejujurnya, Keizly gagal menyembunyikan kekecawaannya. "Saya hanya ingin tahu kebenarannya."

"Ini rumit, saya hanya bisa mengatan itu."

"Kalau Bapak di posisi saya, bagaimana?" Keizly mulai menunjukkan ketegasannya.

"Kalau kamu di posisi saya? Bagaimana? Saya seorang suami, yang tidak bisa membiarkan istri saya untuk menderita hanya karena harus mengorek kembali masa lalunya hanya untuk menjawab pertanyaan kamu, yang sebanarnya, bukan kewajibannya juga. Dia punya hak untuk menolak." Tentu, Jiru lebih tegas lagi.

Keizly menghela napas. "Tapi, Pak. Dia sudah janji."

"Saya tahu. Itu makanya, saya hanya minta kamu mengerti dan menunggu. Apa itu susah?"

Keizly kemudian menundukkan kepala. Dia tidak menjawab lagi. Terlalu banyak kekesalan di hatinya. Dia tidak mau mengungkapkannya. Keizly hanya mengangguk saja. Lalu kemudian dia pamit untuk pergi.

Kembali, dia pulang, dengan jawaban kosong.

*****

Keizly melihat foto Kakak perempuannya, Keilin.

Dia menarik napas pelan, karena ini adalah hari pertamanya untuk masuk kelas Kakaknya. Menggantikan mendiang Kakak perempuannya untuk meneruskan proses pendidikannya, agar Kakaknya bisa lulus---meski memang wujudnya sudah tidak ada di dunia ini lagi.

Keizly beharap tidak banyak yang mengenalinya di sini.

Semoga beberapa orang masih percaya bahwa dia adalah Keilin atau cenderung lebih tidak peduli saja.

"Kamu ambil kelas ini juga, kenapa?" tanya wanita yang duduk di sebelahnya.

"Aku udah nikah, jadi aku ambil kelas yang ini. Biar lebih fleksibel aja." Kelas ini memang khusus diambil untuk mereka yang sudah menikah, sebagai syarat untuk jadwal yang lebih bisa menyesuaikan.

"Oh, sudah punya anak berarti?"

"Belum," jawab Keizly malu.

Wanita itu hanya tersenyum. Sepertinya orang-orang di kelas ini juga tidak terlalu banyak berinteraksi. Mereka semua adalah kumpulan orang-orang yang sibuk dengan diri masing-masing. Keizly merasa beruntung dengan semua itu.

Dia tenang sekali berada di kelas ini, sampai tiba saatnya dia berpindah ke kelas kedua.

Keizly seketika menghentikan langkahnya.

Dia melihat mantan pacarnya.

Seketika, mental Keizly kendur saat itu juga. Mantan pacarnya pasti bisa mengenali dirinya. Kala, itu Keizly memilih untuk cari aman sementara.

Bolos adalah jalan satu-satunya.

*****

"Kamu bilang pulang jam tujuh malam karena ada harus mengisi kelas Keilin, ini baru jam lima, kamu sudah pulang?" Drizel menyambut sambil menuangkan minuman dingin ke gelas.

"Iya, aku skip kelas tadi."

"Kenapa?" Drizel menyodorkan minuman itu untuk Keizly.

"Aku ketemu seseorang yang kenal sama aku. Aku khawatir, dia malah bocorin, kalau aku bukan Keilin." Keizly menerima minuman itu.

"Kamu kenal dekat dengan orang itu?"

Keizly terdiam sebentar. Dia bingung harus menjawab apa.

"Keizly?" Drizel menunggu jawaban.

"Hmm, dia mantan aku."

Ekspresi Drizel langsung berubah. "Ah, bertemu dengan pria yang pernah kamu cintai rupanya." Sebenarnya, nada bicara Drizel biasa saja, tapi entah bagaiman itu jadi terkesan sedikit sinis juga.

"Itu bukan sebuah konteks yang penting." Keizly menegaskan bahwa bukan itu poin utamanya, melainkan tentang bagaimana identitasnya dikenali.

Drizel menatap Keizly. "Boleh aku jujur?"

"B-boleh..." Kenapa Keizly jadi gugup.

"Aku mulai tidak suka dengan ide kamu untuk meneruskan keinginan Keilin."

Keizly mengerutkan kening. "Kenapa? Karena mantan aku di sana?"

"Bukan hanya itu. Tapi, ini juga menjadi risiko untuk kamu. Jika kamu ketahuan, ini bisa menjadi kasus penipuan. Kamu pernah berpikir sampai sejauh itu?" Drizel memberi pertimbangan.

"Tapi, inikan keinginan terakhir Keilin. Dan, aku sudah janji."

"Kamu juga perlu mempertimbangkan kondisinya. Hanya jika itu permintaan terkahir, apa harus selalu benar?" Drizel menyentuh pipi istrinya. "Aku juga menyesal, tidak mengingatkan kamu diawal. Aku baru terpikir ini."

"Terus, aku harus bagaimana?"

"Kamu pikirkan, keputusan ada sama kamu." Drizel kemudian mendekat dan mencium kening Keizly. "Aku pergi dulu..." pamit Drizel tiba-tiba.

"Kak? Mau ke mana?" Padahal, Keizly pikir Drizel sudah akan pulang dan tinggal di rumah saja.

Drizel tidak menoleh, tapi pria itu menjawab penuh misteri.

"Mencari kebenaran, Keizly. Mencari kebenaran..." ulangnya, seperti sedang menyindir Keizly yang berusaha mencaritahu semua tentang Drizel.

Seketika lututnya melemas.

Gelas di tangannya terjatuh ke bawah.

Gelasnya pecah.

Drizel hanya berbalik saja, tersenyum tipis, penuh misteri. Sebelum akhirnya melanjutkan kembali langkahnya.

Lulut Keizly seketika melemas.

Dia membeku di tempatnya.

Drizel tahu semuanya.



-bersambung-


Terima kasih Hacin, sudah selalu mengikuti cerita ini. Jangan lupa review dan komennya yak!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AFTER DRIZZLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang