NURSE CHAPTER ONE: PARACETAMOL

135 52 27
                                    

Namaku Yeo Rumi.

Kata orang-orang, aku anak yang terlahir dengan sendok kayu di mulutku. Entah apa maksudnya, tapi aku dibilang begitu karena aku lahir dari keluarga yang miskin.

Bukan.

Aku tidak tahu definisi keluarga itu seperti apa.

Ibuku meninggalkanku sendirian saat masih kecil di dalam sebuah box yang ditaruh di dekat tong sampah. Lalu, datanglah seorang nenek yang membawaku ke rumahnya dan aku dirawat di sana sampai aku berumur empat belas tahun. Aku tidak ingat wajah ibuku dan ayahku, bahkan nama mereka saja aku tidak tahu.

Yeo Rumi, begitu nama yang diberikan nenek Mojang ketika beliau merawatku. Seorang wanita lanjut usia yang mempunyai bisnis rumah makan untuk menghidupi kebutuhannya dan aku. Walaupun sudah tua, namun nenek Mojang masih gesit layaknya wanita yang berumur 20 tahun.

Nenek Mojang tidak memiliki anak karena ada masalah di rahimnya sehingga menyebabkan ia selalu keguguran. Karena itulah saat ia melihatku di dalam box, dia memungutku dan menjadikanku sebagai anaknya. Nenek Mojang tinggal sendiri di sebuah rumah yang sempit. Suaminya sudah lama meninggal akibat suatu penyakit.

Aku dan nenek sama-sama sendiri, tapi bedanya aku sengaja ditinggalkan.

Saat umurku menginjak 8 tahun, aku mulai membantu nenek Mojang melayani pelanggan yang datang di rumah makan kami. Aku belajar memasak di umur yang masih belia. Nenek Mojang mengajariku cara memotong sayuran dan juga memotong daging. Awalnya, memang sulit hingga menyebabkan tanganku berdarah. Tapi, aku tidak berhenti belajar hanya karena itu.

Aku melakukannya karena ingin membantu nenek Mojang.

Beliau sangat menyayangiku layaknya anak sendiri. Dan aku menyayanginya seperti seorang ibu sekaligus ayah. Kami hanya tinggal berdua, tapi aku jadi bisa mengetahui apa itu definisi keluarga berkat nenek Mojang.

Keluarga itu, tempat untuk bersandar.

Nenek Mojang selalu berkata kepadaku bahwa keluarga sejati adalah keluarga yang tidak saling meninggalkan. Keluarga itu tidak harus memiliki anggota yang banyak, asalkan bisa membuat nyaman saja sudah cukup. Contohnya, aku dan nenek Mojang yang selalu berbagi kebahagiaan.

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berlangsung sementara.

Nenek Mojang meninggal di usianya yang menginjak 69 tahun, tepat saat aku berumur 14 tahun. Sebelum meninggal, nenek Mojang memang selalu sakit-sakitan dan fisiknya habis dimakan waktu.

Nenek pergi meninggalkanku, dan aku sendirian lagi. Kini tidak ada lagi keluarga. Tidak banyak orang yang datang ke pemakamannya, hanya para tetanggaku yang masih bisa dihitung jari. Aku juga tidak tahu siapa kerabat nenek Mojang, karena beliau tidak pernah menceritakan tentang keluarganya.

Aku tinggal di rumah milik nenek. Sebelum beliau pergi, nenek Mojang memberikan wasiat berupa rumahnya kepadaku meskipun aku bukanlah anak kandungnya. Sampai akhir pun nenek Mojang masih peduli kepadaku.

Lantas, aku berpikir untuk melanjutkan usaha nenek Mojang yaitu rumah makannya. Aku membeli buku menu masakan yang enak dan mempelajari dua-tiga menu baru. Seminggu setelah nenek Mojang meninggal, aku membuka rumah makannya kembali. Tapi, tidak ada yang membeli. Ada satu orang yang datang, sih, tapi hanya berniat untuk numpang makan. Lalu, aku dipukul dan dia tidak mau membayar. Akhirnya, rumah makan itu tutup karena ketidakmampuanku untuk mengurusnya.

Begitulah kehidupanku waktu kecil.

Aku yang lahir dengan sendok kayu di mulutku, akhirnya mulai mencari pekerjaan sebagai pemulung kardus. Itu pekerjaan yang paling sering dilakukan anak kecil miskin di sini. Nantinya, kardus-kardus tersebut aku tukarkan kepada orang yang disebut bos dengan uang. Satu kardusnya, aku digaji 500 rupiah. Seharinya aku bisa mendapat sekitar 100 kardus bekas. Uang hasil mengumpulkan kardus dalam sebulan cukup untuk memenuhi kebutuhanku selama dua bulan.

NURSE {HOW TO FIGHT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang