Aku tahu itu kamar Pran, dan dia berhak mengizinkan atau mengusir seseorang sesuka hatinya. Itu adalah hak nya, tapi aku merasa hatiku hancur karena Pran tidak pernah menyuruhku pergi dengan tatapan sedingin itu. Aku marah sekaligus kecewa karena Pran memilih pria itu, monyet yang selalu menempel padanya, bukan aku, yang dia kenal sejak kecil. Aku melupakan Fragrant dan kembali ke kamarku. Jaraknya hanya beberapa meter, namun rasanya seperti selamanya sebelum aku bisa memutar kenop pintu.Aku tahu aku terlalu kasar dengan bajingan itu, tapi kejengkelan yang kutahan mendorongku untuk menghajarnya hingga berkeping-keping. Aku benar-benar gak habis pikitr. Semakin aku memikirkan bagaimana Pran begitu baik padanya, semakin kuat aku ingin menghapus keberadaannya. Aku tidak peduli jika dia mati. Aku tidak peduli. Ya, memangnya ada yang peduli?
Oh...benar...orang yang peduli adalah orang yang menendangku keluar dari kamarnya beberapa menit yang lalu.
Aku sangat marah, dan aku akui aku merasa bersalah telah memukul Pran. Aku tidak menahan diri meskipun tidak bermaksud melakukannya. Dari saat kami di sekolah dasar, aku tidak pernah berpikir untuk bertarung dengan Pran dengan kekuatan penuh. Aku diliputi rasa bersalah. Pran terluka secara fisik sementara aku, secara emosional. Itu sebabnya aku pergi untuk meminta maaf kepadanya dengan tulus.
Tapi Pran tidak mau mendengarnya. "Ada apa, Pat?"
Adikku, sedang mengecat kukunya, bertanya dari kamarnya, memperhatikanku berdiri dengan wajah kosong di depan pintu kamarku. Aroma tajam tiner memenuhi ruangan. Aku biasanya akan mengeluh tentang hal itu. Tapi sekarang, meski Par mengecat kukunya di area bersama, aku rasanya tidak tega memintanya melakukannya di balkon seperti biasa.
Aku menghela nafas sekali dan melihat tinjuku, yang kupakai untuk menyakiti Pran. Rasanya aku ingin kembali ke sana untuk merengek. Hak apa yang dia miliki untuk membuatku merasa sangat tidak enak sehingga aku ingin menangis seperti ini?
"Ada apa, Pat? Apa terjadi sesuatu?"
"Aku bertengkar dengan Pran."
"Lagi." Par menghela nafas sebelum mengerutkan kening karena aku tidak membalas. "Pertarungan macam apa? Apakah selalu seperti fisik?"
"Ya, aku memukulnya, tapi dia tidak memukulku."
"Pat! Apakah Pran baik-baik saja?"
"Kamu harus pergi dan memeriksanya."
"Kenapa kamu tidak melakukannya sendiri?"
"Dia mungkin..." Aku berhenti sejenak. Aku ingin mengobati lukanya, tapi kurasa itu tidak perlu lagi. "... Tidak ingin melihat wajahku."
"Apakah dia benar-benar marah padamu? Bukankah kalian berdua sudah lama berbaikan? Apa yang membuatmu memukulnya? Plus, kamu tidak membicarakannya setelah pertarungan. Ini tidak biasa."
"Um," gumamku, menghindari pertanyaan itu. Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, tapi aku benci bajingan itu. Aku benci dia. Dan, aku tidak peduli jika apa yang kulakukan membuat Pran semakin kesal padaku.Panggil aku pecundang jika kau ingin. Perasaan posesif yang aku miliki terhadap Pran ini benar adanya.
"Kenapa kamu tidak menunggu dia tenang dulu dan mencoba lagi?"
"Persetan."
Itu adalah jawaban ku. Aku melepas baju fakultas dan melemparkannya ke tempat tidur. Aku tidak tahu kapan aku mulai merasa seperti ini. Biasanya, tidak peduli seberapa buruk pertengkaran kami dan tidak peduli seberapa marah atau tidak senangnya Pran, aku akan selalu menjadi nomor satu baginya saat kami bersama. Sesuatu tumbuh di hati ku, tidak pernah diungkapkan. Tidak perlu memberi tahu siapa pun. Sekarang saat tempat aku menyembunyikan perasaanku tidak lagi aman, perasaan yang selama ini kutekan mengancam untuk menyembur keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Buddy The Series ( Behind The Scene by After day ) Terjemahan
Teen FictionHalo ini adalah terjemahan unofficial dari novel bad buddy the series atau BTS oleh afterday, jadi buat yg memang bisa baca dalam bahasa English sebaiknya lihat di official webnya ya Dan buat teman yg ingin baca dalam bahasa indonesia silahkan dini...