Jika bisa di bilang saat ini aku tengah merasa akan menjadi daging panggang selanjutnya. Beberapa potongan barbeque itu masuk ke dalam perutku dengan nikmatnya. Aku bahkan lupa bahwa aku sedang mencoba menjalani program diet, tetapi rencana itu gagal begitu saja hanya karena daging panggang. Ingin menolak tapi rasanya terlalu sungkan.
Jam tengah menunjukkan pukul 22.30, kedua orang tua Vano bersama Maurine telah pamit pulang dari 1 jam yang lalu. Alasannya apalagi kalau bukan karena Maurine yang rewel karena mengantuk. Aku dan keluargaku memakluminya, karena Candy juga mengalaminya. Papa dan Amanda juga sudah pulang, tadi Oma menyuruh mereka menginap, tetapi aku menolak dengan alasan tak ada kamar yang nyaman untuk menampung mereka.
"Apa aku harus mengucapkan terima kasih padamu?" Tanyaku pada Amanda yang sedang merapihkan tasnya.
Amanda menoleh ke arahku dengan senyuman seperti malaikat. "Melihat kamu senang, aku tidak memerlukan ucapan seperti itu lagi." Tuturnya halus.
Aku tersenyum lirih. Berat ku katakan bahwa sebenarnya Amanda sangat baik padaku. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, sesungguhnya aku tidak pernah membenci Amanda seperti kelihatannya. Aku hanya butuh waktu untuk menerima statusnya sebagai orang yang tengah mendampingi Papa. Dan posisi itu harusnya di miliki Mamaku. Bukan Amanda ataupun wanita lain.
"Terima kasih, Ma." Ucapku tanpa sadar sambil menitikkan air mata. Amanda seperti terperangah mendengar kata yang baru ku ucapkan, wanita itu berjalan menghampiriku dengan tatapan tak percaya.
"Apa katamu tadi?" Tanyanya seperti ingin aku mengulang apa yang barusan ku ucapkan. Kedua mata Amanda terlihat berkaca-kaca.
"Thank you so much, Mama." Kataku dengan suara serak karena berusaha sekuat tenaga menahan butiran air mata yang akan tumpah ruah.
Amanda menutup mulut dengan kedua tangannya. Wanita berusia 35 tahun itu menangis dan langsung menarikku dalam pelukannya. Aku pun membalas pelukan Amanda, rasanya hangat. Papa benar, Amanda tidak seburuk yang ku kira. Ia cantik, lemah lembut serta keibuan. Pantas Papa sangat mencintainya.
"Sudah lama aku memimpikan kamu menyebutku dengan sebutan seperti itu." Kata Amanda lirih sambil mencium puncak kepalaku. Maklum, Amanda mantan model dan artist. Jadi jelas tubuhnya tinggi dan langsing. Lebih tinggi dariku.
Aku menangis haru di pelukan Amanda. Rasanya aku baru saja menumpahkan semua keluh kesah ku pada Amanda, Ibu tiriku. "Aku akan belajar menjadi seorang Mama seperti yang kamu inginkan."
"Jangan." Larangku pada Amanda.
Amanda menatapku sakartis. "Aku tidak ingin ada orang lain menggantikan posisi dan meniru sifat Mamaku. Aku lebih senang kamu jadi dirimu sendiri. Seperti ini misalnya, seperti sifatmu sendiri."
"Ya. Aku menyayangimu sama seperti aku sayang pada Candy." Tangis Amanda semakin pecah dan memelukku dengan erat.
"Ma.. Ayo kita pulang, Candy ngantuk." Celoteh Candy menggemaskan setengah mengantuk. Hingga membuat aku dan Amanda melepaskan pelukan kami.
"Sabar, Sayang." Suara Amanda yang lembut membuat Candy menghampirinya.
"Aku harus pulang. Jaga dirimu baik-baik ya." Pesan Amanda sambil mengusap lembut lenganku.
"Ya." Aku mengangguk, menuruti permintaannya.
"Kak Narra, Candy pulang dulu ya." Pamit Candy dengan wajah innocent-nya padaku. Membuat gemas saja.
Aku tersenyum. Tanganku terayun begitu saja mengelus lembut pipi chubby adik tiriku. "Kalau sudah sampai rumah telepon Kakak ya. Besok kita main lagi." Kataku ramah hingga membuatnya tersenyum senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer
Teen FictionSyahnarra hanyalah gadis lugu yang kerap kali terlibat ancaman dan suatu hal yang berbahaya. Dia mengagumi Stevano, teman satu sekolahnya yang juga menjadi vokalis band yang sedang digandrungi para remaja. Memiliki latar belakang keluarga yang kompl...