"Aku tidak tahu bagaimana caranya semua ini akan berakhir nanti, yang ku tahu, mengakhiri dengan damai adalah saat dimana keikhlasan itu datang." -Unknown
Aku dan Vano datang memberi kesaksian yang sejelas-jelasnya di kantor polisi ini sesuai permintaan pihak yang berwajib. Vano berhasil lolos dalam kasus ini karena banyak yang menjamin kebebasannya. Kata tahanan kini disandang Vano meski ia tak harus masuk ke dalam jeruji besi. Suamiku sekarang ini terlihat agak setres, mungkin efek memikirkan kasus pemfitnahan ini meski rasa bahagia selalu mendominasi setiap kali aku ingatkan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi seorang Ayah yang artinya keluarga kecil kami akan terlengkapi dengan kehadirannya replika mungil dari sifatku dan sifat Vano.
Mobil porsche abu-abu Vano kembali melaju membelah jalan ibu kota yang sedang dituruni hujan lebat ini dengan kecepatan maksimal meninggalkan kantor polisi. Rendy menelpon, mengatakan kondisi Mamaku semakin memburuk, belum ada tanda-tanda ia akan bangun dari masa komanya. Maka kami putuskan untuk menemani Mama di Rumah Sakit hari ini. Kurasakan tangan Vano menggenggam kuat jemari tanganku, mensuggest semuanya akan baik-baik saja. Dari sorot matanya aku melihat dia kelelahan, hanya karena dia tak mengatakannya tetapi aku tau bahwa Suamiku dalam keadaan yang tidak baik.
"Apa yang kamu rasakan?" Ku beranikan diri mengulangi pertanyaan ini setiap kali melihat Vano menghela nafas panjang. Aku bisa merasakan beban pikirannya meski Vano tak pernah sedikitpun bercerita.
"Aku hanya sedang merasa bahagia, sebentar lagi aku akan memiliki seorang anak darimu." Tutur Vano sambil memberikan senyum termanisnya.
"Aku tau kamu bohong." Selaku hingga membuatnya terdiam.
"Permisi." Suara bariton milik seorang laki-laki paruh baya berhasil memisahkan obrolan kami. Pak Alexis memasuki ruang kamar rawat Mamaku sambil membawa sebuah parcel buah ditangannya. Beliau tidak datang sendiri, ada Alan yang menemaninya.
"Aku turut berduka atas semua kejadian ini." Kata Pak Alexis sendu.
Aku menggeram kesal atas pernyataannya. Turut berduka? Seenaknya saja dia berbicara seperti itu. "Mamaku belum meninggal."
"Maaf, akhir-akhir ini dia memang sedang sensitif." Pak Alexis tersenyum lembut ke arah Vano. "Aku harap anda memakluminya, Istriku sedang hamil muda."
"Ya, aku mengerti. Maaf Narra, maksudku bukan seperti itu." Aku hanya melongos kesal sambil melipat tangan didepan dada namun Pak Alexis masih saja tersenyum lembut ke arahku.
Beliau meletakkan parcel buah yang dibawanya di atas meja tamu di depan sofa. "Kalian pulanglah, biar aku yang menjaga Tiarra."
"Tidak." Tolakku tegas. "Aku yang akan menjaga Mama, terima kasih untuk tawarannya." Entah kenapa aku sulit mempercayai Pak Alexis bisa menjaga Mamaku dengan baik meski statusnya adalah calon suami Mama.
"Sudahlah Narra, jangan terlalu canggung begitu. Aku tidak akan menyakiti Mamamu, Tiarra adalah calon Istriku. Lagipula ingatlah kondisimu saat ini, aku tidak ingin calon cucuku kenapa-kenapa. Kau paham?" Perkataan Pak Alexis benar adanya, aku pun baru sadar bahwa kondisiku saat ini tidak dalam seorang diri. Ada seorang makhluk kecil yang membutuhkan istirahat.
"Baiklah. Tolong jaga Mamaku ya." Semoga kepercayaanku kali ini tidak disia-siakan lagi. Aku membatin.
Anggukan kepala Pak Alexis ku balas dengan senyuman dan Vano mengucapkan terima kasih. Aku berjalan mendekati Mama yang terbaring lemah tak berdaya diatas bangsal dengan banyaknya alat medis memenuhi anggota tubuhnya. Ku usap kepala Mama dengan sayang, berharap ia akan segera bangun dan akan ku katakan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi seorang Nenek untuk anakku.
"Ayo sayang." Vano membawaku keluar dari kamar rawat Mama. Pintu tertutup, bertepatan dengan kami yang berpapasan dengan Alan, calon saudara tiriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer
Teen FictionSyahnarra hanyalah gadis lugu yang kerap kali terlibat ancaman dan suatu hal yang berbahaya. Dia mengagumi Stevano, teman satu sekolahnya yang juga menjadi vokalis band yang sedang digandrungi para remaja. Memiliki latar belakang keluarga yang kompl...