08

3.1K 208 21
                                    

.

.

Begitu sampai di hadapan Hinata, Sasuke menyeringai. "Jangan pikir kau bisa lari setelah mendesah padaku, Hinata." Hinata memandang sinis dan bingung. Apa yang atasannya lakukan di sini?

"Maaf, Tuan. Aku tidak mengerti apa yang kau katakan." Hinata menaruh earphone ke dalam tas kerjanya. Ia berdiri, hendak kembali ke halte bus di sisi barat. Rupanya tempat ramai memang lebih aman. "Mau lari lagi?" terlambat, Sasuke mencekal tangannya.

"Sudah kubilang, kau tidak bisa lari setelah mendesah padaku." Sasuke menarik pelan tangan Hinata ke arah dadanya. "Aku tidak tahu apa maksudmu."

Hinata memalingkan pandangannya. Menghindari pandangan iris segelap malam Sasuke. Bisa-bisanya ia takut Sasuke mendengar suara degupan jantungnya yang entah kenapa secara tiba-tiba malah menggila. Iya, sepertinya Hinata gila magang di perusahaan ini.

"Kau yakin tidak tahu? Minggu lalu kau bicara begini," Sasuke mendekatkan kepalanya ke sisi kepala Hinata. "Kita bicara nanti, Tuan Sa-su-keh~" berbisik di telinga Hinata.

Geli, tubuhnya serasa meremang. Hinata menggeliat sebentar. Kemudian berusaha untuk segera menarik lengannya yang dicekal. "Be-berhenti melecehkanku, Tuan!" Sasuke tersenyum miring. Ia sedikit menjauhkan diri tapi tetap berada di dekat Hinata. "Menarik." katanya. "Setelah apa yang terjadi, kurasa ini sudah bukan pelecehan lagi."

Hinata menelan ludahnya gugup. "Oke, aku akan melepaskanmu untuk sekarang. Kita lihat sampai kapan kau akan terus menghindar." Hinata menghela napas pelan. "Tapi sebelumnya, kau harus mengerti bahwa yang kau lakukan itu," Sasuke menempatkan telapak tangan Hinata di atas dada kirinya. "Sangat berefek padaku, Hinata."

Mata Hinata terbelalak. Ia bisa merasakannya. Telapak tangan kanannya bisa merasakan debaran jantung Sasuke yang sangat cepat. Dibalik wajah dingin dan menyeramkan atasannya itu, darah Sasuke benar-benar terpompa dengan heboh. Apakah... Apakah... Hinata bertanya-tanya dalam hati. Begitu pegangan Sasuke pada tangannya melonggar, ia segera pergi tanpa bicara apa-apa lagi.

.

.

Hinata menempelkan sebelah pipinya di atas meja kerja. Ia terlihat seperti mayat hidup. Kelopak mata dan mulutnya terbuka sedikit. Masih kaget dengan apa yang terjadi kemarin. Debaran jantung Sasuke itu... apa dia memang menginginkan aku sebegitunya?

Saat sedang melamun di dekat jam makan siang, gawai Hinata bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari Karin. Hinata, bisa ke basement? Ada yang ingin dibicarakan. Alis Hinata mengernyit. Tumben sekali Karin ingin menemuinya di luar kantor. Setelah menolak ajakan Matsuri dan Kiba untuk makan siang, Hinata pergi menuju basement.

"Kak Karin?" panggil Hinata. Matanya berpedar mencari sosok berambut merah. "Hinata?" sebuah panggilan muncul dari belakang. Namun, bukan perempuan berkacamata yang ditemuinya, melainkan pria bersurai pirang dengan senyuman lebar.

"Naruto senpai?" Hinata mengernyit. "Kenapa kau bisa ada di sini? Kak Karin–" ia melirik sebuah benda berbentuk persegi panjang yang memiliki gantungan manik-manik. "Kau menjebakku?!" tanya Hinata tak terima.

"Aku tidak menjebakmu, Hinata. Aku mengajakmu bertemu, melalui ponsel kakak sepupuku." koreksi Naruto. Lelaki itu berjalan mendekati Hinata. "Kenapa tidak bilang kalau kau magang di perusahaan Uchiha?" perempuan di hadapannya berjalan mundur. "Aku bisa menitipkanmu pada Kak Karin."

Naruto tersenyum sok manis –menurut Hinata. Membuat Hinata kesal melihatnya. Demi Dewa, ia benar-benar tidak ingin terlibat dengan lelaki itu lagi. "Bukankah aku sudah bilang? Jangan cari dan menghubungi aku lagi!" sentak Hinata.

Look and Lock [SasuHina x Naruto]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang