in the midst of blue rush hour.

114 8 12
                                    

KALA pantulan siluet jingga keemasan dari hamparan kaca tinggi menjulang bertubrukan dengan daun-daun rimbun bak menyembah pohon palem di antara petakannya, kala itu juga siluet mata Prana menangkap bayangan seseorang. Konon katanya, afterhour diracik dengan golden hour menjamukan nuansa sendu nan candu. Mungkin senja ini juga begitu. Harum wewangian artifisial dari pakaian yang melekat seharian beradu kasih dengan bau petrikor, pertanda daun-daunnya tidak hanya mandi bersiramkan cahaya, tetapi juga basah akan hidrogen monoksida. Maka dari itu, di atas bangku kayu yang menjorok, Prana duduk menikmati senja bersama sebatang dua batang rokok. Sebuah estetika yang penuh magis.

Prana banyak berpikir akhir-akhir ini. Entah kontemplasi, refleksi diri, pencarian sekelumit motivasi demi menjalani hari-hari. Baginya, menepi sejenak di taman balkon di tengah kawasan gedung perkantoran elit sudah menjadi tradisi. Menjadi anak penurut kadang membuatnya takut. Ketakutan yang mengantarkannya ke tindakan, lalu berujung ke penyesalan. Lebih tepatnya lagi sesal yang tidak sanggup ia utarakan.

Prana Daniswara, si konsultan kesepian yang terjebak perjodohan.

Laki-laki itu tidak betul-betul membencinya, ia hanya tidak puas menikmatinya. Berpacaran dengan Juni, anak bosnya, hanya menghapus status sendiri, tapi tak sanggup mengobati rasa sepi. Hambar.

Seolah belum cukup pusing dengan urusan pekerjaan, orang tuanya merecokinya dengan rencana pernikahan. Bak perintah wajib yang dipatuhi di rambu lalu lintas warna biru.  Prana yang merindukan masa lalu, tidak pernah menganggapnya serius dan hanya menjadi percakapan lalu. Ada masa di mana dia bahagia, dia bisa menjadi diri sendiri, dia dihargai dan dicintai, tapi itu sudah menjadi lembaran buku yang ditutup. Penyelesaian yang tanggung, masalah yang belum tuntas, dan perasaan cinta yang antara ada dan tiada, namun kini dibakar rasa sepi hingga kembali membuncah. Prana merindukan gadis itu akhir-akhir ini, semata karena hanya dia yang mengerti Prana sebaik itu. Maka ketika di detik ini Prana seolah melihat wanita yang mirip sosoknya, tubuhnya serasa dialiri tegangan listrik. Intuisinya bertaruh dari kejauhan. Bersamaan pikirannya yang berkelebat, sosok itu semakin mendekat. Tahu betul dia pasti akan cuma lewat, Prana memutuskan berhenti jadi pengamat.

"Raras."

Gadis itu menoleh dan Prana yakin ia sekilas melihat matanya melebar.

"Pra?"

Kini, Prana yakin wanita tadi adalah cerita usang di waktu lampau yang pernah mendebatnya kalau blue hour jauh lebih magis daripada golden hour. Degup jantugnya berdetak kencang.

Di dunia ini, hanya ada satu orang yang memanggil nama Prana dengan satu suku kata awal.

Kinantha Larasati. Raras. Dan gadis itu menyibakkan rambut sebahunya dengan gemulai. Sembari melesungkan pipinya, senyum bulan sabit itu melengkung. Bahunya lantas tegak, selayaknya bertemu dengan klien profesional yang kalau kita terlambat, tamat sudah riwayat. "Tidak menyangka bertemu di sini, Pra."

"Tadi sempat ragu dari jauh, ternyata benar. Sudah lama nggak ketemu ya."

Berapa persen peluang kamu bertemu mantan kekasih di kawasan mall tengah kota metropolitan? Di antara kerumunan jutaan orang yang berlalu lalang? Jawaban itu seharusnya nol persen. Itu yang dipikirkan Raras barusan. Raras memang tahu Prana bekerja di Jakarta, tapi ia tidak sekalipun berpikir akan berpapasan di gedung yang ini. Yang ia tidak sadari, peluang ini hampir mustahil. Yang ia sadari betul, ia kini sudah tidak bereaksi lagi.

"Yah, dua tahun, Pra," jawab Raras ramah, seolah tidak masalah bertahan pada basa-basi yang payah.

"Lo ada urusan apa ke sini?"

"Ngopi sama klien, sekalian kami ada malam penganugerahan di ballroom sini juga."

"Lo masih kerja di kontraktor itu?"

"Sudah pindah, Pra. Tapi masih sama-sama di Surabaya."

"Sampai kapan di Jakarta?"

Prana lanjut bertanya sembari mengangguk-angguk cepat seakan Raras sudah membuat keputusan tepat. Sebelum gadis itu sempat menjawab, Pra kepalang penasaran dan menyambar percakapan lagi, "Ras, besok ngopi yuk."

***

Raras was Prana's college crush. Tapi bukan tipe sejoli yang di mana ada Prana di situ ada Raras. Sama-sama kuliah di Jurusan Teknik dengan seabrek tugas dan paper membuat Prana baru menjalin hubungan di akhir perkuliahan. Layaknya sepasang kekasih, semua berjalan lancar dan menyenangkan, sampai Raras harus kembali ke kampung halamannya, Surabaya, dan keduanya bergelut dengan jarak.

Lambat laun, dihalangi kondisi masing-masing, mau tidak mau, kata selesai harus menemui kesepakatan. Katanya, sudah tidak ada lagi harapan yang bisa diperjuangkan.

Saat itu juga, Prana bertemu Juni, anak atasannya, yang Prana anggap rekan kerja semata. Namun karena desakan orang tua, yang menurutnya lebih terdengar mirip ultimatum dan kepentingan merger perusahaan, Prana melakoni sandiwara romansa.

Jakarta seperti terasa hidup lagi. Prana tengah meneguk americano dingin kendati Jakarta hujan malam ini. Di kedai kopi daerah Menteng, Prana bertaruh akan ajakan gila nan impulsifnya kemarin sampai ia rela datang satu jam lebih awal. Dan kalau Raras benar-benar datang, berarti dia sama-sama gila. Tapi siapa juga yang mau berjumpa lagi ketika keduanya tidak mengakhiri dengan baik? Ia masih harap-harap cemas menunggu sampai pukul sepuluh.

Mungkin Tuhan sedang memberi kesempatan untuk memperbaiki.

Ponsel Prana tiba-tiba berbunyi. Pesan masuk. Juni.

'Babe, ganti batal ketemu hari ini, aku mau cake tiramisu matcha besok di jam lunch udah ada di meja ruanganku.'

Sejurus kemudian, Prana membalas sambil menggerutu. Dipikir MOI dan kantor berdekatan?

'Aman babe, gue mampir Feel Matcha besok sebelum ngantor.'

Pesan itu dibalas terlalu cepat oleh Juni. Prana baru menangkap kata 'Gue?!' di notifikasi ketika pesan baru tiba-tiba datang menumpuknya.

'Pra, maaf aku kehujanan, kamu belum sampai kan? Sepertinya aku langsung istirahat balik ke hotel aja, besok ngejar flight subuh ke Surabaya. Catch up lain kali aja ya.'

Sebelum sempat berpikir, Prana sudah bertindak tergesa-gesa mengambil kunci mobil, mencari apotek terdekat, dan melaju ke Bandara Internasional Soekarno Hatta.

***

enam warna dasar rambu lalu lintas.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang