the catasthropic yellow of peak hour.

83 7 27
                                    

Kamu tahu arti waktu genting di jam puncak kemacetan? Segalanya tampak kuning. Sore hari menjelang senja, baik jalan Kuningan maupun Sudirman, dipenuhi lalu lintas padat merayap. Lampu kuning menyala hanya beberapa detik, tapi jeda itu kadang membuat hati manusia pelik. Otomatis mengumpat kalau tak kunjung cepat-cepat. Sungguh huru-hara yang penuh akan sumpah serapah.

Maka di situlah Prana beranjak. Ia membelokkan mobilnya ke jalan bebas hambatan menuju Cengkareng, alih-alih berkutat dengan rentetan mobil yang baru menghabiskan akhir pekan. Padahal ia punya cukup banyak waktu.

Sebetulnya, Prana tidak punya banyak waktu.

Pesan dari Raras memojokkannya pada waktu genting. Laki-laki itu tidak tahu kapan akan bertemu Raras lagi. Di jam segini, ia memutuskan bermalam di parkiran bandara. Sebuah harga yang pantas dibayar, ketika selama perjalanan ia tersadar, kenapa ia tidak pernah bahagia bersama Juni. Karena cuma Raras yang bisa mengerti Prana.

Ia bisa memulai lagi.

***

"Kamu nggak waras, Pra."

Yang barusan bukan pertanyaan, apalagi basa-basi yang ramah.

Gadis itu lalu mengomel lagi, "Kamu benar-benar nggak waras. Ngapain nyusulin ke sini?"

"Lo kurang merhatiin diri sendiri, Raras. Gue tahu persis itu makanya gue khawatir bawain obat."

Ada sekotak paracetamol, obat herbal cair untuk gejala masuk angin, dan minyak telon aroma lavendel kesukaan Raras. Persis seperti yang biasa Raras beli ketika kehujanan dadakan, tapi kali ini gadis itu tidak sempat membelinya. Jangankan mampir apotek, tidur nyenyak saja tidak sempat. Kedatangan Pra tepat guna, namun tidak tepat sasaran.

Pasalnya, Raras sudah bukan siapa-siapanya.

"Aneh banget denger kamu bicara lo-gue lagi."

"Mau balikan aja biar bisa aku-kamu?"

Mata gadis itu mendelik sewot seolah masih ada sekotak kenekatan Prana yang belum terkuak.

"Bercandaanmu nggak lucu untuk jam dua pagi."

Prana terkekeh.

"Tadi kemana saja?"

"Ketemuan sama Kyana, sepupuku. Dia curhatnya lama banget, nggak sadar aku udah telat satu jam. Eh pas mau ke stasiun malah hujan deras plus ponselku mati total. Kamu tadi belum jalan ke Menteng, kan?"

Prana spontan menggaruk kening, "Untungnya baru mau jalan. Aku khawatir aja, Ras. Kamu biasanya langsung demam kalau kehujanan dikit, mana besok Senin lagi."

"Maksudnya hari ini," ujarnya membuat Prana tersenyum kecut. Dia hanya mengernyitkan hidung. Kebiasaannya. Jemarinya menangkup gelas muk berisikan teh earl grey panas. Sejak dulu, gadis itu tidak bisa minum kopi.

Raras melanjutkan percakapan melihat laki-laki di depannya diam saja, "Aku masih nggak paham kenapa kamu harus ke sini. Nggak mungkin cuma mau anterin obat. Ada apa?"

"Akhir-akhir ini aku banyak berpikir, Ras. Apakah mungkin suatu saat aku bisa bertemu kamu lagi. Tapi Tuhan menjawab doaku cepat, sepertinya masih banyak salah paham yang bisa diperbaiki, makanya aku bisa ketemu kamu kebetulan. Aku tidak tahu kenapa dulu kita selesai begitu saja."

Raras membalas ucapan Prana begitu jeda bergaung, "Bukannya karena jarak dan keadaan ya, Pra? Kenyataan saat ini juga nggak bisa mengubah apapun."

"Sejujurnya aku kangen hubungan yang dulu, Ras."

"Dua tahun nggak ketemu nggak ada komunikasi, bisa-bisanya sekalinya datang bilang kangen. Suka bercanda emang."

"Aku menyesal, Ras. Ada banyak kesalah pahaman kecil yang membuatku berpikir ulang. Banyak yang sebenarnya bisa kita perbaiki kalau dibicarakan."

enam warna dasar rambu lalu lintas.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang