green cross.

70 8 10
                                    

Sudah dua pekan Prana tercatat mangkir, dan karena tidak ada keributan yang muncul di kotak pesan ponselnya, sepertinya karirnya belum hancur. Atau diam-diam tanpa sepengetahuannya, namanya sudah turun dari jabatan Manajer. Sudahlah, dia tidak berharap bisa berbuat banyak.

Sudah dua pekan lalu sejak ucapan Raras di Bandara Internasional Djuanda terngiang-ngiang di pikirannya. Gadis itu memang tidak menduga Prana menjemputnya malam itu setelah paginya menginjakkan kaki di rumah Kumara. Tapi, sepertinya Raras sudah menyiapkan dialog di kepalanya.

"Cukup, Pra. I forgive you, but I won't forget what you've done. Kamu ternyata nggak berubah. Inilah kenapa kita putus dua tahun lalu. Kamu nggak tegas dengan dirimu sendiri. Kamu sendiri nggak tahu apa yang kamu mau. Sudah Pra, aku lelah. Kita cukup di sini saja ya. Terima kasih Pra untuk semuanya, semoga kamu baik-baik selalu."

Raras melenggang pergi begitu saja dan detik itu, Prana sadar dia tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Prana dibentur kenyataan. Kata-kata Raras mungkin ada benarnya. Dia tidak tegas dengan dirinya sendiri, dia tidak benar-benar tahu apa yang dimau.

Alih-alih melawan perintah, Prana menuruti apa kata Ayahnya tanpa membantah. Sedari pilihan pendidikan, pekerjaan, hingga perjodohan. Prana mengikuti tanpa menyadari apa yang sudah direnggut dari dirinya. Kesadaran untuk bebas menentukan hidupnya sendiri.

Pantas saja, dia tidak pernah benar-benar bahagia selain bersama Raras.

Karena dengan Raras, dia merasa bebas.

Prana tengah duduk di sofa ruang tamu di rumah Kumara. Sewaktu sampai, Kumara sama bingungnya dengan kedatangan anak tunggalnya yang tiba-tiba.

Tidak butuh waktu lama untuk menyadari betapa bodohnya Prana lantaran kebohongan bertahun-tahun itu melandasi perasaan benci ke Ibunya sendiri. Sosok Ibu yang dia jauhi. Betapa heran Prana semakin ia menjauhi, malah ia dekat dengan Juni, yang sama miripnya. Prana tahu ia mencari pasangan yang bisa memenuhi kekosongan dari Ibunya, yang tidak dia dapatkan saat kecil. Yang Prana tidak tahu, seharusnya dia tidak menggantungkan itu ke pasangannya. Seharusnya dia menyelesaikan dirinya sendiri lebih dulu.

Dalam pelukan Kumara, Prana meminta maaf. Barangkali Kumara yang terbiasa sepi seorang diri, pada akhirnya mudah memaafkan kala anaknya tahu dia telah disalah pahami. Kumara tidak pernah meninggalkan Prana.

"Sudah mengemas barangmu, Nak?"

"Sudah, Bu," kata Prana sembari melongok kopernya di dekat vas, "ibu benar nggak apa-apa?"

"Nggak ada yang namanya mantan anak, Prana. Kamu masih anak Ibu. Kapanpun kamu butuh, Ibu akan selalu ada mendukungmu."

"Terima kasih, Bu. Aku pamit berangkat sekarang."

Sesaat ketika Prana akan berbalik, Kumara berbisik pelan, "Nak, terima kasih sudah percaya Ibu."

***

Melewati puluhan lampu hijau yang tak membunuh waktu, Prana teringat cerita getir Kumara ketika ia meninggalkan Jakarta dua puluh tahun lalu. Masalahnya melebar hingga ke desus buruk di kantor Kumara sampai menjadi surat PHK sekaligus surat cerai. Padahal, suaminya yang main di belakang. Prana yang masih berusia sembilan tahun, mulai detik itu mengurus dirinya sendiri tanpa sosok Ibu. Sebuah tanda tanya yang berujung ke rasa hampa, lalu terejawantahkan menjadi benci. Lewat obrolannya selama ini dengan Raras, lewat pengakuan masa lalu orang tuanya, lewat pemakluman yang harus ia telan, Prana menyadari tidak ada guna untuk membenci orang tua sendiri.

Kita tidak bisa memilih orang tua, namun kita bisa memilih akan menjadi orang tua seperti apa. Yah, setidaknya untuk Prana, ia bisa memperjuangkan dirinya ingin menjadi seperti apa.

"Maafkan Ayah, Nak," sapa Pratama begitu melihat Prana beberes di kamarnya. Tahu persis Ayahnya hanya akan terus menunduk, Pratama bergegas memeluk. Lalu, keduanya larut dalam obrolan begitu pindah ke meja makan.

"Juni bagaimana, Yah?"

"Dia tampak baik-baik saja di pekerjaannya. Tapi kamu tetap perlu minta maaf dengan baik-baik ke Juni dan Yanuar. Kita tetap harus bicarakan dulu ke mereka, tapi yang pasti, Ayah tidak akan memaksa perjodohan ini lagi."

"Terima kasih, Ayah. Aku minta maaf jika caraku salah dan tindakanku menyakiti banyak pihak, semata-mata hanya karena aku ingin bebas," ada suara denting piring terdengar di sela-sela, "aku yakin Ayah juga terluka, Ibu juga. Tidak ada yang ingin keluarga yang nggak utuh. Seharusnya di usiaku kini, aku bisa bicara terbuka dan diskusi dengan Ayah. Kalau belum terlambat, aku ingin memperbaiki hidupku lagi dari awal."

Pratama menyesap tehnya dalam diam, lalu berujar, "Selama ini Ayah disibukkan dengan pekerjaan dan lupa kalau kamu butuh perhatian orang tua tidak hanya dari Ibu. Maaf ya, Nak."

Prana tersenyum ringan. Tidak mudah mengatakan 'maaf' oleh Ayahnya.

"Terima kasih, Ayah. Kurasa, Ayah juga perlu meminta maaf ke seseorang."

"Siapa?"

"Ibu."

Pratama tertegun sejenak lalu mengangguk pelan, "Kamu benar tidak bahagia selama ini, bersama Ayah?"

Prana tergelak mendengar pertanyaan tiba-tiba itu.

"Bukan begitu Ayah, aku bersyukur Ayah sudah mendidik dan membesarkanku dengan baik, terutama dengan semua privilege ini. Cuma, kali ini aku ingin menjalani keputusan pilihan hidupku sendiri, aku ingin bisa merasakan bebas hanya dengan diri sendiri. Kalau Ayah berkenan, aku sangat berterima kasih karena sudah mendukungku."

"Kamu ingin melakukan apa?"

"Aku akan volunteer ke Afrika Selatan. Satu tahun. Dan akan begitu seterusnya."

Pratama mencelos membayangkan kerumitan pekerjaan Prana yang tiba-tiba mangkir, tapi jauh di lubuk hati, ada suara yang berkata, "Sebagai anakku, kamu berhak bahagia, Nak."


TAMAT.

enam warna dasar rambu lalu lintas.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang