Perusahaan Kaiswaran banyak menerima tawaran. Proyek perancangan gedung bangunan sana sini membawa Juni ke agenda-agenda meeting dengan klien tiada henti. Untuk seusianya di seperempat abad, dia berdedikasi cukup hebat dengan pekerjaannya kendati bertitel anak konglomerat. Pantang berpangku tangan, Juni berhasil menduduki posisi Manajer Teknik termuda. Kata Prana, Juni lebih dari layak. Tidak hanya sumbangsih ide desain ciamik nan strategis, di bawah pimpinannya ada banyak team leader yang memenangkan tender dari kaum borjuis. Barangkali hanya tinggal menunggu satu dua Juni memimpin proyek besar, dia sudah lebih dari mampu untuk menggantikan posisi Ayahnya.
Cantik, berwibawa, cerdas, putri tunggal Kailendra, sedari kecil hidupnya sudah terencana dan tanpa cacat. Maka ketika menyabet gelar sarjana dari kuliah Arsitektur sekaligus Manajemen Bisnis, lalu mengenyam pendidikan master di universitas bergengsi luar negeri dengan akselerasi, Juni layak dinobatkan sebagai Forbes 30 under 30 Asia.
Gulungan kertas berisikan detail engineering design konstruksi bangunan baginya adalah hiburan. Kalau tidak karena perjodohan, Juni akan tetap berkutat dengan desain-desain di akhir pekan. Makanya, berpacaran dengan Prana bukan ide buruk, meski sikap abainya akhir-akhir ini kerap membuat Juni merajuk. Pacar mana yang tiap weekend lebih memprioritaskan sahabatnya dibanding dirinya? Juni tidak habis pikir. Dengan rutinnya dinas ke luar kota dan pertemuan di kantor yang jarang, waktu yang ia punya bersama Prana hanya sebatas candaan meme twitter dan panggilan video call. Sungguh malang.
Lampu merah sedari tadi silih berganti tetapi mobil Juni seolah hanya berdiam diri. Pemandangan lanskap gedung-gedung tinggi yang berjejer buat Juni tampak membosankan karena ia sendirian. Yang menyenangkan adalah ketika bersama Prana terjebak kemacetan. Juni suka mendebat kaidah arsitektur dengan Prana yang gencar berkhotbah akan kokohnya konstruksi. Lalu keduanya mengakhiri hal itu dengan gurauan terkini.
Warna merah di depan kini menggebu lagi. Semburat yang membuat Juni teringat, merah dapat berarti peringatan. Karena jauh di timur sana, Prana bahkan tidak terlintas Juni sedetik pun. Rapalan rindu terlantun, pun, genderang perang bertalun.
***
"Pra, kok bisa nyusul ke sini?" tanya Raras keheranan begitu memasuki kedai dimsum di kawasan Jalan Tunjungan. Di Gedung Cak Durasim tadi, tiba-tiba Raras menemui Prana duduk di antara tribun yang padat.
"Adikmu ngasih tahu kamu nggak ada di rumah, jadi aku langsung ke sini. Sejak kapan kamu bisa main cello?" tanya Prana berbalik keheranan.
"Ah, cuma hobi berkedok kerja sampingan."
"Justru itu, aku nggak pernah kebayang kamu kerja di bidang musik."
Raras hanya tersenyum. Babak kehidupan baru yang terjadi tanpa Prana sulit diceritakan. Singkat cerita, Raras memilih lepas dari pekerjaan toksik dan menjadi guru musik. Di akhir pekan, kadang ia tampil di operet sampai orkestra besar-besaran.
"Lima tahun pernah pacaran sama kamu, kenapa baru sekarang aku tahu?"
"Gagal move on banget sih," ledek Raras.
"Kok baru tahu?"
Mata Raras memicing sedetik, "Mana sempat mikir hobi kalau kamu sibuk bertahan hidup? Kamu tahu sendiri kerja kontraktorku dulu kayak gimana?"
Kehidupan tak tahu juntrung. Gaji yang ditahan atasan, laporan bulanan tipuan, rekan kerja rawan rasis gender, penggelapan dana bantuan, sampai pungutan liar dari antek yang mengaku ormas. Apa dampaknya bagi Raras? Prana tahu betul gadis itu lebih baik gaji mepet UMR tapi kerjaan cocok, daripada gaji dua digit tapi mental bobrok.
"Ras, kalau ikut aku kerja di Jakarta, mau nggak?"
"Nggak mau," balas Raras singkat sambil mengunyah dimsum udang, "kerja apa aku di Jakarta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
enam warna dasar rambu lalu lintas.
RomancePrana Daniswara, si konsultan kesepian yang terjebak perjodohan. Kinantha Larasati, si katalis yang bagi Prana, lebih dari sekedar magis. Juni Keinesha, satu-satunya pewaris perusahaan Kaiswaran, yang tindak-tanduknya tanpa keraguan. Di tengah praha...