Rintik air hujan datang perlahan menggantikan posisi matahari yang nyaris tenggelam. Padahal tinggal menunggu waktu sebentar lagi, hanya sebentar agar matahari menuntaskan tugasnya. Tapi rupanya mendung beserta hujannya tidak sabar menyapa bumi, untuk ke sekian kali dalam satu hari.
Entah keberanian dari mana, sesosok remaja laki-laki keluar dari persembunyiannya. Nyaris satu jam dia berada di bak sampah cukup besar untuk melindungi diri dari serangan dan ancaman remaja lain. Kakinya bahkan terasa lemas dan langsung terduduk di tepi jalan, beberapa langkah menjauh dari tempat sampah. Merasa perutnya begitu mual, dia langsung memuntahkan semuanya meski sekedar air saja, bahkan sampai tidak ada apa-apa.
Dia menunduk, meremat perutnya yang terasa nyeri sebab mendapatkan tendangan beberapa kali. Dia kini tidak bisa membedakan hujan dengan air matanya sendiri, sebab keduanya sama-sama menciptakan rasa sakit di hati.
Remaja itu semakin merunduk dalam kala beberapa orang datang bukan untuk menolongnya, tapi justru merekam dengan asumsi masing-masing. Sayup-sayup terdengar di antara hujan yang semakin deras, beberapa mengatakan dia merupakan salah satu pelaku tawuran.
“Udah ih biarin aja, biar kapok. Bocah sekarang kok pada sok jago, suka cari simpati pula.”
Sakit ketika mendengarnya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia kesulitan untuk berdiri, bahkan tangannya terasa mulai kebas.
“Ya Allah ... sakit.”
Setelah menarik napas panjang dan meyakinkan diri, dia mencoba mendongak. Menatap orang-orang di bawah payung masing-masing yang masih sibuk merekamnya. Dia menutup wajahnya dengan sebelah tangan, meski terasa gemetar.
“Mau sampai kapan lo caper sama orang lain? Mau jadi artis lo?”
Suara berat tapi sedikit keras itu membuatnya menurunkan tangan , melihat sosok yang begitu dikenalnya dengan baik berdiri menghalangi orang-orang untuk menyorotnya.
“Dev? Dev, gue mau pergi tapi nggak bisa jalan. Kram.”
“Emangnya sejak kapan lo bisa ngatasi masalah sendiri? Lo selalu nyusahin orang lain.”
Meski mengeluarkan kalimat-kalimat pedas, Dev langsung bertindak mengangkat tubuh temannya. Ghandy Manggala. Dia sedikit merasa keberatan sebab tubuh Ghandy tidak jauh beda dengan dirinya. Hanya perbedaan di kekuatan dan sedikit tinggi badan.
“Nggak ada yang sudi nolongin lo kecuali gue.”
Dev membawa Ghandy ke mobilnya, ekspresi wajahnya tidak berubah.
“Makasih, Dev.”
“Udah berapa kali gue bilang, jangan jadi manusia lemah. Lawan siapapun yang berani nyentuh lo, jangan mauan jadi orang.”
Sepanjang perjalanan hanya diisi dengan keluhan Dev yang terus mengulang-ulang kalimat serupa. Dia melirik Ghandy yang masih saja menunduk, “Lo ngelihatin apa di bawah? Lihat ke depan, jangan nunduk terus.”
Dev mencengkeram kemudi, mematikan AC mobil dan memilih mengabaikan Ghandy yang mulai terisak di sebelahnya. Dia menatap ke luar jendela, meski hujan melanda, tapi jejak-jejak peristiwa mengerikan sebelumnya masih tersisa. Balok kayu, batu, dan sepertinya pasir-pasir menyebar ke jalan raya.
Kedua tangan Ghandy saling bertautan di antara kakinya, pandangannya masih ke bawah. Dia tentu juga menginginkan kebebasan, ingin melawan, tapi entah kenapa ketakutannya lebih dulu datang. Dia bahkan sampai merasa tidak bisa melakukan apa-apa dan membiarkan orang lain bertindak seenaknya terhadapnya.
“Dev, apa mati aja ya?”
“Ngomong lagi, gue yang bakal mukulin lo.”
Ghandy terkekeh meski napasnya masih tersendat sebab sehabis menangis, “Lo kenapa jadi banyak ngomong tapi galak gini sih? Dulu perasaan lo lebih milih diem.”
“Semua manusia itu berubah, kecuali lo.”
“Dihina mulu gue.” Ghandy mendesis kala perutnya kembali terasa nyeri, dia meremat perutnya kuat.
Tapi dibandingkan mengatakannya pada Dev, Ghandy memilih bersandar dengan nyaman dan memejamkan mata.segala hal terasa melelahkan akhir-akhir ini, terlebih beberapa orang sepertinya terus ingin mengganggunya.
***
Setelah menunaikan ibadah salat maghrib, Ghandy duduk di kursi belajar. Wajahnya terlihat pucat dan sedikit kedinginan, padahal tadi dia merasa tubuhnya baik-baik saja ketika sampai rumah. Dia mengambil selemar kertas berwarna beserta bolpoin, menuliskan segala hal perasaannya di sana. Sesekali dia berhenti ketika jantungnya terasa berdebar sebab mengingat hal-hal cukup menyakitkan.
Dari semua baris kalimat yang ditulis, dia terus mengulang membaca kalimat terakhir. Remaja itu terkekeh miris.
Kenapa aku tidak memiliki keberanian?
Dia melipat kertas berwarna itu membentuk pesawat, menempelkannya pada papan dinding bersama pesawat kertas yang sudah lebih dulu berada di sana. Ghandy tersenyum lebar, perasaannya membaik ketika sudah melakukan hal tersebut. Ada berbagai jenis pesawat kertas berwarna di sana, tersusun acak tapi masih terlihat rapi.
Dan inilah awal mula kisah baru Ghandy dimulai.
.
.
.
TBCHALOOOOOO!!!!! SIAPA YANG NUNGGUIN GHANDY????
Jadi bagian ini sengaja pendek dulu, wkwk. Buat awal-awal.
Say hi again to Ghandy dan lainnya
Lucuk lucuk lucuk
12-03-2023
Ruang Sembunyi 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghandy and His Story
Teen FictionBagaimana jika harapan untuk hidup lebih baik justru berbalik? Ghandy tidak pernah membayangkan dia akan kembali merasakan ketakutan terhadap orang-orang yang bertindak seenaknya terhadap dirinya. Tapi yang jauh lebih menyebalkan adalah dirinya sen...