Ghandy selalu membenci momen di mana pelajaran tidak berlangsung. Anggap saja dia aneh, sebab momen ini selalu dimanfaatkan anak-anak untuk bersikap semau mereka. Mereka akan berkumpul dengan circle masing-masing, bermain uno, bermain gitar, atau membicarakan topik-topik terbaru. Salah satunya tentang dirinya, samar-samar dia mendengar mereka menyebut namanya dengan sesekali melirik.
Remaja itu menghela napas, menatap luar jendela yang langsung menampilkan lapangan basket. Ada mereka di sana. Sontak, Ghandy mengalihkan pandang. Dev entah berada di mana, sudah sejak pelajaran pertama, anak itu tidak ada di tempatnya.
Tiba-tiba jeritan anak-anak perempuan terdengar, menghindar dari kaca jendela yang pecah. Ghandy beranjak, menjauhi kepingan kaca yang sampai ke mejanya. Beruntung, dia tidak mendapatkan luka.
“Ada apaan sih?”
“Ada yang ribut!”
Seruan-seruan terdengar saling bersahutan. Ghandy penasaran, dia melangkah keluar di mana sudah ada kerumunan. Benar, ada yang adu jotos di tengah lapangan basket. Awalnya Ghandy tidak menyadari siapa, sebab kalah tinggi dengan lainnya.
“Dev!?”
Mata Ghandy membelalak, terkejut. Dia berusaha untuk menembus kerumunan, berdiri paling depan. Dari tempatnya sekarang, dia melihat jelas bagaimana Dev dan Dewa saling serang. Tidak ada yang mengalah di antara mereka, pun tidak ada sorot kedamaian antar keduanya.
Ghandy menatap sekitar. Anak-anak lain seolah tidak berniat untuk memisahkan mereka, justru menjadikan ini sebagai taruhan. Termasuk kakak kelas yang berada di lantai atas, mereka hanya menonton.
Remaja itu ingin mendekat untuk memisahkan keduanya, tapi dia tidak memiliki keberanian. Tubuhnya bereaksi, apa yang dia lihat sekarang seolah beradu dengan hal-hal yang dia alami selama ini. Terlebih di sana ada Dewa, sorot serupa yang dia temukan saat remaja itu memukulnya.
Kedua tangannya gemetar, kakinya terasa lemas, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ghandy mengalihkan pandang, memejamkan mata. Berlari menjauhi lapangan untuk menuju ruang BK. Dia tidak tahu apakah masih ada guru berada di sana saat rapat dilaksanakan di gedung sebelah.
“Ayo bertindah, jangan lemah.”
Ghandy bergumam, masih terus berlari. “PAK ADAM!”
Sosok yang merasa terpanggil berbalik. Sorot matanya berubah, tidak ada kehangatan di sana. Meski demikian, Ghandy tetap berharap guru Bk-nya tersebut mau membantu.
“Pak!”
“Ada apa?”
“Ada yang berantem di lapangan. Tolongin temen saya, Pak!”
Ghandy menatap Pak Adam penuh harap, memegang salah satu tangannya yang langsung ditepis. Pak Adam berlari bersama Ghandy di belakangnya, kembali ke lapangan.
“Apa-apaan ini? Berhenti kalian berdua!”
Melihat Dewa dan Dev seperti tidak ingin menyudahi pertengkaran mereka, Pak Adam yang memang memiliki kekuatan besar menarik kerah seragam Dev. Dewa langsung ditahan oleh Bima dan Danang. Kondisinya jauh lebih berantakan, napasnya putus-putus.
“Apa yang kalian lakukan?”
Pak Adam menatap keduanya nyalang, berusaha menyadarkan. Kerumunan sontak dibubarkan oleh satpam yang baru datang. Ghandy bersembunyi di balik pilar, melihat bagaimana mereka bertiga hanya saling pandang. Pak Adam tidak mengatakan apa-apa, meminta keduanya kembali ke kelas masing-masing.
Sontak hal ini membuat Ghandy mengernyit. Pak Adam akan selalu bertindak tegas pada anak-anak yang melakukan pelanggaran atau membuat keributan. Mengapa jika bersangkutan dengan Dewa dan sekutunya, Pak Adam hanya diam saja?
***
Ghandy melihat ke sekitar, menghela napas. Sudah satu jam dia berada di rumah makan tempat biasa bertemu dengan ayahnya. Mereka bukan terlihat seperti sepasang ayah dan anak, melainkan partner bisnis. Bertemu di tempat umum, lalu kembali ke tempat masing-masing. Ghandy menertawakan dirinya sendiri.
Melihat banyaknya orang datang silih berganti, bersama pasangan, keluarga, atau teman. Ghandy rasanya tidak memiliki semuanya. Dia tidak memiliki siapa-siapa untuk bisa dijadikan label tersebut.
“Ayah lama ...”
Setelah menunggu terlalu lama, Ghandy memutuskan untuk meninggalkan tempat. Berjalan tanpa tentu arah bersama dinginnya angin malam. Dia tersenyum sumir, menarik napas dalam. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk tetap hidup, untuk tetap menganggap dunia masih baik padanya.
“Buat apa berharap sama Ayah?”
Ghandy kecewa, jelas. Dia bahkan tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan perasaannya sekarang. Kendaraan yang berlalu lalang melewatinya seolah-olah tengah meledek, mereka bisa bersama orang terkasihnya, sedangkan Ghandy? Siapa yang akan lama bersamanya?
“Halo, Ma?” sapa Ghandy kala panggilan telepon dia terima tiba-tiba.
“Kok rame banget? Kamu lagi di luar?”
Ghandy tersenyum tipis, “Iya. Mama kenapa telfon?”
“Enggak pa-pa, niatnya Mama mau mampir, tapi kayaknya kamu capek banget ya? Mama, Abang, sama ayah kamu habis makan di luar. Eh Mama keinget kamu.”
Rasanya Ghandy ingin tertawa sekarang, “Iya, nanti sampai kos juga mau langsung tidur.”
Tanpa menunggu balasan, Ghandy memilih memutus telepon langsung. Dia menghentikan langkah di jembatan, bersandar. Ghandy berbalik, menatap derasnya laju sungai di bawah sana. Memantulkan lampu-lampu jalan di atasnya.
“Kalau mau bunuh diri, jangan di sini. Mereka yang nyoba selalu gagal.”
Ghandy menoleh tajam, “Siapa yang mau bunuh diri?”
“Ya elo? Masa gue?”
Kening Ghandy mengerut, kesal, “Kayak pernah lihat lo atau kita pernah ketemu?”
“Kita sekost, anjing.”
“Biasa aja, nggak usah anjing-anjingan.”
“Makanya kalau jalan jangan nunduk mulu, bergaul sama orang lain, nggak semua orang sama kayak yang lo pikirin.”
Ghandy melirik sinis, “Emangnya lo tahu apa yang gue pikirin?”
“Gue? Gue tahu semuanya. Lo selalu takut sama orang-orang, kenapa lo biasa aja sama gue? Lo nggak takut kalau gue ngelakuin hal serupa?”
Ghandy tertawa, “Gue baru inget kita satu kost. Lo nggak mungkin bully gue padahal tiap hari nangisin kucing lo yang hilang itu.”
“Bangsat!”
“Makasih.”
“Buat?”
“Kalau lo nggak ada di sini, mungkin gue beneran bakal lompat.” Ghandy berkata dengan santai, menyobek kecil-kecil kertas yang dia dapat dari saku.
“Bukan karena gue, tapi karena lo masih takut.”
Tawanya terdengar meledek, membuat Ghandy membuang napas kasar. Dia kembali mengarahkan pandangan ke sungai. Dulu, dia melihat jembatan begitu menyeramkan. Dia tidak ingin berada di dekat tempat-tempat seperti sekarang.
“Nggak ada yang bisa ngerubah hidup lo kecuali lo sendiri. Semua hal yang kita hadapi di dunia ini, kita sendiri yang bertanggung jawab, bukan orang lain. Hidup tuh nggak mudah, Di. Tapi bukan berarti lo pasrah sama semuanya, lo harus perjuangin apapun yang ada dalam hidup lo.”
Ghandy tertawa. Dia merasa aneh dengan panggilan yang dia dengar sekarang, tapi ketika dia menoleh, dia tidak lagi menemukan orang itu di sana.
“Dia nggak beneran hantu kan?”
.
.
.
TBC13-07-2023
Ruang Sembunyi 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghandy and His Story
Teen FictionBagaimana jika harapan untuk hidup lebih baik justru berbalik? Ghandy tidak pernah membayangkan dia akan kembali merasakan ketakutan terhadap orang-orang yang bertindak seenaknya terhadap dirinya. Tapi yang jauh lebih menyebalkan adalah dirinya sen...