Tiada yang Meminta Seperti Ini

118 27 1
                                    

Semakin lama, Ghandy berpikir bahwa dia semakin jauh dengan orang rumah. Semakin sering dia mencuri-curi waktu untuk datang ke rumah Ibu, menceritakan segala hal yang terjadi. Jika saja Ibu masih ada, mungkin dia akan menangisi ratapan Ghandy. Aneh, dulu Ghandy membenci perasaan tidak dianggap seperti sekarang. Namun, kini dia tidak merasakan hal serupa. Dia bersikap biasa saja, meski keluarganya sering melupakan keberadaannya.

Ghandy menatap jemarinya yang dibalut perban. Perih masih dia rasakan, tapi dibanding rasa sakit di tangannya, dia jauh merasa hampa. Baju seragamnya berantakan, bahkan terdapat noda tanah basah sebab baru saja hujan.

“Ini pasti susah nyucinya.”

Setelah berulang kali menghela napas panjang, melampiaskan rasa lelah. Ghandy beranjak dari taman sekolah, berniat untuk kembali ke kosan. Remaja itu tersenyum tipis merasakan seseorang tengah mengintainya, tapi dia tidak menoleh.

Semakin cepat langkahnya, semakin jelas dia dengar derap langkah mengikutinya.

“Lo mau ke mana?”

“Ngapain ngikutin gue?”

“Gue nggak ngikutin?”

Ghandy memperhatikan penampilan Dev dari ujung kepala sampai ujung kaki. Meski Dev baru saja terlibat pergulatan, dia jauh lebih rapi dibanding penampilannya sekarang.

“Ngapain ngeliatin gue gitu?”

“Nggak usah segitunya belain gue. Lo sendiri yang bilang kalau gue lemah, kenapa masih lo bela?”

“Siapa yang bela lo?”

Ghandy memilih melanjutkan langkahnya yang sedikit terseok. Selama ini, tubuhnya terlalu banyak menerima luka. Bukannya semakin ketakutan, dia justru merasa semakin menganggap semua hal itu biasa. Dia sudah membuat laporan, tapi tidak pernah ada tanggapan. Beberapa siswa di sekolahnya juga diam-diam melakukan hal serupa, tapi tidak menghasilkan apa-apa.

“Nggak mau pindah?”

“Urus aja diri lo sendiri, Dev. Jangan sia-siain kepintaran lo. Jalanin hidup lo, masuk dalam kehidupan gue cuman bikin lo sengsara.”

Dev menghentikan langkah Ghandy, “Kenapa mikir gitu?”

“Gue nggak mau berharap sama siapa-siapa. Capek.”

Langkah Ghandy semakin cepat, mengabaikan Dev yang mematung di tempatnya semula. Dia pikir, dia akan mengatasi semuanya sendirian. Meski dilanda ketakutan dan gagal melakukan perlawanan, setidaknya dia tidak menyeret siapapun dalam kehidupannya. Sudah cukup. Dia tidak ingin berhutang budi pada siapapun.

Ghandy terhenti di depan banner besar depan gedung sekolahnya. Terdapat daftar siswa-siswi berprestasi. Remaja itu tertawa ketika menemukan nama Bima dan antek-anteknya. Apa yang bisa mereka lakukan selain merisaknya?

“Lawak banget emang dunia. Makin hari makin gila.”

Tidak ada yang namanya keadilan di dunia ini. Itulah yang selalu Ghandy percaya. Tapi dia tidak pernah menduga, di antara ketidakadilan itu, mereka yang semalam nyaris menghancurkan tubuhnya justru dipuja mereka yang tidak mengetahui apa-apa.

“Hidup kenapa nggak adil banget sih? Bangsat!!”

Dia berdecak mendengar dan melihat orang-orang tertawa bebas. Tawa itu terdengar seperti meledek baginya, seolah seisi bumi tengah menjatuhkan dunianya. Ke dua tangannya yang gemetar dia sembunyikan di balik badan kala tidak sengaja bertatapan dengan Dewa. Entah sejak kapan remaja itu ada di sana, Ghandy berharap tidak semenjak dia mencaci maki Dewa.

Senyum picik yang Dewa tunjukkan benar-benar layaknya psikopat yang akan menguliti setiap lawannya. Dewa tidak pernah bisa terkalahkan oleh siapapun. Dewa berbahaya. Ghandy tahu. Ada banyak pihak yang berada di sisi Dewa sehingga remaja itu merasa bebas melakukan apapun yang disuka.

Hanya dengan tatapan tersebut, Ghandy dibuat gelisah. Bayang-bayang pukulan dan hinaan melekat di kepalanya. Dia tahu dia lemah, tapi dia tidak pernah berpikir akan mengalami fase seperti sekarang. Entah kebahagiaan apa yang Tuhan janjikan untuknya.

“Seneng lo ada yang bela?”

Ghandy semakin merunduk, meneguk ludah sebab tenggorokannya terasa kering. Sepatu hitam legam milik Dewa seakan siap menginjak-injak dirinya.

“Gue nggak pernah minta dibela siapapun.”

Dewa tertawa, menatap sekitar, “Oh iya? Banci lo! Takut lo sama gue?”

Tawa Dewa benar-benar terdengar menyebalkan. Wajahnya masih babak belur, tapi tidak memudarkan ambisi untuk menginjak-injak orang lain. Entah, Ghandy merasa Dewa semakin menggila.

Tiba-tiba kakinya ditendang hingga Ghandy terjatuh. Tidak memberi kesempatan untuk Ghandy mengaduh, Dewa menginjak pergelangan kakinya. Ghandy menjerit, berusaha menyingkirkan kaki Dewa yang semakin kuat. Remaja itu menatap ke sekitar. Sepi. Tidak ada siapapun di sana.

“Sssh ... sakit, Wa.”

“Apa peduli gue? Gue suka.”

Ghandy memejamkan mata kuat, terbaring, tidak peduli seragamnya yang kotor. Sudut matanya mengeluarkan air mata, bukti kesakitan yang dirasa.

“Gue benci lo. Gue benci orang lemah. Gue benci lo yang nggak bisa apa-apa.”

Ghandy menatap mata Dewa, menghela napas kala Dewa menghentikan aksinya. Dia terkekeh, meski harus memalingkan muka karena enggan bersitatap terlalu lama dengan Dewa.

“Gue juga benci diri gue sendiri.”

“Makanya ... kenapa nggak mati?”

“Apa untungnya buat lo?”

“Makhluk menyedihkan kayak lo nggak pantes buat hidup.”

Setelah mengatakannya, Dewa tertawa. Kedua tangan Ghandy mengepal kuat meski sedikit gemetar, berteriak menyuarakan rasa sakitnya. Bukan hanya perkara sakit di pergelangan kaki, melainkan hatinya. Tidak seharusnya dia termakan dengan kalimat busuk Dewa.

“Kenapa? Sakit hati? Bagus.”

“Berhenti,” lirih Ghandy menunduk. Dia mengusap punggungnya yang sempat bersentuhan dengan tanah.
Kaki Ghandy benar-benar terasa sakit, dia hanya mampu duduk untuk saat ini. Sedangkan Dewa seolah tidak berhenti menghancurkan mentalnya.

“Lo nggak disayang ya sama keluarga lo? Nggak dianggep? Nggak berguna sih, cuman jadi beban doang. Berantem nggak bisa, pinter juga enggak, lemah.”

“Berisik.”

Dewa mengerutkan kening tidak suka. Dia berjongkok di samping Ghandy dan menunjuk kepala Ghandy, “Lemah. Lo lemah. Nggak guna. Beban.”

Ghandy sontak menatap mata Dewa. Dia tersentak, di balik gurat amarah dari raut wajah Dewa, Ghandy melihat hal baru. Mata Dewa berkaca-kaca, ada sesuatu yang jauh berbeda dengan yang dia tahu sekarang.

“Puas lo ngehina gue?”

“Belum. Gue nggak akan berhenti. Selama lo hidup, gue nggak akan pernah berhenti ngusik hidup lo.”

Setelahnya, Dewa berlalu. Meninggalkan Ghandy yang terdiam. Dia tidak salah lihat kan? Dia melihat sepasang mata itu penuh luka, seperti cermin baginya.

“Dia jadiin gue pelampiasan?”

Ghandy tertawa, menghapus jejak air mata sebab kakinya benar-benar terasa sakit. Ada banyak luka di sana. Injakan Dewa meninggalkan memar, namun yang Ghandy baru sadari, bagian tubuhnya yang tertutup sepatu, baju sudah terlalu banyak memar.

“Capek ...”

Ada seseorang yang langsung berlalu, meninggalkan pohon yang sejak tadi menjadi tempatnya bersembunyi. Dia melihat semuanya. Semuanya.

.
.
.
TBC

Hai

03-05-2024
Ruang Sembunyi 💚

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ghandy and His Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang