“Ngapain diem di situ?”
Bukan hal yang mengejutkan jika Ghandy tiba-tiba berada di rumah lama yang tidak berpenghuni, tapi tetap terawat. Dia tidak melakukan apa-apa, masuk sebentar lalu kembali keluar untuk diam di teras. Segala ingatan terputar tanpa diminta, membuatnya tersenyum, tertawa, terkadang pula menangis. Lalu tidak lama terdiam, menghela napas panjang, dan meninggalkan tempat.
Tapi kali ini, bahkan untuk beberapa jam, Ghandy masih berada di sana. Asen yang baru saja pulang dari organisasi pun membelokkan motor ke pekarangan rumah Ghandy, terdiam sebentar kala adzan isya berkumandang.
“Ditanya kok nggak dijawab, lupa sama temen sendiri?”
Asen duduk di samping Ghandy, memperhatikan gurat wajah remaja itu dari samping. Meski usia mereka hanya terpaut satu tahun, Asen masih sering merasa gemas. Dia cubit pipi Ghandy hingga membuatnya tersentak.
“Sen! Apaan deh.”
“Songong, mentang-mentang sekarang tinggal di kota.”
Kening Ghandy berkerut tidak suka, dia benar-benar merasa jengkel, “Diem.”
“Biasanya juga cerewet. Kenapa setelah tinggal sama ayah kamu, sekarang jadi kayak gini? Sensian.” Asen tidak mengada-ada, dia memang menyadari perubahan sifat dan sikap Ghandy meski mereka jarang bertemu. Dia tidak suka Ghandy yang sekarang, lebih sering melamun dan seperti tidak ada tujuan hidup.
“Badan kamu luka-luka lagi? Kenapa?”
“Nggak pa-pa,” sahut Ghandy lantas membuang napas kasar, menoleh guna melihat penampilan Asen yang nyatanya tidak banyak berubah. Ah, apa sebenarnya yang Ghandy harapkan jika mereka belum sampai belasan tahun terpisah?
“Lawan rasa takut kamu.”
“Bisa buat nggak bahas itu?”
Asen menoleh kaku, tertawa ringan, “Ayo ke mushola! Kamu nggak kangen sama temen-temen?”
Mata Ghandy berbinar. Dia nyaris melupakan teman-temannya di mushola, tempatnya mengaji dan jalanan yang selalu diselingi tawa serta candaan. Dia tiba-tiba ingin mengulang itu semua. Lantas uluran tangan Asen langsung dia terima, berlarian agar tidak ketinggalan jamaah.
“Sen! Sen Sen Sen Sen Sen!”
Baru saja keluar dari pekarangan mushola, Ghandy terus berbisik memanggil Asen.
“Apa?”
“Tadi lihat bapak-bapak yang di depan aku nggak? Masa sarungnya mau lepas terus dipegangin,” ujar Ghandy membeberkan apa yang bikin dia salah fokus sejak tadi, “Untung pakai celana pendek, tapi gambar spiderman. Kamu pakai celana spiderman juga?”
Sontak Asen memegangi sarungnya sendiri, dia hanya was-was jika Ghandy benar-benar memeriksanya. Melirik Ghandy sinis lantas berjalan lebih cepat.
“Bener ya?” tanya Ghandy setengah menggoda kala menyusul langkah Asen.
“Nggak. Sok tahu.”
“Masa? Nanti tanya mama kamu lah, jangan-jangan satu lemari isinya celana spiderman. Atau kamu punya kostum spiderman?” Ghandy kini menuding Asen dengan berjalan mundur di hadapan Asen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghandy and His Story
Teen FictionBagaimana jika harapan untuk hidup lebih baik justru berbalik? Ghandy tidak pernah membayangkan dia akan kembali merasakan ketakutan terhadap orang-orang yang bertindak seenaknya terhadap dirinya. Tapi yang jauh lebih menyebalkan adalah dirinya sen...