Hilang, Ghandy. Jangan Kembali

249 42 1
                                    

Percayalah. Di setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Dan di setiap kemudahan, juga akan menemukan kesulitan. Semua tergantung bagaimana cara kita melihat, menghadapi, dan menjalani. Hidup itu seimbang.—

Hidup itu seimbang. Ghandy mencoba mempercayainya. Di antara rasa sakit yang dia dapatkan pagi ini, sekali lagi dia melihat hasil kerja kerasnya diinjak-injak, dirusak, dan dilempar jauh. Bima, Danang, dan Dewa. Tiga remaja itu meluapkan emosi mereka dengan merusak hidup orang lain.

“Lo denger, besok-besok kalau kerja itu yang bener.” Danang meraih dagu Ghandy, sengaja menekannya dengan kuku hingga Ghandy meringis, perih. Wajahnya terlihat memerah dengan keringat menetes dari wajahnya.

“Besok-besok, kita kasih hukuman aja kalau kerjaannya nggak bener.” Dewa menarik tubuh Danang kasar, menatap Ghandy yang masih berbaring lantas terkekeh. Tawanya menguar, semakin lama semakin keras.

“Lemah,” lanjutnya. Seragam Dewa terlihat lebih rapi dibanding dua temannya yang lain, kaos hitam selalu dijadikan sebagai dalaman. Sudah sering kali mendapat teguran, tapi Dewa enggan untuk mengganti warna lain atau melepasnya.

Danang kembali mendekat hanya untuk menendang tubuhnya sekali lagi. Mereka lantas keluar gudang, meninggalkan Ghandy begitu saja. Tanpa pertanggungjawaban, sudah biasa. Di tempatnya, Ghandy meringis. Dia berusaha untuk duduk, menautkan jemarinya yang gemetar.

“Tenang, Andy ... tenang.”

Bibir Ghandy bergetar, terus bergumam guna menenangkan dirinya sendiri. Dia terlihat berantakan, dasinya hilang, sabuknya menggantung di leher sebab sehabis dipakai untuk memukulnya. Bahkan untuk menopang sabuk tersebut, lehernya terasa berat sekali.

Lagi, dia kalah. Bukan oleh mereka yang bertindak semena-mena, melainkan dia sendiri.

“Bodoh!”

Tepat saat Ghandy menyalahkan diri, pintu gudang terbuka. Pak Adam. Terlihat tidak terkejut, guru BK itu mendekat. Langkahnya yang terdengar seirama selalu menjadi lagu penutup dari cerita panjang yang dia lalui sebelumnya.

“Pak?”

“Pak ... Bapak lihat sendiri, kan? Bantu saya.”

Suara Ghandy terdengar putus asa, lirih bahkan nyaris berbisik. Habis sudah suaranya dia pakai berteriak dan menangis. Pak Adam lagi-lagi diam, memasangkan sabuk setelah merapikan seragam Ghandy.

“Gimana cara saya lepas dari mereka?”

“Hilang.”

Hanya satu kata itu yang terdengar, Pak Adam keluar. Ghandy dengan sisa tenaga yang dipunya, mengikuti langkah Pak Adam. Memasuki lorong yang ramai, Ghandy menunduk. Banyak pasang mata melihat ke arahnya, memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seolah tengah memindai kacaunya penampilannya.

“Dia ngapain lagi sih sampai digituin Danang?”

“Kotor banget.”

“Kalau gue yang dibully tiap hari, gue bakal pindah sih.”

“Cari muka itu, biar dikasihani. Najis.”

“Cowok kok lemah.”

Berbagai cibiran dia dengar sepanjang perjalanan menuju kelas. Dia tidak menunduk, melainkan menatap kosong tubuh tegap Pak Adam di depannya. Langkahnya yang masih tertatih dia paksakan untuk melangkah lebih cepat.

“AFIAN BALIKIN SEPATU GUE!”

Baru ada di depan kelas, dia sudah mendengar keributan di dalamnya. Ghandy tersenyum tipis, sudah hapal dengan oknum yang selalu bertengkar.

“Ambil sendiri, itu nggak tinggi, lo aja yang pendek.”

“AFIAAAAAN!”

Hantaman sepatu lain berhasil memukul punggung Afian yang langsung disusul pekikan, juga tawa keras dari pelaku. Gia atau orang lebih sering memanggilnya Jia. Cewek blasteran Jepang yang katanya tidak suka makanan berbau goreng-gorengan.

“Ghandy, tolong ambilin sepatu gue.”

Ya, sudah dapat ditebak. Satu-satunya orang yang tidak akan membantah ketika disuruh atau dimintai tolong. Ghandy mengangguk, menaiki meja dengan perlahan untuk mengambil sepatu pantofel hitam dengan hak cukup tinggi.

“Ck, Ghandy nggak asik.” Afian jelas terlihat kecewa, menatap Ghandy sengit.

“Diem lo! Makasih Ghandy, lo selalu baik deh.”

Ghandy tidak membalas, memilih duduk di samping Dev yang sibuk dengan dunianya sendiri di ponsel. Cowok itu selalu mengenakan earphone, mengabaikan siapa saja di sekitarnya. Tak terkecuali Ghandy yang dengan sengaja mencabut satu sisi earphone dan memakainya.

“Gue baru tau lo suka dengerin lagu Lomba Sihir,” bisik Ghandy dengan senyuman lebar. Meski diabaikan, dia tidak peduli.

“Dev, lo nggak mau nanyain kabar gue gitu? Kenapa gue nggak masuk kelas dari tadi, kenapa nggak ada guru yang nyariin gue pas keluar, kena—“

“Mata gue masih berfungsi buat lihat keadaan lo,” potong Dev kembali menjelajahi media sosial.

Mungkinkah terlalu nyaman
Mungkin takut perubahan
Jika suatu saat nanti
Aku kan mati di sini
Belantara kejam ini

“Telah tuntas mencuri hatiku,” gumam Ghandy mengikuti irama lagu. Dia terkekeh, lantas memperhatikan mejanya yang penuh dengan coretan-coretan. Banyak jenis ejekan tertulis di sana, bahkan beberapa disampaikan dengan bahasa kasar.

“Makin hari makin parah aja.” Ghandy menahan napas sebelum membuang napas kasar, “Kapan ya ini berakhir.”

“Jangan diem. Jangan jadi cupu.”

Ghandy menoleh, menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya-tanya, “Lo sekalinya ngomong cuman buat ngatain gue ya? Apa bedanya lo sama mereka.”

“Mau sekeras apapun gue melawan, gue bakal tetep kalah, gue bakal tetep salah. Semua hal akan berpihak pada mereka yang berkuasa.”

Semua hal akan berpihak pada mereka yang berkuasa.

Kalimat itu seolah menggantikan musik yang terdengar di telinga Dev, dia balas tatapan Ghandy dengan sorot mata tajam, “Hati-hati kalau ngomong.”

Di dalam UKS, satu jam setelah jam pelajaran selesai, Ghandy masih berada di sana untuk mengobati kakinya. Dia tidak tahan dengan rasa perih yang mendera. Sesekali Ghandy memekik ketika rasa sakit mengejutkannya.

Dev berada di luar, memandang dari kejauhan. Tidak berani mendekat, tidak ingin ketahuan. Sudah satu jam pula dia berada di sana, melihat bagaimana bibir Ghandy menggerutu kesal. Tidak ada yang berubah dari Ghandy, yang berubah hanyalah dirinya. Dia yang juga tidak memiliki keberanian lebih. Dia yang tidak bisa membantu apa-apa.

Remaja itu mendongak, menatap langit yang akhir-akhir ini seperti tidak menentu. Terkadang mendung tapi tidak hujan, terkadang cerah tiba-tiba hujan deras. Kali ini mendungnya lebih pekat, membawa Dev tanpa sadar mendekat. Tapi belum sampai ke ruang UKS, seseorang menghadangnya lebih dulu.

“Ayo! Ada yang mau gue omongin sama lo.”

Dev tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, hanya mengikuti langkah remaja lainnya yang baru saja menemuinya. Menaiki tangga, menuju rooftop. Tempat yang jarang dijamah warga sekolah sebab banyak sekali barang-barang tidak berguna ada di sana. Menjadi sampah dalam bentuk yang lebih besar.

“Apa yang sebenarnya kalian mau dari Ghandy? Kalian nggak sadar sudah keterlaluan?”

Sosok yang semula menatap ke bawah pun berbalik, memandang remeh Dev dengan kepulan asap keluar dari mulutnya, “Kalau gue bertindak lebih dari ini, lo mau ngapain?”

“Jangan pernah macem-macem, Danang!”

“Husst!” Danang berdecak, membuang puntung rokok dan menginjaknya kuat, “Gue nggak ada masalah apa-apa sama dia.”

“Terus kenapa lo kayak gini?”

“Karena gue suka.”

.
.
.
TBC

Sebenarnya aku agak pusing dengan real life yang cukup melelahkan, tapi aku nggak bisa juga buat jauh-jauh dari nulis, nulis, nulis.

I hope you enjoy for this part

29-03-2023
Ruang Sembunyi 💚

Ghandy and His Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang