Hal yang paling Ghandy benci ketika belajar bela diri adalah tubuhnya terasa pegal-pegal sepanjang hari. Mungkin orang mengatakan dia hanya belum terbiasa, tapi dia sudah melakukannya lebih dari dua bulan. Meski harus terpaksa karena ancaman dari Evano, ditambah Dev yang sepertinya sudah bersekutu dengan abangnya itu.
Remaja itu mematikan kompor, mengamati asap mengepul dari air yang baru dia panaskan. Ini sudah tengah malam, sudah waktunya untuk tidur, tapi Ghandy belum menyelesaikan tugas-tugas dari tiga orang menyebalkan. Bima, Danang, dan Dewa.
Ghandy mencebik, melirik ponsel yang terus saja berdering.
“Berisik.”
“Dev? Lo ngapaian cuman pakai celana gitu?”
“Ya menurut lo? Panas-panas gini, gue harus makai jubah gitu?”
Ghandy tertawa, “Kemajuan. Ngelawak?”
Alis Dev menukik, tatapannya menghunus tajam, meski ditelisik lebih dalam, sama sekali tidak terlihat menyeramkan. Badan Dev jelas terlihat lebih bagus, selain mencintai olahraga sejak kecil, dia juga menjaga pola makannya dengan baik. Kekuatannya tidak bisa diremehkan.
Tidak mendapatkan respon baik, Ghandy kembali merunduk. Dia takut jika Dev sedang dalam emosi tidak baik, lantas melampiaskan kepadanya. Dia kembali sibuk dengan kopi yang akhir-akhir ini ia sukai.
Sedangkan Dev sibuk dengan pikirannya sendiri, memperhatikan setiap pergerakan Ghandy. Dia tidak tahu mengapa harus menaruh peduli pada sosok yang dia anggap lemah itu. Dia tidak tahu mengapa akhir-akhir ini selalu mencari tahu keadaan Ghandy.
“Danang bukan orang yang mudah dilawan, hati-hati sama dia.”
Ghandy menoleh, “Gue nggak pernah ngelawan, lo tahu itu. Kalaupun bisa, pasti udah gue lakuin dari lama.”
“Karena lo bego. Lo lemah, makanya mereka mudah memperdaya lo.”
Kedua tangan Ghandy mengepal di samping tubuh, napasnya memburu. Merasa tersinggung dengan kalimat Dev, sayangnya apa yang Dev katakan memang benar.
“Emang paling bener lo diem aja, Dev.”
“Gue cuma—“
“Cuman apa? Gue bingung sama sikap lo, kadang gue pikir lo sama kayak mereka, kadang gue pikir lo emang ada di pihak gue.”
Dev terkekeh, “Gue nggak mihak siapa-siapa. Bukan urusan gue juga.”
Setelah itu Dev berlalu, meninggalkan Ghandy yang langsung membuang napas kasar. Tanpa sengaja dia menyenggol panci yang digunakan untuk memasak air, hingga air panas itu tumah mengenai kakinya. Ghandy merunduk, menggerakkan jemarinya kakinya lantas berlalu ke kamar. Dia jelas merasakan panas dan perih yang menyatu, tapi Ghandy tidak menganggapnya serius.
Dia tidak tahu bagaimana cara mengobati luka-luka di tubuhnya, entah itu fisik maupun batin. Miris. Bahkan ketika dia mencoba untuk kembali menulis sesuatu di kertas berwarna, Ghandy tidak lagi menyukainya.
“Kalau aja ada Ibu ...”
Ghandy bergumam, beranjak menuju jendela kamar. Dia buka tirai, melihat gemerlap lampu dari rumah-rumah lainnya. Melihat keramaian di jalan raya. Di situasi seperti sekarang, Ghandy bertanya-tanya. Apa yang orang-orang lakukan hingga harus berada di perjalanan tengah malam? Apakah mereka sama seperti ayah? Sosok yang bekerja tidak kenal waktu. Apa yang sebenarnya mereka kejar?
Remaja itu meringis ketika baru merasakan perih di jemari kaki, mencoba menggapai tepian kasur untuk duduk. Dia pandangi kulit kaki yang memerah, lantas beralih pada beberapa titik lain yang merupakan bekas luka.
“Udah sebanyak ini ternyata.”
Belum satu tahun Ghandy menjejaki dunia SMA, tapi rasanya dia sudah mendapatkan perlakuan buruk lebih banyak dari hari yang dia punya di sana. Dia sudah mendapatkan lebih banyak problematika sebelum menjejaki dewasa.
Remaja itu menghela napas panjang, memilih mengabaikan lukanya dan berbaring di kasur. Sorot matanya menatap langit-langit kamar, lantas memejam yang hanya berujung membawanya pada potongan-potongan kejadian tak mengenakkan.
Dering ponsel mengalihkan perhatian Ghandy. Remaja itu menyipit pada layar ponsel yang menyala dari kegelapan kamar. Tangannya berusaha menggapai ponsel dengan sedikit kesusahan.
“Pak Abdul?”
Masih ingatkah dengan guru SMP Ghandy yang merupakan kakak kandung Dev? Entah sejak kapan Ghandy lebih senang memanggilnya Abdul yang merupakan bagian dari namanya. Alfarizqi Abdul.
“Kenapa, Pak?”
“Assalamualaikum. Kamu nggak ada niatan salam?”
Ghandy menghela napas, “Waalaikumsalam. Ada apa ya, Pak?”
“Adik saya ngambek.”
Terdengar suara frustasi dari seberang membuat Ghandy mengernyit heran, “Maksudnya Dev, Pak Abdul? Orang itu bisa ngambek?”
“Iya. Bantuin saya.”
“Males, orangnya marah-marah terus.”
“Marahin balik lah. Nggak berani ya kamu?”
Mendengar ejekan Pak Abdul membuat Ghandy berdecak, meski dalam hati membenarkan. Dia pikir memiliki saudara seperti Pak Abdul akan sangat menyenangkan. Dalam situasi sekarang, dia membandingkannya dengan Evano. Mereka adalah dua orang yang sangat berbeda, bertolak belakang.
“Pak Abdul nggak mau nuker Dev dengan saya? Saya baik loh, Pak.”
Abdul jelas tertawa, “Kamu udah bener jadi adiknya Evano aja.”
“KOK BAPAK KENAL?”
***
“Wih? Pincang lo? Masa iya belum diapa-apain udah gini?”
Bima dengan badan sangat besar itu menghadang langkah Ghandy. Di belakangnya ada Dewa dan Danang, sorot mata mereka terlihat seperti siap membunuh Ghandy kapan saja.
“Mana tugas kita?”
“Ini yang terakhir,” lirih Ghandy mengambil buku mereka dari dalam tas. Dia tidak menatap mereka, sekalipun menyadari Dewa mendekatinya. Bahu Ghandy didorong kuat.
“Ngomong apa lo barusan?”
“Gue nggak mau lagi—“
Belum sempat Ghandy melanjutkan kalimat, Dewa sudah lebih dulu menendang kaki kirinya. Sontak Ghandy menjerit, rasa sakit akibat terkena tumpahan air panas semalam bertambah berkali lipat.
Beberapa pasang mata melihat mereka, sebagian mengerumuni, sebagian memilih tidak peduli. Mereka jelas tidak ingin berurusan dengan tiga orang problematik itu.
“Gitu doang sakit? Cewek lu?”
Ghandy meringis, mencoba untuk berdiri. Dia mendongak kala posisinya masih duduk, mereka terlihat jauh lebih besar dan menyeramkan. Ghandy merasa kecil di sini, terlebih tawa di sekitar seakan menyudutkannya.
“Sepulang sekolah datang ke sanggar,” final Danang mengajak dua rekannya menjauh. Langkah mereka terhenti ketika Dev berdiri tepat di depan Danang.
“Nggak capek cari masalah terus?”
Danang tertawa, “Kenapa? Lo mau gantiin dia? Enggak kan?”
“Lo bahkan nggak sanggup ngelawan gue,” ujar Dev dengan tatapan meremehkan, pandangannya beralih ke Bima, “Modal badan gede doang juga nggak akan sebanding.”
“Kurang ajar!”
Dewa menghadang Bima yang hendak menyerang Dev, menghela napas kasar. Dari jauh, Ghandy melihat mereka. Dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi untuk pertama kali, Dev membelanya secara terang-terangan. Dia berjalan tertatih, membawa tas dalam rangkulan.
“Inget itu baik-baik.”
Hanya itu yang Ghandy dengar dari Dewa, membiarkan Dev sendirian tanpa bereaksi apa-apa. Pandangan keduanya bertemu.
“Lo nggak perlu bersikap kayak gini buat gue.”
“Jangan kepedean.”
Kalimat pedas yang keluar dari bibir Dev tidak membuat Ghandy marah, remaja itu justru tersenyum. Menatap punggung Dev yang menjauh.
“Bener kata abang lo, lo itu masih anak-anak.”.
.
.
TBCTARAAAAAAAAAA
Aku ngetik ini lagi ngantuk-ngantuknya sampai bolak-balik typo
04-07-2023
Ruang Sembunyi 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghandy and His Story
Teen FictionBagaimana jika harapan untuk hidup lebih baik justru berbalik? Ghandy tidak pernah membayangkan dia akan kembali merasakan ketakutan terhadap orang-orang yang bertindak seenaknya terhadap dirinya. Tapi yang jauh lebih menyebalkan adalah dirinya sen...