Si Pengecut

269 42 1
                                    

Semakin malam, beberapa lampu kamar dimatikan, tapi tidak dengan lampu kamar Ghandy. Lampu utama masih menyala terang, sedangkan sosoknya sudah terkantuk-kantuk duduk di lantai. Matanya terlihat memerah dan dia sesekali menguap, mengusap ujung matanya yang berair. Sudah larut malam tapi Ghandy belum juga menyelesaikan tugasnya untuk esok hari. Ini salahnya, sebab dialah yang menyanggupi akan mengerjakan bagian power point.

“Di SMA nggak ada joki tugas kah?”

Ghandy bersandar pada sisi kasur, dia pijat pangkal hidungnya bak seorang profesional yang sedang dipusingkan pekerjaan. Tapi, sungguh, tugas sekolah juga bagian terberat hidupnya. Ghandy bahkan pernah berpikir untuk tidak bersekolah saja, atau masuk ke SMK dimana pendidikannya akan berbeda dengan sekolahnya sekarang. Dia butuh hal baru, sayangnya jiwanya terikat pada masa lalu.

Beberapa saat Ghandy terdiam, tertawa lirih untuk menertawakan pemikirannya. Semakin lama, tawanya semakin keras hingga pukulan di dinding dari kamar sebelah menghentikannya. Ghandy menatap tiga tumpuk buku di atas meja, jelas itu bukan miliknya.

“Bisa-bisanya gue ngomong gitu disaat gue sendiri yang ngejokiin tugas orang, nggak ada imbalan pula. Bodoh.”

Tatapan Ghandy beralih pada figura foto di samping tumpukan buku itu, tersenyum sendu. Ada banyak kalimat perandaian yang harus segera dia tepis sekarang, dia tidak suka jika perasaannya memburuk disaat tugas belum terselesaikan.

Remaja itu meraih ponsel, mematikan mode pesawat dan menemukan banyak notifikasi masuk. Tepat saat dia membuka aplikasi WhatsApp, satu panggilan masuk. Dia berdecak, mendiamkannya beberapa saat sebelum menerima.

“Ketahuan kan, ngapain jam segini belum tidur? Nonton porno ya?”

“Kalau mau suuzon bismillah dulu, nggak salam pula.”

Satu hal yang baru Ghandy sadari, Evano itu sumbu pendek. Dia mudah sekali terpancing emosi, sama seperti Ayah. Ghandy tersenyum tipis, semakin lama dia semakin sadar bahwa dirinya hanyalah orang asing. Apa yang dia katakan waktu itu benar adanya, Ayah jauh lebih dekat dan mirip dengan Evano, dibanding dirinya.

Ya lagian jam segini kok masih online, siapa yang memperbudak kamu sekarang?”

“Nggak ada.” Ghandy menjawab dengan singkat, ingin segera menyudahi topik sebab tahu ujungnya akan seperti apa.

“Abang kan udah daftarin kamu ke pelatihan bela diri, kenapa nggak dateng terus? Kamu ini jangan mau diinjak orang lain, lawan. Laki-laki harus bisa jaga diri, harus lebih berani. Malu sama gender.”

“Nggak semua hal harus diselesaikan dengan perkelahian, Bang.”

“Halah, sampah banget omongan kamu. Mereka juga mulainya dengan kekerasan kan? Abang nggak mau denger hal kayak gini terulang lagi. Coba tadi kalau Dev nggak telfon Abang, kamu bakal diem aja kan?”

Telfon dimatikan sepihak oleh Ghandy, kembali dia nyalakan mode pesawat. Dia lempar benda pipih itu ke kasur yang sayangnya justru mengenai tepi kasur berbahan kayu.

“Orang lain nggak akan tahu rasanya sebelum ngalamin.” Ghandy bergumam lirih lantas terkekeh miris, tiba-tiba sorot matanya menajam dan menoleh pada dinding yang terhubung dengan kamar sebelah.

Ghandy beranjak dan keluar kamar dengan langkah menggebu-gebu, bahkan langkahnya terdengar di lorong gelap itu. Tangannya terhenti di udara tepat ketika akan mengetuk pintu, dia menggigit ujung jarinya cemas. Sejujurnya dia sedikit takut dengan Dev yang semakin hari semakin sulit dipahami.

Belum sempat mengetuk pintu, pintu tersebut terbuka terlebih dahulu. Dev tidak terkejut menemukan Ghandy di depan pintu kamarnya, dia hanya menghela napas panjang dan memberi jalan Ghandy untuk masuk ke dalam. Dia tutup kembali pintu itu dan bersandar di sana, memperhatikan Ghandy yang hanya duduk di kasur dengan kaki yang diayunkan.

“Kenapa lo selalu laporan ke Abang gue?”

“Lo bego.”

Ghandy menoleh dengan mata melotot yang tidak ada seram-seramnya, justru terlihat persis seperti bocil gang beberapa tahun lalu. Ah, Dev jadi de javu.

“Lo bisa nggak sehari nggak usah ngatain gue?”

“Itu fakta.”

Langkah Dev berlalu menuju laci di dalam lemarinya, dia ambil sebuah kotak berisi obat-obatan. Dia lempar tepat mengenai punggung Ghandy sebuah salep, “Buat luka di kaki lo. Besok mau pakai apa kalau sepatu lo hilang?”

“Pinjem sepatu lo lah sampai Abang beliin  baru. Gue tahu, lo juga laporan kan dimana aja luka-luka gue.”

“Nyusahin.”

“Makasih.” Ghandy berkata lirih, dia tatap kakinya yang memang terdapat beberapa bekas luka, bagian jemari lebih parah sebab tadi berlari tanpa alas kaki. Dia kembali mendongak, memperhatikan Dev yang sepertinya berusaha menyibukkan diri.

“Gue pengen jadi lo deh, bisa segalanya.”

Pergerakan Dev terhenti, menghela napas panjang, “Nggak usah mikir aneh-aneh, balik sana! Gue mau tidur.”

“Halah, paling lo juga main game kan?” Ghandy beranjak, tidak ingin mengganggu Dev terlalu lama. Tepat saat di ambang pintu yang sudah terbuka, dia berbicara, “Kenapa di sekolah lo bersikap seolah nggak kenal sama gue? Malu ya? Sorry, gue terlalu pengecut.”

***

Di atas bukit yang menampilkan padatnya permukiman, seseorang menghembuskan napas dengan kepulan asap yang keluar dari mulutnya. Di tangan kanannya, terdapat satu puntung rokok yang ujungnya masih terlihat merah. Tatapannya menyorot bimbang, ada banyak hal rumit yang tengah dipikirkan.

Dia menoleh ketika mendengar suara langkah kaki beradu dengan rerumputan, sesekali terdengar decakan. Seseorang dengan pakaian tidak rapi berdiri tepat di sebelahnya, mengecap permen tusuk yang dia rasakan.

“Lo udah bikin perjanjian kan? Setelah ini, gue bakal bertindak terang-terangan. Gue udah bosen main diem-diem, gue mau tantangan. Jadi pastiin semua itu lo selesaiin dengan gue sebagai pemenangnya.”

Kurang ajar. Itulah definisi yang dapat menggambarkan sosok yang berusia jauh lebih muda itu pada seseorang berpakaian nyentrik di sebelahnya. Dia terlihat tertawa, menepuk keras pundak yang lebih tua.

“Kenapa diem aja? Lo udah dibayar mahal ya anjrit, teges dong.”

Remaja itu tersentak ketika yang dia dapatkan justru tatapan tajam, “Santai elah. Lo sanggup kan? Kalau enggak ya lo tahu aja apa yang bakal terjadi.”

“Mana sopan santun kamu?”

Remaja itu menyemburkan tawanya, tertawa keras hingga berlutut, “Lo mau gue sopan sama lo? Idih, jangan banyak protes jadi babu. Toh lo juga nerima kan?”

“Kalian mengancam saya.”

“Itu tandanya lo nggak berdaya sama kita. Husst! Diem, cukup turuti apa yang gue mau. Nggak usah banyak ngomong, gue nggak suka.”

Yang lebih muda sedikit berjinjit untuk berbisik, “Semua ada dalam genggaman gue, lo cuman alat. Gue bisa buang lo kapan aja.”

Setelahnya dia langsung meninggalkan tempat dengan berbagai umpatan, membuat yang masih diam di sana menghela napas. Ekspresi wajahnya tidak berubah, dia buang sisa rokok dan dia injak berkali-kali. Sosok itu lantas meludah.

“Manusia-manusia gila.”

.
.
.
TBC

Show your expression for this chapter, haha.

Siapa yang paling menyebalkan di sini?

Btw, entar sore kalau nggak malem aku juga bakal up Tipu Diri😘

14-03-2023
Ruang Sembunyi 💚

Ghandy and His Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang