Dari dulu, gue tahu bahwa perasaan yang gue punya untuk Cakra nggak akan pernah tersampaikan, apalagi sampai terbalaskan. Dan seharusnya gue bisa berhenti, tapi gue baru aja sadar kalau gue mengikatnya terlalu erat, sampai gue lupa bagaimana cara melepasnya.
Gue tahu, Cakra nggak pernah menganggap gue lebih dari sekedar seorang rekan kelas. Tapi dengan sengajanya, gue menganggap dia lebih dari itu. Bagi gue, dia bukan sekedar ketua kelas yang mudah di ajak duduk untuk rapat membicarakan masalah. Dia lebih dari itu di mata gue.
Cakra itu keren, pinter, ganteng dan masih banyak lagi plusnya! Tapi satu alasan yang bikin gue tetep stuck di Cakra; dia tipikal orang yang tenang. Laki-laki itu selalu punya seribu cara buat menghadapi masalah. Serumit itu, serancu apapun masalahnya, dia bisa menyelesaikannya tanpa keluar tenaga yang banyak. Terakhir kali gue ingat, dia pernah punya masalah sama Pak Saskara karena Cakra menolak ajakan beliau untuk ikut turnamen basket tinggal kabupaten. Tapi pada akhirnya, gue melihat Cakra duduk berdua dengan Pak Saskara. Bicaranya santai, tapi akhirnya keduanya akur kembali karena Cakra punya alasan untuk menolak ajakan dari beliau.
Acara classmeeting sudah sepenuhnya selesai. Tapi menjelang pukul 3 sore, gue masih berada tepi lapangan. Duduk di bawah rindangnya pohon mangga sambil meluruskan kaki. Sementara di depan sana, berjarak beberapa meter dari gue, gue melihat Cakra. Duduk di depan komputer sambil di kelilingi anggota OSIS bagian sound system.
Gue tahu, Cakra capek. Kelihatan dari cara duduknya yang nggak lagi tegak seperti tadi. Wajahnya lesu, sementara rambutnya yang lepek menutupi sebagian keningnya. Tapi anehnya, dia masih bisa ketawa sama yang lain. Tawanya keras, sampai di tempat gue duduk, gue bisa denger gimana kerasnya di ketawa.
"Jangan di lihatin mulu. Kalau bisa tuh langsung ngomong aja."
Gue mendongak, lalu menemukan Adi yang berdiri di depan gue dengan mengulurkan sebotol minuman dingin. "Nih, ambil. Di minum tuh, bukan di lihatin."
Kemudian dia terkekeh, dan gue tersenyum kecil. Tanpa kata, gue mengambil botol minum dari tangannya. "Thanks, ya."
"Hmm. Btw, orang galau tuh juga butuh minum, kan nggak lucu kalau lo tiba-tiba dehidrasi gegara lihat crush yang nggak peka-peka."
"Gue curiga, Di. Jangan-jangan lo kasih minuman ini sianida, ya?"
"Lo nggak usah ngadi-ngadi deh, Jo. Boro-boro beli sianida, uang jajan aja masih di tanggung sama emak. Mana tega uang itu gue buat maksiat." Adi terkekeh sekali lagi, kemudian mendudukkan diri, di samping gue.
Pada akhirnya, gue tertawa. "Iya juga sih. Nanti nama lo di coret dari KK lagi kalau lo berani ngelakuin itu."
Laki-laki di samping gue ini tertawa. Kemudian, gue mulai melihat dia membuka botolnya dan meneguknya beberapa kali. Akhirnya, karena gue sangsi kikuk sendirian, gue mencoba bmembuka tutup botol ini, meski nggak bisa.
"Nggak bisa buka?"
"Hng?" Gue menoleh cepat, dan cukup gelagapan begitu melihat Adi yang malah ketawa ringan. "Iya, licin soalnya tangan gue."
"Sini, gue bantu." lalu gue mengulurkan minuman ini kepadanya tanpa banyak berkata. Nggak lama setelahnya, dia mengembalikannya ke gue lagi. "Makasih, ya."
"Makasih mulu deh perasaan. Sekali-kali traktir kek, biar lo ada manfaat-manfaatnya jadi temen gue." cibirnya, sedangkan gue hanya berdecak kesal di sampingnya.
"Ck! Iya, iya. Tapi jangan banyak-banyak. Entar gue lagi yang repot."
"Niat nggak sih? Pelit amat jadi temen, lu."
"Biarin, lah."
"Hmm. Y besar deh."
Setelah itu nggak ada percakapan lagi. Kami sama-sama saling memutuskan untuk nggak bicara. Adi sibuk dengan pikirannya, dan gue sibuk dengan patah hati gue sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEREIN
Roman pour Adolescents"Nggak papa, Cak. Sekalipun gue tau bahwa akhirnya kayak gini, gue nggak pernah menyesal karena udah bilang ini ke lo." Kata gue, ketika melihat punggung Cakra semakin menjauh.