Langkah-langkah penuh semangat penuhi universitas yang sudah berdiri sejak tahun1957, universitas impian dimata masyarakat. Canda tawa dari mahasiswa baru yang masih rasakan euforia lolosnya mereka ke universitas ini berbanding terbalik dengan mahasiswa tua yang berjalan pun terasa enggan, kantong mata menghitam dengan penampilan seadanya.
Anne meringis melihat pemandangan itu, apakah dirinya juga akan menjadi seperti itu nantinya? Memikirkannya membuat Anne bergidik. Di sebelah Anne, Liana sibuk berkomentar perihal penampilan mahasiswa lain, rata-rata ia cemooh karena terkesan aneh.
"Diam, Lia, belum tentu penampilanmu sudah paling baik di antara yang lain!" tegur Anne yang mulai muak dengan komentar Liana.
Liana meringis sembari mengacungkan dua jari yang membentuk lambang damai, "Maaf."
Anne mengangguk sembari tersenyum kecil, merangkul lengan Liana dan memasuki lift untuk membawanya ke lantai empat sebab ruang kelas mereka kali ini di lantai empat ruang nomor 112. Keduanya berhasil satu kelas setelah bersaing dengan mahasiswa lain kala pengisian kartu rencana studi.
Masuk ke ruang perkuliahan, Anne menatap kelas yang sudah penuh meski perkuliahan masih dimulai 30 menit lagi, "Apa ini yang dinamakan semangat juang?"
Liana mengangguk bertepatan duduknya mereka di kursi paling pojok, "Begitulah, aku sering dengar memang saat masih Maba mereka cenderung rajin, tapi lama kelamaan akan sebaliknya."
Anne tertawa kecil mendengar jawaban Liana, "Aku setuju dan kita pun sepertinya juga akan begitu."
"Lia?" panggil Anne.
Liana yang hendak menyantap sarapan sebab belum sempat lantas ia tunda karena Anne terlihat ragu, "Ada apa?"
"Bagaimana dengan Jordan?"
Alis kanan Liana terangkat mendengar pertanyaan Anne, "Maksudmu pertemuan kita tadi malam?"
Anne mengangguk, "Kenapa tiba-tiba Jordan mengajakmu bertemu?"
Liana menggeleng sembari membuka kembali kotak makannya, "Tidak ada yang penting, hanya obrolan perkenalan sambil minum kopi."
"Lia, jika kamu harus memilih, mana yang akan kamu pilih antara Jordan dengan Tama?"
Liana melirik Anne sebab diberi pilihan secata tiba-tiba, "Aku pilih kamu."
Anne mendengus kesal, "Aku serius, Liana!"
"Maka biarkan aku sarapan, Anne, aku lapar!" Liana sedikit merengek sebab perutnya tidak dapat berkompromi, membuat Anne membiarkannya sarapan dan berhenti mengajak Liana untuk mengobrol.
Anne mengeluarkan penyuara telinga berkabel dari dalam tas, menancapkannya ke ponsel untuknya dengarkan lagu. Ketika nada demi nada didengar olehnya, ia menutup matanya seakan menghindari sibuknya ruang perkuliahan dengan perkenalan dan candaan mahasiswa baru. Sebenarnya Anne ingin berkenalan dengan yang lain sebab semua asing baginya, kecuali Liana, hanya saja Anne malas melakukannya, biarlah ia lakukan nanti.
Menit demi menit berlalu hingga datangnya seorang dosen membuat Anne melepas earphone yang bertengger di telinganya. Sama seperti yang lain, Anne duduk dengan benar sebab ini hari pertamanya, setidaknya ia harus membangun kesan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
MÉMOIRE
FanfictionEntah bagaimana ceritanya, entah bagaimana prosesnya, akhir-akhir ini aku menyetujui bahwa aku tak lagi mampu memberikan cintaku pada orang baru sebab cintaku habis dimasa lalu.