Track| 05 revertere in domum suam
Kembali pulang
Sesampainya kami di mall terbesar ke-empat di Indonesia yang berada di Jl. M.H. Thamrin No.1, Kota Jakarta pusat, kami langsung bergegas menuju Cultural, Great and Vital atau yang biasanya dikenal dengan CGV.
Kenapa kami bergegas? sebab si ganteng tapi gagap teknologi, Oldi a.k.a Aven mengusulkan dirinya untuk memesan tiket. Berakhir lah kami berlari-lari sepanjang koridor mall jakarta ini.
Lelaki bermata hijau zamrud itu memesan tiket film yang akan ditayangkan 15 menit setelah dipesan, sedangkan jarak rumah dengan mall membutuhkan waktu 20 menit. Bisa dibayangkan bagaimana kami mengejar waktu seperti kesetanan hingga kami dapat tepat waktu memasuki studio.
"Ingetin gue buat nolak tawaran Aven buat mesen sesuatu yang online!" Evan dan Aldo mengacungkan kedua jempolnya sembari mengatur napas di kursinya, sedangkan Aven hanya duduk anteng dengan wajah tanpa dosanya.
Film marvel yang berlangsung selama 2 jam 29 menit itu kami tonton dengan tenang, terutama Aldo yang memang pengikut marvel sejak lama.
Setelah satu jam pertama film dimulai, aku merasakan ada tangan hangat yang perlahan menggenggam tanganku. Tangan Evan. Ku biarkan jemari panjangnya perlahan-lahan mendekap erat jemariku yang terlihat mungil jika dibanding dengan miliknya.
Aku ralat kalimat barusan, mereka yang menonton dengan tenang. Bukan aku. Jantungku berdegup kencang, seperti saat berdiri di sebelah pengeras suara acara pernikahan kerabat dekatku tempo hari.
Evan terlihat sangat santai saat mengenggam tanganku, bahkan ia menghadiahkan beberapa remasan kecil yang seirama dengan backsound film-nya. "Lu ga suka ya, sama filmnya?"
Aku mengalihkan pandanganku dari layar lebar di depan sana, kudapati Evan sedang menatapku. Menunggu-ku menjawab pertanyaannya barusan. "Ah? suka suka aja kok, cuman gue gak begitu ngikutin marvel. Sedikit gak paham hehe."
Evan menunduk-kan kepalanya sedikit, mempermudahkan dirinya untuk berbisik ditelingaku.
Evan menjelaskan maksud demi maksud dari sisa film yang kami tonton itu. Akhirnya aku tidak sia-sia menonton film itu, walau dengan jantung yang berdetak tidak normal selagi mendengarkan kalimat demi kalimat yang Evan keluarkan tepat ditelingaku.
-Farfalla Deformata-
Pukul 14.30 kami keluar dari studio. Begitu aku menjejakkan langkah pertamaku, netra mataku bersitatap dengan dua gadis lain yang kebetulan juga sedang keluar dari studio lain. "Lona?!" jerit gadis bule itu.
"Hah? siapa?!" Tanya ku yang terbawa panik akibat lengkingan suaranya. Evan yang kebetulan berada di sebelah-ku terkekeh pelan. Ia mengenalkan ku akan mereka.
Yap. Mereka Athena dan Aelwen. Seingatku Gadis ABG itu memang meminta izin untuk tidak hadir di jamuan rumahku pagi ini.
"Oh my! Kamu cantik banget Athena-" aku memeluk gadis blonde yang saat ini memakai gaun putih dengan motif bunga-bunga ia pun balas memeluk-ku, paduan wangi Grapefruit, Green Notes, Raspberry, dan Pear dengan sopan memasuki rongga hidungku.
Athena memang gadis feminim yang senang memakai parfum dan gaun. Aku masih ingat saat di Rotterdam sepuluh tahun lalu, ia tidak mau keluar dari kamar mandi bila belum menyemprotkan tubuhnya dengan parfum.
"-dan Aelwen! Ck dari dulu memang sudah anggun ya kamu!" kali ini aku beralih memeluk Aelwen, gadis brunette dengan balutan baju casual yang senada dengan milik Aven. Aku mulai mencium bau-bau asmara diantara keduanya.
Setelah sapa-menyapa itu, kami memutuskan untuk mencari makan siang di salah satu restoran sushi yang kami temui. Satu hal yang baru-ku ketahui saat ini, mereka ber-lima sangat menyukai masakan laut.
Acara makan siang yang terasa lebih seperti reuni sahabat lama ini tidak disia-sia kan oleh lelaki tampan bermata hazel itu. Ia sibuk sekali membuatku salah tingkah tak karuan.
Mulai dari mengambil kesempatan untuk menaruh makanan di depan mulutku saat aku sibuk bertukar kabar dengan Athena dan Aelwen, sampai dengan terang-terangan memperhatikanku dengan wajah rupawannya.
Diantara mereka tidak ada respon berlebihan begitu melihat cara Evan memperlakukan-ku, seperti hal yang sudah biasa terjadi. Berbeda cerita jika saat ini yang berada dihadapan-ku adalah keempat reog kecil, teman dekat-ku disekolah. Sudah dapat kubayangkan, mereka akan menghancukan restoran ini.
Begitu selesai makan, Evan meminta izin untuk ketoilet. Barulah saat itu mereka memasang ekspresi manusia normal pada umumnya. Athena dan Aelwen cekikikan bersama sedangkan Yohan dan Aven sama-sama tersenyum geli.
"Kamu tau Na? kayaknya kalau kemarin pesawat yang ditumpangi Evan delay, rumah di Rotterdam bakal ditenggelam-in Evan," Ujar Aelwen ditengah-tengah tawa kecilnya.
"Iya, hahaha. Dia kayaknya udah cinta mati sama kamu Na," tambah Athena. Wajah-ku semakin memanas. Mereka menceritakan bagaimana ketidak-jelasan perilaku Evan apabila Christiana dan Lili-Mamaku bertukar sapa melalui ponsel pintar.
-Farfalla Deformata-
Pukul 17.30 kami kembali ke rumahku. Tentunya dengan tambahan personil, Athena dan Aelwen. Mama dan papa menyambut ramah kedatangan kedua gadis kelahiran Belanda itu.
Kami berbincang hingga larut malam. Mereka memberitahu-ku bahwa mereka pindah ke-Indonesia hanya bersama dengan Christiana. Athena dan Aelwen sangat menyukai kue nastar buatan mama-ku.
Malam ini mereka menginap dirumahku, dengan awalnya Athena-Aelwen di kamarku sedangkan para lelaki tidur di kamar abang-ku. Christiana memilih untuk tidur di hotel bersama mama, dan ayah yang bertugas menjaga anak-anak dirumah.
Gresie dan Juan-orang tua Yohan saat ini sedang mendapat pekerjaan di Singapura dan akan ke-Indonesia hari minggu besok. Aileen-ibunda Aelwen masih di Belanda menemani suaminya, mereka masih mengurus perpindahan mereka yang sedikit merepotkan.
Perang bantal sebagai perayaan kembalinya kami bersama setelah 10 tahun menutup hari ini. Alex-abangku, Yohan, Evan dan Aven yang kelelahan akhirnya tertidur di kamarku juga, dengan alas dua selimut tebal dan boneka sebagai bantalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Farfalla Deformata
Teen FictionSebuah cerita tentang perjalanan pencarian jati diri keenam remaja unik. "Kalo ikal punya laskar pelangi, kalo gue punya farfalla deformata" ujar aalona. Kisah kami yang semula semu menjadi sedikit berwarna, setelah pertemuan pertama di Rotterdam...