TUMBAL PESUGIHAN IBU
Lanjutan cerita sebelumnya.
Anak laki-laki dengan baju hitam tengah duduk termenung di depan teras rumahnya, aku mencoba menyambangi agar ia tak terlalu bersedih dengan musibah ini.
"Amar, mari makan nak!"
Raut wajah lesu, dengan bola mata yang sudah memerah menoleh kepadaku dengan suara yang masih terisak. Perlahan aku merangkulnya dan duduk tepat disampingnya.
"Sudah, ayah dan kedua adikmu sudah tenang disana."
Namun alih-alih ia tenang dengan perkataan aku tadi, tapi kini wajahnya tampak sedikit menjengkelkan.
"Kenapa ibu tidak terlihat sedih?"
Dengan pertanyaan seperti itu aku mencoba untuk sedikit terisak.
"Siapa bilang?" aku sedikit menyeka dibawah kelopak mataku.
Namun, dari arah gerbang rumahku terlihat kakek tua dengan pakaian lusuh datang.
Amar menunjuk si kakek itu, "Itu siapa Bu? kakek Janu?"
Aku mengangguk, "Iya dia kakek Janu, mungkin ingin bertakziah."
Sreekk.. Sreekk.. Sreekk.. Hentakan kakek itu memasuki teras rumahku.
"Puji, maaf aku terlambat untuk bertakziah."
Aku bangkit lalu menyalaminya layaknya seorang anak kepada ayahnya.
"Tak apa-apa kek, mari masuk dulu."
Kakek Janu kemudian menyalami Amar dan menariknya agar bangkit dari duduknya.
***
"Diminum dulu kek,"
Amar masih terduduk diam, tak melihat wajah kakek Janu.
"Mungkin Amar masih shock." ucapku pelan.
Kakek Janu hanya mengangguk dengan tangan mulai menggapai minuman yang kubuat tadi.
"Aku mau istirahat Bu," Amar beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkan kami berdua.
Tersisa aku dengan kakek Janu, akhirnya waktu yang kutunggu sudah ada didepan mata.
"Bagaimana dengan hasilku kek?"
Ternyata ia telah menyelipkan sebuah kantong kresek kecil berserta dengan isinya.
"Ini, hasilmu."
Tanpa ragu dan takut, aku membuka bungkusan ini dan ternyata berisi uang serta perhiasan.
"Aku tidak membawa semuanya, aku akan kembali besok untuk membawa sisa hasilmu."
Aku masih fokus pada uang dan perhiasan ini.
"Kamu sudah kaya, dan akan semakin kaya raya." ucap si kakek.
Aku mengela napas perlahan, "Namun, seperti nya aku belum puas kek!"
"Cara apalagi yang harus aku lakukan agar aku bisa terus mendapatkan uang dan perhiasan ini?"
Senyuman kakek menjadi menyeringai dan sedikit terkekeh mendengar ucapan ku tadi.
"Caranya, cari orang-orang yang ingin lemah iman serta tak takut Tuhan, bawalah dia di sebuah tumbal pesugihan dan kamu akan mendapatkan untungnya."
"Tapi usiaku sudah terlalu tua untuk menolongmu dengan hal seperti ini, aku akan memberimu sebuah ilmu yang perlu kau jaga sampai kau mati."
Aku sedikit terkejut mendengar penjelasan kakek Janu, tapi tak apa aku bisa menjalankannya.
"Baiklah, aku setuju kek. Jadi ajarilah aku bagaimana cara agar bisa melakukan tumbal pesugihan ini."
"Aku akan datang kembali besok, sekarang aku harus pergi." tak menunggu waktu lama, kakek Janu beranjak dari tempat duduknya lalu menyalamiku.
**
"Ya ampun, tambah kaya raya deh!" aku meletakan uang serta perhiasan berantakan di atas tempat tidurku.
Aku menghitung berapa jumlah uang yang di berikan kakek Janu padaku, ah aku tak bisa mengira ternyata bisa mendapatkan hasil ya sangat besar.
Ceklek..
"Bu, aku sudah lapar tapi tidak ada makanan diatas meja, bibi tidak memasak."
Aku terperanjat, melihat Amar dengan tiba-tiba membuka pintu kamarku.
"Amar?! kenapa tidak ketuk pintu dulu." ujarku.
"Aku pikir ibu sedang santai, tapi itu apa?" Amar menunjuk ke arah kasurku, tempat berserakannya uang serta perhiasan.
"Eh itu, ibu sedang menghitung uang."
Amar kembali mendekat lalu menatap uang-uang itu dengan alis yang menyerit.
"Darimana uang ini? bukankah, ibu hanya punya uang di bank?" tanya Amar padaku.
"Ya, masa ibu hanya punya uang di bank saja. Ibu pun menyimpannya dirumah." ucapku agar ia tak terlalu curiga.
"Ooh, ya sudah. Aku sudah lapar Bu."
"Iya, nanti ibu pesankan makanan untukmu."
***
Malam telah tiba.
"Ayo cepat makan, nanti langsung pergi ke kamar dan tidur." aku segera mempercepat makan malam ini, karena rasanya badanku sudah tidak karuan.
Ceklek..
"Kenapa ya, badanku sakit semua." dengan perlahan kurebahkan tubuh ini dikasur empuk milikku.
Terpampang foto keluargaku beserta suamiku, Hamdi. Namun, kini rasa cintaku yang pernah dulu tumbuh sudah kau patahkan hanya karena satu kesalahan.
Andai waktu itu, Mas Hamdi tak berselingkuh lalu menalak dan membawa kedua anakku mungkin aku tak akan perbuat hal dosa seperti ini.
Namun, kini rasa sakitku sudah terbayarkan, aku masih punya Amar yang masih berteguh tinggal bersamaku.
Gubrak..
Aku terkejut disaat aku sedang melamun membayangkan mas Hamdi beserta kedua anakku yang telah meninggal.
Kotak kardus diatas lemari tiba-tiba terjatuh tepat disampingku, aku bangkit lalu mendekat.
"Kardus apa ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEVIL OF MOM 2 [ ON GOING ]
ParanormalMari menguak sisi kelam dari Judul pertama THE DEVIL OF MOM yang sudah selesai. Ada sisi ganjil dari judul sebelumnya yang belum terungkap secara jelas. Mari kita temukan sisi ganjil di judul kedua ini. Selengkapnya ada di cerita.