Bruk!
Kami bertiga terkejut, entah benda apa yang telah jatuh dari ketinggian tepat di area dapur. Aku tak bisa bergerak, jantungku berdegup lebih kencang, napasku terengah-engah.
"Biar Amar yang periksa Bu,"
Tanganku kembali menahan anak lelakiku, Supri masih terduduk lesu karena kejadian aneh tadi.
"Jangan."
Suasana menjadi hening, bau aneh menyeruak, aku takut sekali mas Hamdi kembali meneror setelah kepindahan rumahku ini.
Aku menutup semua jendela dan celah pada rumah ini, sengaja aku nyalakan semua lampu disemua sudut ruangan. Dan kunyalakan televisi dengan sekeras-kerasnya.
"Bu, berisik banget!"
Celoteh Amar tak kuhiraukan, udara dingin masuk dalam rumahku padahal semua celah aku tutup dengan rapat.
"Bos, lagian kenapa sih harus pindah rumah, Segede ini juga." Supri berucap.
Aku tak langsung menjawab, kutengok wajahnya sedikit ada rasa ketakutan seperti diriku. Amar sedikit menatapku heran, aku yakin dia tau apa aku rasakan. Sunyi, hanya suara televis yang kunyalakan.
"Bu, kenapa kita tidak ngadain tahlilan, biasanya kan orang abis meninggal pasti begitu?" celetuk Supri.
Aku menghela napas pelan, sambil mengganti chanel televisi ini.
"Kamu pikir saya harus ngadain tahlilan seperti orang-orang?"
Amar tampak sedikit tersenyum kecut, Supri hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal itu setelah mendengar pernyataanku.
"Sudahlah, Hamdi itu lelaki tidak baik, aku sudah tidak peduli apalagi sekarang sudah mati."
"Tapi Bu, adik-adikku?"
Raut wajahku seketika berubah datar, sedikit menyesali perbuatanku waktu itu, hingga semuanya merenggut nyawa mereka.
Aku mematikan televisi secara tiba-tiba, melamun mengingat masa-masa kecelakaan waktu itu.
**
"Bos, Pak Hamdi mengalami kecelakaan."
Satu pesan masuk itu, mulai menggetarkan ponselku.
"Siapa sih?" gumamku.
Buru-buru aku melihatnya dan segera membuka. Terkejut, melihat mobil putih rusak parah dengan korban yang tengah ditutup koran menunggu ambulance.
"Dimana? cepat sharelok!"
Tak menunggu waktu lama, Supri men sharelok lokasi Mas Hamdi yang tengah mengalami kecelakaan.
Buru-buru sekali aku melihatnya, hanya butuh waktu 30 menit, beruntung jalanan tak begitu macet.
Namun, disaat tiba disana semua korban telah dilarikan ke rumah sakit.
"Padahal jalanan lagi santai, bisa ya kena apes begitu."
"Ada 3 korban lho, yang dua lainnya itu anak kecil."
"Kepalanya hampir lepas untuk si bapak itu, kasian banget."
Itulah celoteh dari para warga yang memang sudah berkerumun dari tadi.
Jantungku serasa tak berdetak melihat kondisi mobil yang rusak parah. Menahan tangis, segera menyeka air mata yang hendak turun.
"Supri, kamu tau mas Hamdi dan anak-anakku dilarikan di rumah sakit mana?"
"Rumah sakit Fatmawati Bu, mau kesana sekalian?"
Aku hanya mengangguk lalu, berangkatlah kerumah sakit itu dengan supirku.
Jalanan sangat ramai sekali, hingga reporter telivisi ikut dalam mengabari berita kecelakaan ini.
Aku menelisik tas milikku, mencari masker agar tak dikenali oleh banyak orang.
"Sudah sampai Bu."
Segera turun, dan menuju tempat resepsionis.
"Saya mau cari pasien atas nama Hamdi, baru saja mengalami kecelakaan sus."
"Sebentar Bu, bisa duduk terlebih dahulu."
Tiba-tiba dokter berjas putih datang.
"Maaf cari atas nama Pak Hamdi? ibu istri beliau?"
Aku segera bangkit dari tempat dudukku, lalu mengangguk walaupun aku dan mas Hamdi telah berpisah.
"Beliau ada di ruang jenazah Bu, untuk kedua putra ibu, masih dirawat."
Deg!
Mas Hamdi ternyata sudah tiada.
"Maksud dokter, pak Hamdi eh maksudnya suami saya sudah meninggal?"
Dokter tadi mengangguk.
"Iya Bu, beliau meninggal ditempat, karena kepala beliau memang sudah tidak bisa tertolong lagi."
"Lalu, anak-anak saya bagaimana?"
"Tadi sangat kritis, semua ada dipusat kepala, semoga saja anak-anak ibu bisa diselamatkan."
Namun, belum kami sampai di ruang jenazah, dokter ini dipanggil untuk segera memeriksa pasiennya karena detak jantungnya sudah tidak ada.
"Sebentar sus."
"Ibu bisa jalan terus aja nanti ada penjaganya juga disana."
Aku hanya mengangguk lalu masih berjalan lurus hingga akhirnya bertemu dengan ruangan yang kucari.
Terlihat penjaga yang memang tengah duduk tepat dekat dengan ruangan itu.
"Pak?" aku menganggukan kepala.
"Iya bagaimana Bu?"
"Saya mau lihat kondisi jenazah suami saya pak, bisakah bapak membantu saya?"
Dengan ringan tangan, bapak ini membawaku masuk kedalam ruangan.
"Siapa nama suaminya Bu?"
"Hamdi Sanjaya."
Namun, tiba-tiba aku dikejutkan bunyi ponsel dari dalam tasku.
"Siapa yang menelfon?" gumamku dalam hati.
"Supri?"
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Langkah demi langkah aku berjalan. Aku dikejutkan oleh Supri yang bilang bahwa kedua anakku telah tiada.
"Supri, kamu jangan bercanda!"
Air mataku segera menetes, tak bisa ku bendung kembali. Berlari menelusuri lorong-lorong, menuju kamar mawar yang Supri katakan dalam sambungan telepon tadi.
Setiba disana.
"Ibu bos darimana saja?"
Mataku merah panas, air mata terus mengucur deras, tak memperdulikan pertanyaan yang di lontarkan Supri.
"Kamar nomor berapa! ayo katakan!"
"16."
Lantas aku berlari, menuju kamar itu dengan Supri yang ikut mengekor.
Terbujur kaku kedua anakku itu, yang satu berada di ruangan nomor 17.
"Dok, apa ini! tidak bisa diselamatkan lagi?"
Dokter berjas putih tadi yang sempat menemaniku untuk menuju keruang jenazah, kini sedang menangani kedua jenazah anak-anakku.
"Tidak bisa Bu, maafkan kami, karena luka di kepalanya memang sangat parah."
"Yang sabar Bu, ikhlaskan." imbuh suster yang datang secara tiba-tiba.
Aku putuskan untuk membawa semua jenazah agar di kebumikan, karena aku tau, aku tak bisa membawa mereka kerumah mas Hamdi karena dia memang tinggal diluar kota, biarkan saja mereka diurus dirumahku saja.
**
Lamunanku buyar.
"Ibu lagi bayangin apa?" Amar menepuk pundak ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEVIL OF MOM 2 [ ON GOING ]
ParanormalMari menguak sisi kelam dari Judul pertama THE DEVIL OF MOM yang sudah selesai. Ada sisi ganjil dari judul sebelumnya yang belum terungkap secara jelas. Mari kita temukan sisi ganjil di judul kedua ini. Selengkapnya ada di cerita.