Aku tersentak terkejut kala Amar menepuk pundakku, walaupun sangat perlahan sekali. Puji lantas mematikan televisi nya membiarkan pertanyaan Amar menjadi rahasia.
Berjalan pelan, walaupun Amar sesekali menahannya tapi kedua telingaku itu tampak tertutup rapat. Tidur di atas ranjang menatap langit-langit kamar. Membayangkan sosok Hamdi, sang mantan suami kuitu.
"Apa benar dia gentayangan?"
Ketukan demi ketukan kini terdengar, aku menoleh sejenak menatap pintu yang bersuara itu, batinnya tau bahwa itu Amar yang sedari tadi melayangkan pertanyaan demi pertanyaan yang membuatnya selalu di hantui ketakutan. Terlebih Supri yang mengalami hal ganjil sebelum datang kesini.
Segera aku menelisik ke jendela memastikan bahwa sudah terkunci tak ada celah apapun. Sunyi sekali, aku lebih baik tidur sekarang dari pada harus memikirkan kejadian itu lagi.
**
Di sebuah sungai besar, dengan air yang keruh aku tampak berjalan pelan dengan sedikit ragu. Menatap sayu air yang mengalir deras itu. Mengundang grimis di suatu sore menjelang malam.
"Aku dimana?"
Aku memutar 360° tubuhku menatap langit-langit dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Tak ada siapapun disana kecuali aku seorang.
Kembali berjalan hingga sampai di sebuah jembatan yang hampir rapuh, dari sebrang sana terlihat kakek tua tengah duduk bersila bertapa.
Aku masih fokus pada kakek berambut putih itu dengan balutan pakaian berwarna hitam.
"Siapa kakek itu, sendirian di tepi sungai?"
Aku rasa dia bukan orang sembarang, layaknya seorang guru yang sedang mendatangkan ilmu. Kali ini gerimis mengundang lebih deras, aku tak tau harus berteduh dimana.
Aku memutuskan untuk menjumpai kakek tua itu dengan lari tunggang-langgang. Dengan berpayung daun pisang.
Kakek tua tadi masih bertapa di tengah gerimis yang sudah mulai deras, aku sungkan untuk menepuk pundaknya, ragu, aku akan menganggu.
Akhirnya aku putuskan untuk berdiri berdiam, menunggu kakek tua ini menoleh dengan sendirinya. Namun, hujan semakin deras, kakek ini masih terdiam dan tak bergerak sekalipun.
Ragu tak ragu, aku memutuskan untuk menepuk pundaknya perlahan.
"Kakek, tolongin saya."
Namun kakek tua ini tak juga menoleh, hingga akhirnya aku kembali menepuk pundaknya untuk kedua kalinya.
Akhirnya dia menoleh sedikit, dengan raut wajah yang sangat pucat pasi namun ia memang tak asing bagiku. Ya, dia kakek Janu.
"Kakek?"
Aku sempat terkejut melihat kakek Janu yang pucat bak seperti mayat hidup itu. Aku segera menyalaminya, tangannya dingin bibirnya pucat membiru. Namun dadanya masih kembang kempis pertanda dia masih hidup.
Tak banyak bicara, aku hanya sedikit takut dengan raut wajah yang berubah, kakek Janu tampak seperti orang yang tengah sakit.
Napasku kembang kempis, wajah pucat itu berubah menjadi menghitam. Sontak aku berjalan mundur, dengan tatapan mata tajam.
Kakek Janu berubah menjadi abu hitam, aku segera berlari tunggang-langgang mencari tempat dimana aku bisa lari dari kakek Janu yang berubah menjadi abu.
"Tadi itu apa? kakek Janu?"
Napasku tersengal-sengal, aku berhenti disebuah pohon besar yang tepat didepannya sungai tadi yang kulewati. Pikiranku masih sangat kacau melihat kakek Janu tadi.
"Dia setan atau kakek Janu?"
Aku terduduk lesu dibawah pohon ini, dengan mengamati air sungai yang mengalir dengan derasnya. Keruh.
Aku masih terus mengatur napasku sendiri, mengingat kejadian kakek Janu seperti mayat hidup itu. Aku terus menggelangkan kepalaku secara pelan.
Namun mataku kini terfokus pada, sesuatu yang hanyut pada sungai itu. Mataku menelisik jauh, menyipitkan mata agar fokus pada benda yang tengah hanyut terseret arus sungai.
"Manusia?"
Aku terus menyipitkan mata, hingga benar-benar fokus bahwa benda tersebut adalah manusia.
"Tidak, dia? ah tidak mungkin!"
Itu seperti mas Hamdi, mantan suamiku yang aku sengaja kubuat sebagai tumbal pesugihan ku. Aku terus mengucek-ucek mataku secara pelan, namun yang kutemui tetaplah sama. Itu mas Hamdi.
Manusia-manusia mengambang itu masih terus bertambah, kini bak sungai dipenuhi mayat-mayat manusia. Pikiranku kacau, aku tengah berada dimana sebenarnya?
Ku tepuk pipiku berkali-kali, ku cubit lenganku hingga aku tersadar.
Aku terbangun dari mimpi tadi, mimpi aneh yang membuatku bercucuran keringat dingin di tengah malam.
"Pertanda apa itu?"
Aku terus menepuk-nepuk pipiku menyadarkan diriku sendiri bahwa itu hanya mimpi tidur belaka, namun masih terasa nyata saat terbangun. Napasku tersengal-sengal seperti tengah di kejar oleh setan.
"Kakek Janu? mas Hamdi?"
Aku menelisik jam menunjukkan pukul 2 dini hari, artinya aku telah melewati mimpi itu begitu panjang, aku mengibas-ibaskan tanganku karena peluh sudah membasahi sekujur tubuhku.
"Mas Hamdi tidak mungkin gentayangan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEVIL OF MOM 2 [ ON GOING ]
ParanormalMari menguak sisi kelam dari Judul pertama THE DEVIL OF MOM yang sudah selesai. Ada sisi ganjil dari judul sebelumnya yang belum terungkap secara jelas. Mari kita temukan sisi ganjil di judul kedua ini. Selengkapnya ada di cerita.