"Sudah sini berikan pada ibu!" aku segera merebutnya dari tangan Amar.
Ada perkelahian diantaran aku dengannya, sampai-sampai akhirnya buku ini koyak karena memang sudah rapuh.
"Tuh kan!"
Amar seketika berhenti, ia memandang wajahku yang sudah memerah penuh amarah. Ia berbalik lalu pergi kedalam kamarnya.
Naas, dia akan tau apa yang telah kulakukan, aku yakin dia sudah memahami ini.
Kuhela napas dengan perlahan, berjalan mengikuti langkah Amar yang pergi meninggalkanku.
"Amar, ayo nak, keluar dulu."
Sudah kuduga Amar sangat kecewa denganku, di sisi lain ia sangat menyayangi ayah dan adik-adiknya, tapi disatu sisi aku telah menghabisi mereka.
Krieett..
Pintu tidak terkunci, terlihat Amar sedang merenung dengan suara sesenggukan yang pelan.
"Amar."
Dia menoleh dengan wajah memelas, merah dengan bercucuran air mata.
Aku sangat merasa menyesal dan bersalah kepadanya.
"Ada apa? masuk kedalam kamarku?"
Aku segera menepis perasaan amarahku, segera kurangkul Amar dengan lembut agar dia tau apa yang ibu maksud tadi.
"Jangan marah Amar, ibu hanya.."
Matanya mendelik serasa sudah tau apa yang akan aku katakan.
"Apa Bu? tega sekali ibu seperti itu. Aku tidak akan tinggal denganmu lagi Bu." Amar memberontak lalu mengacak-acak lemari dengan menata baju yang ia pilih.
"Mau kemana kamu Amar! dengerin ibu!"
JEDER!
Suara petir menyambar perdebatan kami berdua.
"Cukup Amar!"
Ia acuh kepadaku, ia terus memasukan baju-bajunya kedalam tas koper miliknya.
"Mau pergi kemana Amar! kamu tidak punya siapapun, hanya ibu disini."
Seketika ia menghentikannya.
Ia duduk dengan menutup seluruh wajahnya yang sudah di banjiri air mata. Suara gemuruh masih nyaring terdengar ditelinga kami dengan beriringan dengan air hujan yang turun.
Angin sepoi-sepoi menghembus sangat kuat, dengan petir yang saling bertengkar tak berhenti. Amar masih dalam posisi yang sama menangis sesenggukan duduk luruh di atas lantai.
"Nak."
Raut wajahku kini memelas, seakan-akan ingin menangis dengan kuat, namun aku menepisnya dengan cara menahan.
"Maafkan ibu."
Amar masih terdiam, sesenggukan masih terdengar sangat kuat. Ku genggam tangannya namun, dengan spontan ia menolak.
Sekelebat bayangan hitam seperti sedang berdiri dibelakang ku, bulu kudukku meremang.
Wusshhh!
"Apa itu!"
Amar berhenti menangis aku segera merangkulnya.
"Amar, besok kita pindah, ibu sudah tidak nyaman tinggal disini."
Aku masih merasakan hawa merinding walaupun kondisi masih siang, namun semenjak mas Hamdi meninggal, diriku seperti terus diteror.
Aku tak bisa tinggal diam, sudah relakan saja rumah ini walaupun sangat berarti untukku.
"Mau pindah kemana Bu?"
"Kemana saja, kita tidak bisa tinggal disini terus."
Akhirnya Amar kembali luluh padaku.
--
Aku masih mengosongkan isi rumahku, semua perabotan akan ku bawa ke rumah baruku.
Sudah aku cek, disalah satu lapak online tengah mencari pembeli untuk rumah bekas di sebuah komplek yang ramai. Mungkin aku lebih aman jika tinggal di kerumunan yang ramai.
"Ini mau pindah kemana Bu?"
Supri si supir sewaanku yang akan membawa semua barang-barang ku.
"Ke komplek perumahan Gifari, No 11 cat warna putih, sedikit abu-abu." timpalku.
Supri mengangguk paham.
"Kenapa pindah ya Bu, ini rumah gede banget, terus mau di apain?"
Seketika aku melihat rumahku yang memang sangat besar, "Mungkin dijual aja, saya udah bosen tinggal disini."
"Ibu udah banyak uang, kalo udah bosen tinggal dibuang deh haha, kayak Pak Hamdi ya Bu?" celotehnya padaku.
"Kenapa bawa-bawa Hamdi?" seketika mataku memerah karena candaan darinya.
"Cuma bercanda Bu.."
--
Rumah putih nuansa klasik, berdiri kokoh nan megah didaerah pemukiman padat penduduk. Dengan warga gerbang hitam dan rimbunan pepohonan yang menambah gaya khas rumah ini.
"Amar, cepat masuk dulu."
"Supri, bawa semua barangnya, jangan sampai ada yang tertinggal."
Supri menurunkan semua barang-barang yang aku bawa pindahan sekarang. Rumah lamaku terpaksa kujual dengan harga yang miring, itu semua aku lakukan dengan terpaksa.
"Bagaimana dengan sekolahku Bu?"
Sembari mengelus lembut rambut putraku, "Nanti kamu bersekolah disini."
Angin berhembus kuat saat aku memasuki tanah ini, rumah ini benar-benar klasik dan elegan dengan sedikit kesan mistik didalamnya. Ku mulai menginjakkan kakiku di ruang tamu bersih tak berdebu seperti rumah baru.
Amar duduk di kursi kayu yang memang sudah ada sejak tadi, aku masih mengamati secara detail rumah ini.
"Kenapa bisa secepat ini kita pindah Bu?"
Aku menoleh dan segera mendekat.
"Paman Johari yang sudah menyiapkan rumah ini untuk kita Amar," jawabku pelan.
"Dimana paman Johari sekarang?"
"Bukannya dia masih diluar kota? dia hanya mencarikan rumah untuk kita tinggal."
Johari adalah kakak laki-laki ku, dia terkenal kaya raya dan sombong, sekarang ia tinggal di luar kota dengan istrinya sudah 15 tahun menikah namun belum dikaruniai seorang anak.
Aku masih berjalan-jalan menyusuri kamar demi kamar, hingga akhirnya aku menemukan sebuah ruangan kecil namun aura disini sangat pekat.
"Bau kemenyan?"
Aku masih mencari-cari bau itu, tapi tak kujumpa apapun disini. Seketika aku mengingat buku dari kakek tua itu. Buku yang telah robek karena pertengkaran Amar dan aku.
"Sepertinya aku harus mulai dari sini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEVIL OF MOM 2 [ ON GOING ]
ParanormalMari menguak sisi kelam dari Judul pertama THE DEVIL OF MOM yang sudah selesai. Ada sisi ganjil dari judul sebelumnya yang belum terungkap secara jelas. Mari kita temukan sisi ganjil di judul kedua ini. Selengkapnya ada di cerita.